Wednesday, May 6, 2009

POLITIK KELAS MENENGAH

Coen Husain Pontoh

Baru-baru ini, salah satu jurnal kiri tertua di AS, Monthly Review, edisi Juli-Agustus 2006, menampilkan edisi khusus mengenai “Aspects of Class in the U.S.”
Beberapa tema menyangkut soal kelas di AS, dibahas di sini. Misalnya, artikel dari William K. Tabb, “The Power of Rich;” artikel Michael Perelman, “Some Economic of Class;” atau dari David Roediger, “Undocumented Workers & the U.S. Informal Economy.”
Pengantar dari John Bellamy Foster, merupakan pembuka kata yang sangat menarik. Foster menyebutkan, di AS fenomena mengenai self reproduction sebagai karakter esensial dari kelas tampak begitu nyata. Mengutip harian the New York Times (14/11/2002), Foster menunjukkan hasil temuan Bashkar Mazumber dari Federal Reserve Bank of Chicago, dimana sekitar 65 persen keuntungan yang diperoleh orang tua kaya di AS dialihkan kepada anak-anaknya. Studi yang lebih serius mengenai soal ini, dilakukan oleh Tom Hertz, ekonom dari American University, yang berjudul “Understanding Mobility in America” (paper ini bisa Anda baca di http://www.americanprogress.org).
Paper menarik lainnya dalam edisi ini, adalah artikel dari Michael Zweig berjudul “Six Point on Class.” Zweig adalah pengajar ekonomi dan direktur Center for Study of Working Class Life di State University of New York (SUNY) at Stony Brook. Paper Zweig inilah yang akan saya bagikan informasinya lebih jauh.
Di Amerika Serikat, demikian Zweig, pengertian tentang kelas dicampurbaurkan dengan pengertian tentang pendapatan, kesejahteraan, atau gaya hidup. Padahal, kelas lebih berhubungan dengan kekuasaan, sementara pendapatan, gaya hidup, dan kesejahteraan lebih bermakna individual dengan ciri karakter yang tetap. Pengertian tentang kelas juga tumpang tindih dengan pengertian tentang ras dan gender atau kaya dan miskin. Dalam imajinasi rakyat AS, misalnya, mayoritas penduduk miskin Amerika datang dari kalangan kulit hitam dan hispanik (Spanyol-Amerika). Inilah sebabnya, mengapa isu ras lebih menonjol ketimbang isu kelas. Kenyataannya, dua pertiga dari seluruh rakyat miskin Amerika adalah mereka yang berkulit putih. Sementara, tiga perempat dari seluruh penduduk kulit hitam bukanlah orang miskin.
Dalam analisisnya ini, saya kira Zweig terpengaruh dengan definisi Lenin tentang kelas, dimana kelas tidak ditentukan oleh kekayaan tapi, oleh kedudukan atau posisi seseorang atau kelompok dalam hubungan produksi yang ada. Zweig, misalnya, mengatakan, seseorang yang memenangkan $380 juta dalam undian Power Ball, memang membuatnya menjadi kaya. Tetapi, ia bukanlah bagian dari elite korporasi yang memiliki kekuasaan politik yang menentukan. “Being rich is not the key point,” tulis Zweig.
Hal paling menarik dari artikel Zweig ini, adalah pemetaannya mengenai struktur kelas di AS. Pemetaan ini saya kira, sedikit banyak bermanfaat buat gerakan progresif di Indonesia. Inilah pemetaan Zweig:
1. Kelas pekerja (the Working Class), adalah mereka yang memiliki kekuasaan relatif terbatas di tempat kerjanya. Mereka ini adalah pekerja kerah putih (white collar) seperti teller bank, call center, dan kasir; pekerja kerah biru (blue collar) seperti masinis, buruh bangunan dan perakitan; pekerja kerah merah muda (pink collar) seperti, sekretaris, suster, dan home-health-care workers. Mereka ini merupakan buruh trampil atau tidak trampil (unskilled), laki dan perempuan dari seluruh ras, kebangsaaan, dan preferensi seksual. Kelas pekerja adalah mereka yang memiliki kontrol personal yang kecil terhadap isi dari pekerjaannya tapi, tidak memiliki kontrol terhadap sesuatu di luar bidang kerjanya. Saat ini terdapat sekitar 60 juta kelas pekerja di Amerika, yang menjadikan kelas pekerja secara esensial merupakan penduduk mayoritas di AS.
