Coen Husain Pontoh
Baru-baru ini, salah satu jurnal kiri tertua di AS, Monthly Review, edisi Juli-Agustus 2006, menampilkan edisi khusus mengenai “Aspects of Class in the U.S.”
Beberapa tema menyangkut soal kelas di AS, dibahas di sini. Misalnya, artikel dari William K. Tabb, “The Power of Rich;” artikel Michael Perelman, “Some Economic of Class;” atau dari David Roediger, “Undocumented Workers & the U.S. Informal Economy.”
Pengantar dari John Bellamy Foster, merupakan pembuka kata yang sangat menarik. Foster menyebutkan, di AS fenomena mengenai self reproduction sebagai karakter esensial dari kelas tampak begitu nyata. Mengutip harian the New York Times (14/11/2002), Foster menunjukkan hasil temuan Bashkar Mazumber dari Federal Reserve Bank of Chicago, dimana sekitar 65 persen keuntungan yang diperoleh orang tua kaya di AS dialihkan kepada anak-anaknya. Studi yang lebih serius mengenai soal ini, dilakukan oleh Tom Hertz, ekonom dari American University, yang berjudul “Understanding Mobility in America” (paper ini bisa Anda baca di http://www.americanprogress.org).
Paper menarik lainnya dalam edisi ini, adalah artikel dari Michael Zweig berjudul “Six Point on Class.” Zweig adalah pengajar ekonomi dan direktur Center for Study of Working Class Life di State University of New York (SUNY) at Stony Brook. Paper Zweig inilah yang akan saya bagikan informasinya lebih jauh.
Di Amerika Serikat, demikian Zweig, pengertian tentang kelas dicampurbaurkan dengan pengertian tentang pendapatan, kesejahteraan, atau gaya hidup. Padahal, kelas lebih berhubungan dengan kekuasaan, sementara pendapatan, gaya hidup, dan kesejahteraan lebih bermakna individual dengan ciri karakter yang tetap. Pengertian tentang kelas juga tumpang tindih dengan pengertian tentang ras dan gender atau kaya dan miskin. Dalam imajinasi rakyat AS, misalnya, mayoritas penduduk miskin Amerika datang dari kalangan kulit hitam dan hispanik (Spanyol-Amerika). Inilah sebabnya, mengapa isu ras lebih menonjol ketimbang isu kelas. Kenyataannya, dua pertiga dari seluruh rakyat miskin Amerika adalah mereka yang berkulit putih. Sementara, tiga perempat dari seluruh penduduk kulit hitam bukanlah orang miskin.
Dalam analisisnya ini, saya kira Zweig terpengaruh dengan definisi Lenin tentang kelas, dimana kelas tidak ditentukan oleh kekayaan tapi, oleh kedudukan atau posisi seseorang atau kelompok dalam hubungan produksi yang ada. Zweig, misalnya, mengatakan, seseorang yang memenangkan $380 juta dalam undian Power Ball, memang membuatnya menjadi kaya. Tetapi, ia bukanlah bagian dari elite korporasi yang memiliki kekuasaan politik yang menentukan. “Being rich is not the key point,” tulis Zweig.
Hal paling menarik dari artikel Zweig ini, adalah pemetaannya mengenai struktur kelas di AS. Pemetaan ini saya kira, sedikit banyak bermanfaat buat gerakan progresif di Indonesia. Inilah pemetaan Zweig:
1. Kelas pekerja (the Working Class), adalah mereka yang memiliki kekuasaan relatif terbatas di tempat kerjanya. Mereka ini adalah pekerja kerah putih (white collar) seperti teller bank, call center, dan kasir; pekerja kerah biru (blue collar) seperti masinis, buruh bangunan dan perakitan; pekerja kerah merah muda (pink collar) seperti, sekretaris, suster, dan home-health-care workers. Mereka ini merupakan buruh trampil atau tidak trampil (unskilled), laki dan perempuan dari seluruh ras, kebangsaaan, dan preferensi seksual. Kelas pekerja adalah mereka yang memiliki kontrol personal yang kecil terhadap isi dari pekerjaannya tapi, tidak memiliki kontrol terhadap sesuatu di luar bidang kerjanya. Saat ini terdapat sekitar 60 juta kelas pekerja di Amerika, yang menjadikan kelas pekerja secara esensial merupakan penduduk mayoritas di AS.