2. Kelas kapitalis (the Capitalist Class), adalah elite korporat atau perusahaan, eksekutif senior, dan direktur perusahaan-perusahaan besar, dimana pekerjaannya adalah memberikan petunjuk-petunjuk strategis kepada perusahaan. Mereka ini adalah orang-orang yang berinteraksi dengan agen-agen pemerintah dan eksekutif perusahaan lainnya, yang meninggalkan pekerjaan sehari-harinya kepada manajer level menengah atau kepada sebuah gugus kerja. Dalam hal ini, mereka berbeda dengan pemilik bisnis kecil, yang cenderung bekerja di samping sejumlah kecil buruh yang dimilikinya dan mengatur secara langsung bisnisnya. Pengusaha bisnis kecil ini, secara literal adalah kapitalis dalam hubungannya dengan buruh upahan yang dimilikinya, secara konseptual lebih tepat dipahami sebagai kelas menengah.
3. Kelas penguasa (the Rulling Class), dimaknai lebih terbatas ketimbang kelas kapitalis seutuhnya dan juga non-kapitalis. Kelas penguasa ini adalah mereka yang memberikan petunjuk kepada bangsa secara keseluruhan, lebih luas ketimbang bisnis atau institusi yang dimilikinya. Mereka inilah yang mengoordinasikan aktivitas para kapitalis dari seluruh perusahaan.
4. Kelas menengah (the Middle Class), adalah para profesional, pemilik bisnis kecil, manajer dan pengawas buruh. Mereka ini sebaiknya tidak dipahami sebagai menengah dalam distribusi pendapatan tetapi, hidup di tengah dua kelas yang saling bertentangan dalam masyarakat kapitalis. Pengalaman mereka dalam beberapa aspek dibagi dengan kelas pekerja dan dalam beberapa hal lainnya, berhubungan dengan elite korporat.
Sebagai contoh, pemilik bisnis kecil memiliki kepentingan yang sama dengan para kapitalis dalam soal pemilikan pribadi (private property) aset-aset bisnis, penghancuran kekuatan serikat buruh, dan pemangkasan UU perburuhan. Tetapi, mereka juga berbagi dengan buruh dalam kerja itu sendiri, dan kesulitan memperoleh asuransi kesehatan.
Para profesional juga demikian, jika melihat pengalaman lebih dari 30 tahun terakhir. Para profesional yang hidup berdampingan dengan kelas pekerja, dokter yang berpraktek di kampung kelas pekerja, pengacara yang membela kepentingan publik, para pengajar sekolah umum, tampak bahwa kondisi ekonomi dan sosialnya semakin menurun di hadapan kelas yang dilayaninya. Tetapi, jika kita melihat mereka yang hidup dari pelayanannya terhadap kelas kapitalis – pengacara korporat, dokter-dokter yang berpraktek di lokasi wah, para intelektual yang melayani kepentingan korporat - mereka ini jelas-jelas memperoleh keuntungan dari elite yang dilayaninya. Dari sisi ini, kepentingan mereka merefleksikan kepentingan elite korporasi.
Dari pemetaan yang dibuat Zweig ini, beberapa pelajaran yang bisa kita petik bagi pembangunan gerakan progresif di Indonesia. Pertama, pengorganisiran berbasis kelas tidak semata-mata bertumpu pada buruh dalam pengertian buruh pabrik, buruh tani atau nelayan, dalam pengertian yang klasik. Semakin meningkatnya perkembangan sektor jasa, misalnya, menyebabkan pertumbuhan buruh di sektor ini semakin tinggi.
Kedua, pengorganisiran kelas pekerja harus diarahkan pada transformasi kelas pekerja menjadi kelas penguasa (the rulling class). Ini sebenarnya bukan cerita baru bagi kalangan progresif di Indonesia tapi, tak ada salahnya jika disampaikan ulang. Ketidakmampuan mentransformasikan kekuatan kelas pekerja ini, menjadi sebab utama munculnya politik berbasis agama, etno-nasionalis, atau bahkan kedaerahan.
Ketiga, kalangan progresif di Indonesia, harus membuka diri seluas-luasnya pada keterlibatan kelas menengah dalam perjuangan berbasis kelas tersebut. Dan saya menduga, di tengah-tengah kebangkrutan ekonomi saat ini, jumlah kelas menengah yang berpotensi progresif makin berlipat jumlahnya. Kesabaran, kecakapan mengomunikasikan ide-ide progresif ke kalangan ini, merupakan tantangan tersendiri bagi kalangan progresif.