2. Kelas kapitalis (the Capitalist Class), adalah elite korporat atau perusahaan, eksekutif senior, dan direktur perusahaan-perusahaan besar, dimana pekerjaannya adalah memberikan petunjuk-petunjuk strategis kepada perusahaan. Mereka ini adalah orang-orang yang berinteraksi dengan agen-agen pemerintah dan eksekutif perusahaan lainnya, yang meninggalkan pekerjaan sehari-harinya kepada manajer level menengah atau kepada sebuah gugus kerja. Dalam hal ini, mereka berbeda dengan pemilik bisnis kecil, yang cenderung bekerja di samping sejumlah kecil buruh yang dimilikinya dan mengatur secara langsung bisnisnya. Pengusaha bisnis kecil ini, secara literal adalah kapitalis dalam hubungannya dengan buruh upahan yang dimilikinya, secara konseptual lebih tepat dipahami sebagai kelas menengah.
3. Kelas penguasa (the Rulling Class), dimaknai lebih terbatas ketimbang kelas kapitalis seutuhnya dan juga non-kapitalis. Kelas penguasa ini adalah mereka yang memberikan petunjuk kepada bangsa secara keseluruhan, lebih luas ketimbang bisnis atau institusi yang dimilikinya. Mereka inilah yang mengoordinasikan aktivitas para kapitalis dari seluruh perusahaan.
4. Kelas menengah (the Middle Class), adalah para profesional, pemilik bisnis kecil, manajer dan pengawas buruh. Mereka ini sebaiknya tidak dipahami sebagai menengah dalam distribusi pendapatan tetapi, hidup di tengah dua kelas yang saling bertentangan dalam masyarakat kapitalis. Pengalaman mereka dalam beberapa aspek dibagi dengan kelas pekerja dan dalam beberapa hal lainnya, berhubungan dengan elite korporat.
Sebagai contoh, pemilik bisnis kecil memiliki kepentingan yang sama dengan para kapitalis dalam soal pemilikan pribadi (private property) aset-aset bisnis, penghancuran kekuatan serikat buruh, dan pemangkasan UU perburuhan. Tetapi, mereka juga berbagi dengan buruh dalam kerja itu sendiri, dan kesulitan memperoleh asuransi kesehatan.
Para profesional juga demikian, jika melihat pengalaman lebih dari 30 tahun terakhir. Para profesional yang hidup berdampingan dengan kelas pekerja, dokter yang berpraktek di kampung kelas pekerja, pengacara yang membela kepentingan publik, para pengajar sekolah umum, tampak bahwa kondisi ekonomi dan sosialnya semakin menurun di hadapan kelas yang dilayaninya. Tetapi, jika kita melihat mereka yang hidup dari pelayanannya terhadap kelas kapitalis – pengacara korporat, dokter-dokter yang berpraktek di lokasi wah, para intelektual yang melayani kepentingan korporat - mereka ini jelas-jelas memperoleh keuntungan dari elite yang dilayaninya. Dari sisi ini, kepentingan mereka merefleksikan kepentingan elite korporasi.
Dari pemetaan yang dibuat Zweig ini, beberapa pelajaran yang bisa kita petik bagi pembangunan gerakan progresif di Indonesia. Pertama, pengorganisiran berbasis kelas tidak semata-mata bertumpu pada buruh dalam pengertian buruh pabrik, buruh tani atau nelayan, dalam pengertian yang klasik. Semakin meningkatnya perkembangan sektor jasa, misalnya, menyebabkan pertumbuhan buruh di sektor ini semakin tinggi.
Kedua, pengorganisiran kelas pekerja harus diarahkan pada transformasi kelas pekerja menjadi kelas penguasa (the rulling class). Ini sebenarnya bukan cerita baru bagi kalangan progresif di Indonesia tapi, tak ada salahnya jika disampaikan ulang. Ketidakmampuan mentransformasikan kekuatan kelas pekerja ini, menjadi sebab utama munculnya politik berbasis agama, etno-nasionalis, atau bahkan kedaerahan.