Tuesday, May 5, 2009

Masih Adakah (Partai Politik) Islam di Legislatif?

Kamis, 07 Februari 08 - oleh : IKHWAN MUSLIM NASUTION
Indonesia, negara dengan penduduk mayoritas muslim dan tercatat sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, menyimpan fakta-fakta miris terkait identitas yang disandangnya. Dalam hitung-hitungan matematis dan tuntutan logika rasional, seharusnya, Indonesia--dengan segala sumber daya dan potensi yang dimilikinya--layak menjadi pemimpin umat Islam global khususnya dan umat manusia keseluruhan umumnya. Indonesia, seharusnya, menjadi tempat dimana “janji-janji agama” untuk menebar rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamiin) direalisasikan ke “dunia fakta-fakta”. Indonesia, semestinya, menjadi tempat dimana umat manusia menjadi saksi—untuk selanjutnya merujuk—atas hegemoni Islam memimpin manusia dan kemanusiaan yang melekat padanya dalam menjalankan “amanat suci” sebagai khalifah di muka bumi yang fana ini.

Itulah bahasa harapan yang timbul dari suatu tuntutan “ideal” atas fakta-fakta “tak ideal” yang berserakan di sisi kanan-kiri-depan-dan belakang kenyataan-kehidupan ini. Di sebuah negara yang kaya akan sumber daya dan potensi, terjadi tragedi yang bersifat dialektis, antagonis, antonim, dan segala istilah yang merujuk pada makna “berlawanan, bertentangan, dan kontradiktif”. Berlawanan dengan apa “yang seharusnya, yang ideal, yang dicita-citakan dan yang dituntut”. Di sini, di negeri ini, revolusi memang belum selesai. “Revolusi Suci” sedang bergulir untuk membersihkan kotoran-kotoran, noktah-noktah, najis-najis ringan dan berat, bercak-bercak lumpur, darah kotor, nanah dan air comberan, serta segala penyakit mental akut yang menggerogoti kepercayaan diri, kewarasan berpikir dan kecakapan bertindak manusia-manusianya dalam keseharian yang penuh sesak oleh variabel-variabel kejahiliahan di tiap sendinya.

Ada apa dengan umat Islam dewasa ini; di negeri ini dan negeri-negeri lainnya? Kaum muslimin, alih-alih menjadi pemimpin umat manusia sebagaimana “yang dijanjikan”, telah dieksploitasi dengan invasi yang massif dan terorganisir dari segala sisi: ekonomi, politik, budaya, pemikiran, dan keyakinan. Pasca runtuhnya Daulah Ustmaniyah sebagai “pewaris terakhir” Khilafah Islamiyah, kemuliaan dan kehormatan umat ini dipermainkan dan dinistakan oleh kaum kafir dan para sekutunya. Hilangnya kesadaraan dan kepercayaan diri sebagai “umat pilihan yang terbaik”, telah menempakan kaum muslimin tak ubahnya seperti pasien-pasien pesakitan yang mengidap gangguan jiwa dan keterbelakangan mental. Mereka telah dibuat buta, tuli, dan hilang ingatan akan memoar dan romantisme kejayaan dan kemuliaan yang telah terukir di lembaran sejarah dan telah dijanjikan untuk “dikembalikan” kepada mereka jika mereka “siap menerimanya”. Inilah masalah umat Islam kontemporer yang mewabah di atas puing-puing Kekhilafahan Islam pernah mengukir kegemilangan peradaban. Manusia-manusia yang kehilangan arah gerak dan orientasi perjuangan, putus asa, merasa inferior, kerdil, dan pecundang di hadapan realitas “gemerlap” neo-jahiliah, mengekor pada opini global yang oportunis dan pragmatis, dan melupakan pijakan dasar yang paling asasi dalam diri seorang muslim: akidah Islam sebagai ideologi kebangkitan menuju kemuliaan “yang dijanjikan”!