Ketiga, kalangan progresif di Indonesia, harus membuka diri seluas-luasnya pada keterlibatan kelas menengah dalam perjuangan berbasis kelas tersebut. Dan saya menduga, di tengah-tengah kebangkrutan ekonomi saat ini, jumlah kelas menengah yang berpotensi progresif makin berlipat jumlahnya. Kesabaran, kecakapan mengomunikasikan ide-ide progresif ke kalangan ini, merupakan tantangan tersendiri bagi kalangan progresif.
Wednesday, May 6, 2009
Tuesday, May 5, 2009
Masih Adakah (Partai Politik) Islam di Legislatif?
Kamis, 07 Februari 08 - oleh : IKHWAN MUSLIM NASUTION
Indonesia, negara dengan penduduk mayoritas muslim dan tercatat sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, menyimpan fakta-fakta miris terkait identitas yang disandangnya. Dalam hitung-hitungan matematis dan tuntutan logika rasional, seharusnya, Indonesia--dengan segala sumber daya dan potensi yang dimilikinya--layak menjadi pemimpin umat Islam global khususnya dan umat manusia keseluruhan umumnya. Indonesia, seharusnya, menjadi tempat dimana “janji-janji agama” untuk menebar rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamiin) direalisasikan ke “dunia fakta-fakta”. Indonesia, semestinya, menjadi tempat dimana umat manusia menjadi saksi—untuk selanjutnya merujuk—atas hegemoni Islam memimpin manusia dan kemanusiaan yang melekat padanya dalam menjalankan “amanat suci” sebagai khalifah di muka bumi yang fana ini.
Itulah bahasa harapan yang timbul dari suatu tuntutan “ideal” atas fakta-fakta “tak ideal” yang berserakan di sisi kanan-kiri-depan-dan belakang kenyataan-kehidupan ini. Di sebuah negara yang kaya akan sumber daya dan potensi, terjadi tragedi yang bersifat dialektis, antagonis, antonim, dan segala istilah yang merujuk pada makna “berlawanan, bertentangan, dan kontradiktif”. Berlawanan dengan apa “yang seharusnya, yang ideal, yang dicita-citakan dan yang dituntut”. Di sini, di negeri ini, revolusi memang belum selesai. “Revolusi Suci” sedang bergulir untuk membersihkan kotoran-kotoran, noktah-noktah, najis-najis ringan dan berat, bercak-bercak lumpur, darah kotor, nanah dan air comberan, serta segala penyakit mental akut yang menggerogoti kepercayaan diri, kewarasan berpikir dan kecakapan bertindak manusia-manusianya dalam keseharian yang penuh sesak oleh variabel-variabel kejahiliahan di tiap sendinya.
Ada apa dengan umat Islam dewasa ini; di negeri ini dan negeri-negeri lainnya? Kaum muslimin, alih-alih menjadi pemimpin umat manusia sebagaimana “yang dijanjikan”, telah dieksploitasi dengan invasi yang massif dan terorganisir dari segala sisi: ekonomi, politik, budaya, pemikiran, dan keyakinan. Pasca runtuhnya Daulah Ustmaniyah sebagai “pewaris terakhir” Khilafah Islamiyah, kemuliaan dan kehormatan umat ini dipermainkan dan dinistakan oleh kaum kafir dan para sekutunya. Hilangnya kesadaraan dan kepercayaan diri sebagai “umat pilihan yang terbaik”, telah menempakan kaum muslimin tak ubahnya seperti pasien-pasien pesakitan yang mengidap gangguan jiwa dan keterbelakangan mental. Mereka telah dibuat buta, tuli, dan hilang ingatan akan memoar dan romantisme kejayaan dan kemuliaan yang telah terukir di lembaran sejarah dan telah dijanjikan untuk “dikembalikan” kepada mereka jika mereka “siap menerimanya”. Inilah masalah umat Islam kontemporer yang mewabah di atas puing-puing Kekhilafahan Islam pernah mengukir kegemilangan peradaban. Manusia-manusia yang kehilangan arah gerak dan orientasi perjuangan, putus asa, merasa inferior, kerdil, dan pecundang di hadapan realitas “gemerlap” neo-jahiliah, mengekor pada opini global yang oportunis dan pragmatis, dan melupakan pijakan dasar yang paling asasi dalam diri seorang muslim: akidah Islam sebagai ideologi kebangkitan menuju kemuliaan “yang dijanjikan”!