Pergerakan yang Menyimpang dari Asas Islam
Setelah Daulah Ustmany diabolis oleh Mustafa Kemal Pasha, kaum muslimin terpecah belah dalam negara-negara jajahan dan negara-negara boneka kaum kafir imperialis. Setelah masa “kolonialisasi fisik” berakhir, bermunculanlah negara-negara bangsa (nation states) yang kecil dan lemah di dunia Islam. Negeri-negeri muslim itu pun dipisahkan oleh sekat-sekat geografis, nasionalisme, patriotisme, bendera, simbol-simbol kenegaraan, bahasa dan dialek, mata uang, kepentingan-kepentingan, dan persaingan-persaingan yang kesemuanya itu merupakan “buah tangan” dari kaum kafir imperialis. Belakangan, setelah mereka “merdeka”, sejarah pun dikaburkan oleh kaum kafir imperialis dan antek-antek mereka yang pemikirannya telah “teracuni”, dengan mengatakan bahwa penjajahan atas negeri-negeri Islam itu adalah murni imperialisme dan kolonialisme. Ini merupakan penyesatan dan pengaburan sejarah yang nyata, sebagaimana dibantah dan dikecam oleh orang-orang seperti Taqiyuddin An-Nabhani, Sayyid Quthb, dan ulama-ulama yang ikhlas dan jernih pemikirannya dari umat ini. Yang sebenarnya adalah, sebagaimana termaktub dalam Kitab Suci:
“Dan, mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perksa lagi Maha Terpuji.” (al-Buruuj:8) Imperialisme dan kolonialisme atas negeri-negeri Islam di masa lalu dan masa kini harus senantiasa dipandang sebagai “selubung” bagi kekuatan “roh jahat” fundamentalisme Salibis dan Zionisme internasional.

Dalam perjalanan sejarah di tengah kevakuman Kekhilafahan ini, propaganda pemikiran dan teror mental terus dilancarkan secara massif, represif dan agresif oleh kaum orientalis yang notabene kepanjangan tangan dan juru bicara kaum kafir imperialis. Islam disudutkan hingga batas yang paling kritis. Islam dan kaum muslimin diposisikan sebagai tertuduh yang kalah perang di setiap propaganda dan missi mereka. Pemikiran-pemikiran Barat pun menyusup ke celah-celah kaum muslimin yang sedang loss orientation,merasa inferior dan terpecundangi. Manusia-manusia yang Islam secara statistik, banyak yang terjebak pada “gemerlap” pemikiran-pemikiran neo-jahiliah yang sedang “eksis”. Secara sadar atau tidak sadar, mereka telah menjadi “agen yang sempurna” bagi musuh-musuh Islam untuk “menjahiliahkan” kaum muslimin.

Dalam beberapa waktu setelah “tersadar” dalam kubangan “perbudakan”, umat ini pun tersentak dengan kekagetan yang hebat. Tema-tema kebangkitan pun merebak di seantero dunia Islam. Pemikiran kembali diasah. Langkah-langkah pergerakan pun berderap tegap. Opini kebangkitan pun menjangkiti tiap sudut negeri kaum muslimin. Partai-partai politik pun bermunculan. Kereta revolusi pun melaju.