Pergerakan yang Menyimpang dari Asas Islam
Setelah Daulah Ustmany diabolis oleh Mustafa Kemal Pasha, kaum muslimin terpecah belah dalam negara-negara jajahan dan negara-negara boneka kaum kafir imperialis. Setelah masa “kolonialisasi fisik” berakhir, bermunculanlah negara-negara bangsa (nation states) yang kecil dan lemah di dunia Islam. Negeri-negeri muslim itu pun dipisahkan oleh sekat-sekat geografis, nasionalisme, patriotisme, bendera, simbol-simbol kenegaraan, bahasa dan dialek, mata uang, kepentingan-kepentingan, dan persaingan-persaingan yang kesemuanya itu merupakan “buah tangan” dari kaum kafir imperialis. Belakangan, setelah mereka “merdeka”, sejarah pun dikaburkan oleh kaum kafir imperialis dan antek-antek mereka yang pemikirannya telah “teracuni”, dengan mengatakan bahwa penjajahan atas negeri-negeri Islam itu adalah murni imperialisme dan kolonialisme. Ini merupakan penyesatan dan pengaburan sejarah yang nyata, sebagaimana dibantah dan dikecam oleh orang-orang seperti Taqiyuddin An-Nabhani, Sayyid Quthb, dan ulama-ulama yang ikhlas dan jernih pemikirannya dari umat ini. Yang sebenarnya adalah, sebagaimana termaktub dalam Kitab Suci:
“Dan, mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perksa lagi Maha Terpuji.” (al-Buruuj:8) Imperialisme dan kolonialisme atas negeri-negeri Islam di masa lalu dan masa kini harus senantiasa dipandang sebagai “selubung” bagi kekuatan “roh jahat” fundamentalisme Salibis dan Zionisme internasional.
Dalam perjalanan sejarah di tengah kevakuman Kekhilafahan ini, propaganda pemikiran dan teror mental terus dilancarkan secara massif, represif dan agresif oleh kaum orientalis yang notabene kepanjangan tangan dan juru bicara kaum kafir imperialis. Islam disudutkan hingga batas yang paling kritis. Islam dan kaum muslimin diposisikan sebagai tertuduh yang kalah perang di setiap propaganda dan missi mereka. Pemikiran-pemikiran Barat pun menyusup ke celah-celah kaum muslimin yang sedang loss orientation,merasa inferior dan terpecundangi. Manusia-manusia yang Islam secara statistik, banyak yang terjebak pada “gemerlap” pemikiran-pemikiran neo-jahiliah yang sedang “eksis”. Secara sadar atau tidak sadar, mereka telah menjadi “agen yang sempurna” bagi musuh-musuh Islam untuk “menjahiliahkan” kaum muslimin.
Dalam beberapa waktu setelah “tersadar” dalam kubangan “perbudakan”, umat ini pun tersentak dengan kekagetan yang hebat. Tema-tema kebangkitan pun merebak di seantero dunia Islam. Pemikiran kembali diasah. Langkah-langkah pergerakan pun berderap tegap. Opini kebangkitan pun menjangkiti tiap sudut negeri kaum muslimin. Partai-partai politik pun bermunculan. Kereta revolusi pun melaju.