Banyak partai politik (Islam) yang pada tahap-tahap awal kemunculannya di pentas pergumulan pemikiran begitu antusias dan bersemangat mengopinikan Islam sebagai solusi ideologis dalam menjawab permasalahan yang melanda kaum muslimin khususnya dan umat manusia umumnya. Akan tetapi, seiring dengan dinamika perjalanan dan pergumulan yang keras dengan realitas, dengan alasan-alasan strategi dan siasat, muncullah “ijtihad-ijtihad politik” yang serba pragmatis dan oportunis. ”Ketika partai mulai mengarungi medan kehidupan, ia akan ditimpa hawa ‘panas’ dan ‘dingin’ silih-berganti; ia juga akan merasakan terpaan ‘angin yang keras’ atau ‘angin sepoi-sepoi’. Ia juga akan bersentuhan dengan udara yang bersih atau kotor.”, (Muhammad Hawari, Politik Partai, Strategi Baru Perjuangan Partai Politik Islam , 2007:166). Pergulatan politik itu bukanlah suatu gerak statis yang hanya mengenal satu “suasana”. Ada kalanya gairah idealisme-ideologis begitu membara sehingga ghirah perjuangan menyala dengan bara yang memompa gerak “kereta perjuangan”. Ada juga masa-masa dimana terror, tekanan, dan propaganda sesat membuat laju “kereta perjuangan” melambat. Suasana panas dan dingin akan muncul silih berganti.

Akbar S.Akhmed, dalam Postmodernism and Islam (1992), sebagaimana dikutip oleh M.Yudhie Haryono dalam Melawan dengan Teks (2005), menyebutkan, ada delapan karakter sosiologis sebagai catatan atas modernisme. Salah satunya disebutkan, “..meledaknya industri media massa, sehingga seolah menjadi perpanjangan dari sistem indera, organ dan syaraf manusia. Kondisi ini membuat dunia dan ruang kehidupan menyempit. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma menjadi “agama dan Tuhan baru” yang menentukan kebenaran dan kesalahan perilaku manusia..” Jika partai politik Islam tersebut terkecoh, terperdaya, dan merasa tertekan karena pencitraan inferioritas Islam di sisi pandangan-pemikiran jahiliah yang tengah eksis dan dipropagandakan oleh media-media kufur, maka partai politik Islam tersebut—tidak mustahil—akan tergelincir dan menyimpang dari ruh ideologis-nya yang hakiki. Lebih jauh, mereka akan terseret ke dalam kubangan lumpur jahiliyah yang kotor.

Sudah banyak fakta-fakta yang tersingkap di hadapan kita terkait “lunturnya” komitmen ideologis partai-partai politik—yang awalnya—Islam. Partai-partai yang tadinya mengusung tema-tema “keislaman yang revolusioner”seperti Khilafah, Syar’iah Islam, Ideologi Islam, dan Ukhuwah Islamiyah, lambat laun menurun-merendah menjadi tema-tema kebangsaan, kemaslahatan, hingga tema-tema moral dan etika yang—katanya—bersifat universal seperti pemerintahan yang adil dan bersih, pembangunan nasional, kejayaan bangsa, hingga taraf terendah seperti suami atau isteri yang baik. Yang tak kalah menyedihkan adalah ketika mereka “termakan” propaganda dan isu-isu yang dihembuskan oleh kaum kafir kapitalis-sosialis-sekuler, semacam demokratisasi, HAM, emansipasi dan kesetaraan gender, pluralisme, kebebasan, nasionalisme, globalisasi, pasar bebas, dll. Sehingga, tidaklah mengherankan ketika ada partai politik—yang katanya—Islam mendukung-menyetujui-dan mengesahkan Undang-Undang yang secara prinsipil bertentangan dengan Syariat Islam seperti UU Penanaman Modal Asing yang memberi jalan kepada kaum kapitalis mengeksploitasi kekayaan alam yang menurut hukum syari’ah tidak bisa dibenarkan, ada juga UU tentang HAM, UU tentang politik sekuler yang demokratis, dll.

Cukuplah apa yang diucapkan Sayyid Quthb, ideolog kedua Ikhwanul Muslimin yang—bi iznillah—syahid di tiang gantungan rezim otoriter Mesir, dalam Ma’aalim fith-Thariiq (Diterjemahkan dengan judul Petunjuk Jalan, 2006) mengingatkan kita semua. Beliau menyatakan, “Mereka ingin agama ini mengubah karakteristik, manhaj, dan sejarahnya agar mirip dengan teori dan manhaj ciptaan manusia. Mereka mencoba mengubah alur agama ini demi kecenderungan-kecenderungan mereka. Kecenderungan yang mencerminkan kekerdilan jiwa saat menyaksikan sistem buatan manusia yang dewasa ini semakin banyak diminati.”, (hal.39). Sehingga, dari pembacaan penyimpangan ini, kita tidak lagi terkejut dan “jantungan” ketika menyaksikan pengakuan yang diutarakan dengan percaya diri atas nama “ijtihad politik” oleh salah satu partai politik—yang katanya—Islam bahwa mereka menyatakan diri secara ikhlas sebagai “partai terbuka yang inklusif, nasionalis, religius dan sangat menghargai pluralitas”. Baru-baru ini, dalam Munas-nya di Bali, mereka menyerukan kebangkitan semangat kebangsaan menuju kejayaan nasional. Komitmen mereka sebagai partai politik—yang katanya—Islam yang menjunjung tinggi pluralitas, ditunjukkan lewat “aksi nyata” dengan mengumumkan—dengan keyakinan yang tinggi akan kebenaran “ijtihad politiknya”—untuk menerima orang-orang non-muslim (seperti Kristen di Papua dan Hindu di Bali) sebagai kader, pengurus, dan calon legislatif dari partai politik—yang katanya—Islam tersebut.

Sekali lagi, kita harus membiasakan diri dengan kenyataan pahit seperti yang telah dengan terang-terangan ditampilkan oleh parpol—yang katanya—Islam tersebut. Bagaimana mungkin mereka membuka diri terhadap orang-orang kafir dalam “pemaknaan” yang gegabah seperti itu? Dalil dan logika mana yang mereka harapkan akan mendukung “ijtihad politik” mereka itu? Adakah lelucon yang lebih tidak masuk akal selain “harapan” absurd bahwa seorang Kristen dan Hindu akan mendukung dan memperjuangkan Syariat Islam di DPR/D? Belum cukup jelaskah bagi kita kasus “kota Injil” Manokwari? Lupakah kita kepahitan yang dialami seorang anggota DPRD muslim di Bali yang “dikecam” hanya karena mengucapkan basmalah dan salam di dalam ruang sidang legislatif? Bagaimana dengan larangan Tuhan dalam ayat-ayat suci untuk tidak mengambil wali dan teman kepercayaan dari orang-orang kafir? Apakah nasionalisme itu sesuatu yang sakral sehingga lebih ditonjolkan dibandingkan ikatan ideologi Islam? Benarkah ikatan kebangsaan itu sesuatu pemikiran yang maju, memajukan, dan termaju? Pertanyaan pamungkas adalah, “Apakah Islam membutuhkan demokrasi?”

Sekali-kali tidak! Semua itu hanya “gincu politik” pragmatis dan oportunis yang telah kehilangan ruh dan akal ideologis. Suatu cermin jujur watak dasar yang telah “takluk” di hadapan realitas jahiliyah. Tindakan mereka ini merupakan gambaran konkret dari sebuah kaidah yang “terpeleset”. Kaidah itu sejatinya berbunyi, “partai politik adalah kenderaan bagi dakwah Islam”, lalu “terpeleset” menjadi, “dakwah Islam adalah kenderaan bagi partai politik”.

Ideologi Islam Sebagai Asas Pergerakan Islam yang Hakiki
Pertama-tama, kita harus membantah setiap partai politik—yang katanya—Islam yang mengumandangkan patriotisme dan nasionalisme sebagai asas kebangkitan. Hal ini dikarenakan, “Semua usaha akan sia-sia jika dakwah ini bertolak dari seruan-seruan revolusioner kebangsaan, sosial, ataupun moral. Atau, jika seruan-seruan ini dijadikan slogan pengiring bagi seruan Laa Ilaaha illallaah. Tali hubungan kekeluargaan, kesukuan, kebangsaan, jenis, ras, warna kulit, dan bongkahan bumi, adalah tali hubungan yang tidak kuat dan terbelakang. Ia adalah tali ikatan jahiliah yang pernah dikenal manusia di zaman keterpurukan jiwa. Inilah sebabnya Rasulullah saw menamakannya sebagai suatu hubungan yang bobrok. Satu kata sifat yang menunjukkan rasa kekerdilan dan rasa jijik.”, Sayyid Quthb (2007). Dengan bahasa yang kurang lebih mengarah pada kesimpulan yang sama dengan ideolog kedua Ikhwanul Muslimin tersebut, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, menyatakan dalam Nizhamul Islam (diterjemahkan menjadi Peraturan Hidup dalam Islam, 2003) bahwa, “Ikatan Patriotisme tumbuh di tengah-tengah masyarakat, tatkala pola pikir manusia mulai merosot…tergolong ikatan yang paling lemah dan rendah nilainya. Ikatan ini tampak juga dalam dunia binatang serta burung-burung, dan senantiasa emosional sifatnya... Adapun ikatan nasionalisme tumbuh di tengah-tengah masyarakat pada saat pemikiran manusia mulai sempit..ikatan semacam ini tidak sesuai dengan martabat manusia.”