Banyak partai politik (Islam) yang pada tahap-tahap awal kemunculannya di pentas pergumulan pemikiran begitu antusias dan bersemangat mengopinikan Islam sebagai solusi ideologis dalam menjawab permasalahan yang melanda kaum muslimin khususnya dan umat manusia umumnya. Akan tetapi, seiring dengan dinamika perjalanan dan pergumulan yang keras dengan realitas, dengan alasan-alasan strategi dan siasat, muncullah “ijtihad-ijtihad politik” yang serba pragmatis dan oportunis. ”Ketika partai mulai mengarungi medan kehidupan, ia akan ditimpa hawa ‘panas’ dan ‘dingin’ silih-berganti; ia juga akan merasakan terpaan ‘angin yang keras’ atau ‘angin sepoi-sepoi’. Ia juga akan bersentuhan dengan udara yang bersih atau kotor.”, (Muhammad Hawari, Politik Partai, Strategi Baru Perjuangan Partai Politik Islam , 2007:166). Pergulatan politik itu bukanlah suatu gerak statis yang hanya mengenal satu “suasana”. Ada kalanya gairah idealisme-ideologis begitu membara sehingga ghirah perjuangan menyala dengan bara yang memompa gerak “kereta perjuangan”. Ada juga masa-masa dimana terror, tekanan, dan propaganda sesat membuat laju “kereta perjuangan” melambat. Suasana panas dan dingin akan muncul silih berganti.
Akbar S.Akhmed, dalam Postmodernism and Islam (1992), sebagaimana dikutip oleh M.Yudhie Haryono dalam Melawan dengan Teks (2005), menyebutkan, ada delapan karakter sosiologis sebagai catatan atas modernisme. Salah satunya disebutkan, “..meledaknya industri media massa, sehingga seolah menjadi perpanjangan dari sistem indera, organ dan syaraf manusia. Kondisi ini membuat dunia dan ruang kehidupan menyempit. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma menjadi “agama dan Tuhan baru” yang menentukan kebenaran dan kesalahan perilaku manusia..” Jika partai politik Islam tersebut terkecoh, terperdaya, dan merasa tertekan karena pencitraan inferioritas Islam di sisi pandangan-pemikiran jahiliah yang tengah eksis dan dipropagandakan oleh media-media kufur, maka partai politik Islam tersebut—tidak mustahil—akan tergelincir dan menyimpang dari ruh ideologis-nya yang hakiki. Lebih jauh, mereka akan terseret ke dalam kubangan lumpur jahiliyah yang kotor.
Sudah banyak fakta-fakta yang tersingkap di hadapan kita terkait “lunturnya” komitmen ideologis partai-partai politik—yang awalnya—Islam. Partai-partai yang tadinya mengusung tema-tema “keislaman yang revolusioner”seperti Khilafah, Syar’iah Islam, Ideologi Islam, dan Ukhuwah Islamiyah, lambat laun menurun-merendah menjadi tema-tema kebangsaan, kemaslahatan, hingga tema-tema moral dan etika yang—katanya—bersifat universal seperti pemerintahan yang adil dan bersih, pembangunan nasional, kejayaan bangsa, hingga taraf terendah seperti suami atau isteri yang baik. Yang tak kalah menyedihkan adalah ketika mereka “termakan” propaganda dan isu-isu yang dihembuskan oleh kaum kafir kapitalis-sosialis-sekuler, semacam demokratisasi, HAM, emansipasi dan kesetaraan gender, pluralisme, kebebasan, nasionalisme, globalisasi, pasar bebas, dll. Sehingga, tidaklah mengherankan ketika ada partai politik—yang katanya—Islam mendukung-menyetujui-dan mengesahkan Undang-Undang yang secara prinsipil bertentangan dengan Syariat Islam seperti UU Penanaman Modal Asing yang memberi jalan kepada kaum kapitalis mengeksploitasi kekayaan alam yang menurut hukum syari’ah tidak bisa dibenarkan, ada juga UU tentang HAM, UU tentang politik sekuler yang demokratis, dll.
Cukuplah apa yang diucapkan Sayyid Quthb, ideolog kedua Ikhwanul Muslimin yang—bi iznillah—syahid di tiang gantungan rezim otoriter Mesir, dalam Ma’aalim fith-Thariiq (Diterjemahkan dengan judul Petunjuk Jalan, 2006) mengingatkan kita semua. Beliau menyatakan, “Mereka ingin agama ini mengubah karakteristik, manhaj, dan sejarahnya agar mirip dengan teori dan manhaj ciptaan manusia. Mereka mencoba mengubah alur agama ini demi kecenderungan-kecenderungan mereka. Kecenderungan yang mencerminkan kekerdilan jiwa saat menyaksikan sistem buatan manusia yang dewasa ini semakin banyak diminati.”, (hal.39). Sehingga, dari pembacaan penyimpangan ini, kita tidak lagi terkejut dan “jantungan” ketika menyaksikan pengakuan yang diutarakan dengan percaya diri atas nama “ijtihad politik” oleh salah satu partai politik—yang katanya—Islam bahwa mereka menyatakan diri secara ikhlas sebagai “partai terbuka yang inklusif, nasionalis, religius dan sangat menghargai pluralitas”. Baru-baru ini, dalam Munas-nya di Bali, mereka menyerukan kebangkitan semangat kebangsaan menuju kejayaan nasional. Komitmen mereka sebagai partai politik—yang katanya—Islam yang menjunjung tinggi pluralitas, ditunjukkan lewat “aksi nyata” dengan mengumumkan—dengan keyakinan yang tinggi akan kebenaran “ijtihad politiknya”—untuk menerima orang-orang non-muslim (seperti Kristen di Papua dan Hindu di Bali) sebagai kader, pengurus, dan calon legislatif dari partai politik—yang katanya—Islam tersebut.
Sekali lagi, kita harus membiasakan diri dengan kenyataan pahit seperti yang telah dengan terang-terangan ditampilkan oleh parpol—yang katanya—Islam tersebut. Bagaimana mungkin mereka membuka diri terhadap orang-orang kafir dalam “pemaknaan” yang gegabah seperti itu? Dalil dan logika mana yang mereka harapkan akan mendukung “ijtihad politik” mereka itu? Adakah lelucon yang lebih tidak masuk akal selain “harapan” absurd bahwa seorang Kristen dan Hindu akan mendukung dan memperjuangkan Syariat Islam di DPR/D? Belum cukup jelaskah bagi kita kasus “kota Injil” Manokwari? Lupakah kita kepahitan yang dialami seorang anggota DPRD muslim di Bali yang “dikecam” hanya karena mengucapkan basmalah dan salam di dalam ruang sidang legislatif? Bagaimana dengan larangan Tuhan dalam ayat-ayat suci untuk tidak mengambil wali dan teman kepercayaan dari orang-orang kafir? Apakah nasionalisme itu sesuatu yang sakral sehingga lebih ditonjolkan dibandingkan ikatan ideologi Islam? Benarkah ikatan kebangsaan itu sesuatu pemikiran yang maju, memajukan, dan termaju? Pertanyaan pamungkas adalah, “Apakah Islam membutuhkan demokrasi?”
Sekali-kali tidak! Semua itu hanya “gincu politik” pragmatis dan oportunis yang telah kehilangan ruh dan akal ideologis. Suatu cermin jujur watak dasar yang telah “takluk” di hadapan realitas jahiliyah. Tindakan mereka ini merupakan gambaran konkret dari sebuah kaidah yang “terpeleset”. Kaidah itu sejatinya berbunyi, “partai politik adalah kenderaan bagi dakwah Islam”, lalu “terpeleset” menjadi, “dakwah Islam adalah kenderaan bagi partai politik”.
Ideologi Islam Sebagai Asas Pergerakan Islam yang Hakiki
Pertama-tama, kita harus membantah setiap partai politik—yang katanya—Islam yang mengumandangkan patriotisme dan nasionalisme sebagai asas kebangkitan. Hal ini dikarenakan, “Semua usaha akan sia-sia jika dakwah ini bertolak dari seruan-seruan revolusioner kebangsaan, sosial, ataupun moral. Atau, jika seruan-seruan ini dijadikan slogan pengiring bagi seruan Laa Ilaaha illallaah. Tali hubungan kekeluargaan, kesukuan, kebangsaan, jenis, ras, warna kulit, dan bongkahan bumi, adalah tali hubungan yang tidak kuat dan terbelakang. Ia adalah tali ikatan jahiliah yang pernah dikenal manusia di zaman keterpurukan jiwa. Inilah sebabnya Rasulullah saw menamakannya sebagai suatu hubungan yang bobrok. Satu kata sifat yang menunjukkan rasa kekerdilan dan rasa jijik.”, Sayyid Quthb (2007). Dengan bahasa yang kurang lebih mengarah pada kesimpulan yang sama dengan ideolog kedua Ikhwanul Muslimin tersebut, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, menyatakan dalam Nizhamul Islam (diterjemahkan menjadi Peraturan Hidup dalam Islam, 2003) bahwa, “Ikatan Patriotisme tumbuh di tengah-tengah masyarakat, tatkala pola pikir manusia mulai merosot…tergolong ikatan yang paling lemah dan rendah nilainya. Ikatan ini tampak juga dalam dunia binatang serta burung-burung, dan senantiasa emosional sifatnya... Adapun ikatan nasionalisme tumbuh di tengah-tengah masyarakat pada saat pemikiran manusia mulai sempit..ikatan semacam ini tidak sesuai dengan martabat manusia.”