Mereka, parpol—yang katanya—Islam tersebut, bukannya tidak tahu akan hal ini. Bahkan salah satu dari parpol tersebut disebut-sebut sebagai “perpanjangan tangan” dari Ikhwanul Muslimin Mesir. Mereka tentu saja sudah hapal-luar-kepala kata-kata ideolog Ikhwan sekaliber Sayyid Quthb di atas. Hanya saja, seperti yang telah dijelaskan, mereka “terlanjur” kehilangan ruh ideologis. Hitung-hitungan yang digunakan adalah hitung-hitungan menang-kalah, untung-rugi, maslahat-tidak maslahat, membesar-tidak membesar, dll. Partai Islam ideologis akan tetap menggigit dengan gerahamnya prinsip-prinsip ideologis meski manusia-manusia di sekelilingnya tidak mau mendengarkan kebenaran yang disampaikan, meski mereka disebut-sebut sebagai manusia-manusia terbelakang, meski mereka disebut-sebut sebagai kelompok yang tidak waras di tengah modernisme yang waras, meski mereka dicibir, dicela, dikucilkan, ditinggalkan dan bahkan disiksa! Bukankah Rasulullah saw dan para sahabatnya pernah disebut tidak waras, penyihir, penipu, utopis, dll? Kalaulah “ijtihad politik” mereka ini benar, lupakah mereka pada uswatun hasanah ketika Rasulullah menolak tawaran Jahiliah Mekkah berupa Harta, Tahta, Wanita, dan Penyembuhan asalkan Beliau berhenti dari “kekeraskepalaannya” menghujat sistem aturan dan keyakinan yang sedang eksis waktu itu?

Rasulullah merupakan bagian dari keluarga Bani Hasyim, salah satu keluarga terpandang di kalangan Quraisy. Beliau juga memiliki reputasi yang baik sebagai orang terpercaya di kalangan orang-orang Arab Quraisy. Kalau “logika politik” parpol yang telah melenceng itu yang kita gunakan, semestinya, Rasulullah menyerukan kebangkitan Quraisy atau lebih jauh kebangkitan bangsa Arab (Pan Arabisme). Jalan ini jauh lebih mudah dan akan mendapat dukungan yang meriah, dalam pikiran kaum pragmatis, dibandingkan seruan-seruan frontal akidah yang hanya menghasilkan penyiksaan, pemboikotan, dan pengucilan di masa-masa awal dakwah Islam. Fakta sejarah menyatakan, Rasulullah saw tidak menggelorakan kebangkitan kebangsaan dan malah menghujatnya sebagai sesuatu yang bobrok!

Kondisi sosial masyarakat Arab pada masa awal Islam sungguh bobrok dan rusak. Kesenjangan ekonomi, ketimpangan sosial, kesewenang-wenangan kaum bangsawan (borjuis), dan ketidakadilan gender meliputi keseharian mereka. Kalau “logika politik” parpol yang telah melenceng itu yang kita gunakan, semestinya, Rasulullah menyerukan revolusi sosial untuk menegakkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Arab. Fakta sejarah menyatakan, Rasulullah saw tidak menggelorakan revolusi sosial karena asas perjuangan semacam itu merupakan asas yang rendah dan bobrok dalam pandangan Islam.