Mereka, parpol—yang katanya—Islam tersebut, bukannya tidak tahu akan hal ini. Bahkan salah satu dari parpol tersebut disebut-sebut sebagai “perpanjangan tangan” dari Ikhwanul Muslimin Mesir. Mereka tentu saja sudah hapal-luar-kepala kata-kata ideolog Ikhwan sekaliber Sayyid Quthb di atas. Hanya saja, seperti yang telah dijelaskan, mereka “terlanjur” kehilangan ruh ideologis. Hitung-hitungan yang digunakan adalah hitung-hitungan menang-kalah, untung-rugi, maslahat-tidak maslahat, membesar-tidak membesar, dll. Partai Islam ideologis akan tetap menggigit dengan gerahamnya prinsip-prinsip ideologis meski manusia-manusia di sekelilingnya tidak mau mendengarkan kebenaran yang disampaikan, meski mereka disebut-sebut sebagai manusia-manusia terbelakang, meski mereka disebut-sebut sebagai kelompok yang tidak waras di tengah modernisme yang waras, meski mereka dicibir, dicela, dikucilkan, ditinggalkan dan bahkan disiksa! Bukankah Rasulullah saw dan para sahabatnya pernah disebut tidak waras, penyihir, penipu, utopis, dll? Kalaulah “ijtihad politik” mereka ini benar, lupakah mereka pada uswatun hasanah ketika Rasulullah menolak tawaran Jahiliah Mekkah berupa Harta, Tahta, Wanita, dan Penyembuhan asalkan Beliau berhenti dari “kekeraskepalaannya” menghujat sistem aturan dan keyakinan yang sedang eksis waktu itu?
Rasulullah merupakan bagian dari keluarga Bani Hasyim, salah satu keluarga terpandang di kalangan Quraisy. Beliau juga memiliki reputasi yang baik sebagai orang terpercaya di kalangan orang-orang Arab Quraisy. Kalau “logika politik” parpol yang telah melenceng itu yang kita gunakan, semestinya, Rasulullah menyerukan kebangkitan Quraisy atau lebih jauh kebangkitan bangsa Arab (Pan Arabisme). Jalan ini jauh lebih mudah dan akan mendapat dukungan yang meriah, dalam pikiran kaum pragmatis, dibandingkan seruan-seruan frontal akidah yang hanya menghasilkan penyiksaan, pemboikotan, dan pengucilan di masa-masa awal dakwah Islam. Fakta sejarah menyatakan, Rasulullah saw tidak menggelorakan kebangkitan kebangsaan dan malah menghujatnya sebagai sesuatu yang bobrok!
Kondisi sosial masyarakat Arab pada masa awal Islam sungguh bobrok dan rusak. Kesenjangan ekonomi, ketimpangan sosial, kesewenang-wenangan kaum bangsawan (borjuis), dan ketidakadilan gender meliputi keseharian mereka. Kalau “logika politik” parpol yang telah melenceng itu yang kita gunakan, semestinya, Rasulullah menyerukan revolusi sosial untuk menegakkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Arab. Fakta sejarah menyatakan, Rasulullah saw tidak menggelorakan revolusi sosial karena asas perjuangan semacam itu merupakan asas yang rendah dan bobrok dalam pandangan Islam.