Rasulullah juga diutus kepada manusia saat kondisi moral bangsa Arab pada waktu itu berada pada titik paling rendah bagi naluri kemanusiaan yang murni. Arak, judi, pelacuran, pelecehan kepada kaum wanita, dan kezaliman kemanusiaan merupakan suasana yang biasa pada waktu itu. Kalau “logika politik” parpol yang telah melenceng itu yang kita gunakan, semestinya, Rasulullah menyerukan perbaikan moral untuk membersihkan dan memuliakan seluruh rakyat Arab. Seruan ini tentunya akan mendapat sambutan yang meriah dan mempercepat “pelebaran dan pembesaran” kelompok dakwah. Fakta sejarah menyatakan, Rasulullah saw tidak menggelorakan seruan-seruan semacam itu.

Rasulullah saw dan para sahabatnya berjalan di atas manhaj yang ditetapkan oleh Allah swt yang tegak di atas Aqidah Islam. Bukan seruan-seruan nasionalisme, revolusi sosial, atau seruan perbaikan moral. Mereka tidak memilih jalan yang, menurut logika politisi yang pragmatis dan oportunis itu, mudah dan lebih ringan hambatannya. Mereka tidak mendasarkan diri pada logika “bagaimana caranya biar partai ini cepat membesar”, melainkan mendasarkan diri pada sikap ideologis yang tak goyah oleh pujian dan cercaan. Benarlah apa yang diungkapkan oleh Asy-Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, dalam masterpiece-nya At-Takattul al-Hizbiy (diterjemahkan menjadi, Pembentukan Partai Politik Islam, 2007), ”Kami meyakini, bahwa falsafah kebangkitan yang hakiki sesungguhnya bermula dari adanya sebuah ideologi (mabda) yang menggabungkan fikrah dan thariqah secara terpadu. Ideologi tersebut adalah Islam. Sebab, Islam pada hakekatnya adalah sebuah akidah yang melahirkan peraturan untuk mengatur seluruh urusan negara dan umat, serta merupakan pemecahan untuk seluruh masalah kehidupan.”

Kenyataan-kenyataan ini semakin menggugah kita untuk bertanya kepada para politisi (Islam) di badan legislatif, “Bapak anggota dewan yang terhormat, masih adakah (tempat untuk) Islam di badan legislatif ini? Adakah gerangan poros politik Islam di ruangan ini?” Ketika mereka diam atau pun menebar celoteh-celoteh kosong yang kabur, kita semakin mantap untuk mempertanyakan lebih lanjut, “Pak Ustadz yang merangkap sebagai anggota dewan yang terhormat, masih layakkah jalan demokrasi ini kita ikuti? Benarkah kita bisa “Menikmati Demokrasi” tanpa mengorbankan nilai-nilai prinsipil keislaman kita?” Ketika mereka semakin diam terbungkam atau pun kian nyaring berceloteh kosong yang kian mengaburkan hakikat kebenaran dan kebatilan, kita mencukupkan diri dengan jawaban-jawaban yang tersurat maupun tersirat dari “realitas pergerakan” yang terindera yang tidak mungkin kita dapatkan dari orang-orang seperti ustadz-ustadz “gaul”yang terlanjur “sibuk” di pentas politik pragmatis-oportunis itu.

Butuh sikap yang ikhlas, tegas dan berbesar hati untuk mengarungi perjalanan panjang yang penuh cobaan dan godaan ini. Kita juga harus memupuk sikap kritis untuk mengkritisi penyimpangan-penyimpangan yang mungkin tengah melanda “kereta perjuangan” yang sedang kita tumpangi. Harus selalu disadari dan ditegaskan dalam prinsip perjuangan ini bahwa organisasi dan partai hanyalah kenderaan dakwah, bukan tujuan yang hendak dicapai. Masuk organisasi atau pun partai berarti masuk kenderaan. Jika ada sinyalemen bahwa kenderaan yang kita tumpangi rusak, pastikanlah dimana letak kerusakannya dan bagaimana memperbaikinya. Jika tidak bisa diperbaiki, demi keselamatan perjalanan, tinggalkanlah kenderaan rusak itu dengan ikhlas dan tanpa ragu. Mungkin masih ada kenderaan lain yang bisa membawamu dengan selamat menuju akhir perjalanan. Yang paling utama dalam perkara ini adalah kejujuran, sehingga, “jangan ada dusta di antara kita”.