Rasulullah juga diutus kepada manusia saat kondisi moral bangsa Arab pada waktu itu berada pada titik paling rendah bagi naluri kemanusiaan yang murni. Arak, judi, pelacuran, pelecehan kepada kaum wanita, dan kezaliman kemanusiaan merupakan suasana yang biasa pada waktu itu. Kalau “logika politik” parpol yang telah melenceng itu yang kita gunakan, semestinya, Rasulullah menyerukan perbaikan moral untuk membersihkan dan memuliakan seluruh rakyat Arab. Seruan ini tentunya akan mendapat sambutan yang meriah dan mempercepat “pelebaran dan pembesaran” kelompok dakwah. Fakta sejarah menyatakan, Rasulullah saw tidak menggelorakan seruan-seruan semacam itu.
Rasulullah saw dan para sahabatnya berjalan di atas manhaj yang ditetapkan oleh Allah swt yang tegak di atas Aqidah Islam. Bukan seruan-seruan nasionalisme, revolusi sosial, atau seruan perbaikan moral. Mereka tidak memilih jalan yang, menurut logika politisi yang pragmatis dan oportunis itu, mudah dan lebih ringan hambatannya. Mereka tidak mendasarkan diri pada logika “bagaimana caranya biar partai ini cepat membesar”, melainkan mendasarkan diri pada sikap ideologis yang tak goyah oleh pujian dan cercaan. Benarlah apa yang diungkapkan oleh Asy-Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, dalam masterpiece-nya At-Takattul al-Hizbiy (diterjemahkan menjadi, Pembentukan Partai Politik Islam, 2007), ”Kami meyakini, bahwa falsafah kebangkitan yang hakiki sesungguhnya bermula dari adanya sebuah ideologi (mabda) yang menggabungkan fikrah dan thariqah secara terpadu. Ideologi tersebut adalah Islam. Sebab, Islam pada hakekatnya adalah sebuah akidah yang melahirkan peraturan untuk mengatur seluruh urusan negara dan umat, serta merupakan pemecahan untuk seluruh masalah kehidupan.”
Kenyataan-kenyataan ini semakin menggugah kita untuk bertanya kepada para politisi (Islam) di badan legislatif, “Bapak anggota dewan yang terhormat, masih adakah (tempat untuk) Islam di badan legislatif ini? Adakah gerangan poros politik Islam di ruangan ini?” Ketika mereka diam atau pun menebar celoteh-celoteh kosong yang kabur, kita semakin mantap untuk mempertanyakan lebih lanjut, “Pak Ustadz yang merangkap sebagai anggota dewan yang terhormat, masih layakkah jalan demokrasi ini kita ikuti? Benarkah kita bisa “Menikmati Demokrasi” tanpa mengorbankan nilai-nilai prinsipil keislaman kita?” Ketika mereka semakin diam terbungkam atau pun kian nyaring berceloteh kosong yang kian mengaburkan hakikat kebenaran dan kebatilan, kita mencukupkan diri dengan jawaban-jawaban yang tersurat maupun tersirat dari “realitas pergerakan” yang terindera yang tidak mungkin kita dapatkan dari orang-orang seperti ustadz-ustadz “gaul”yang terlanjur “sibuk” di pentas politik pragmatis-oportunis itu.
Butuh sikap yang ikhlas, tegas dan berbesar hati untuk mengarungi perjalanan panjang yang penuh cobaan dan godaan ini. Kita juga harus memupuk sikap kritis untuk mengkritisi penyimpangan-penyimpangan yang mungkin tengah melanda “kereta perjuangan” yang sedang kita tumpangi. Harus selalu disadari dan ditegaskan dalam prinsip perjuangan ini bahwa organisasi dan partai hanyalah kenderaan dakwah, bukan tujuan yang hendak dicapai. Masuk organisasi atau pun partai berarti masuk kenderaan. Jika ada sinyalemen bahwa kenderaan yang kita tumpangi rusak, pastikanlah dimana letak kerusakannya dan bagaimana memperbaikinya. Jika tidak bisa diperbaiki, demi keselamatan perjalanan, tinggalkanlah kenderaan rusak itu dengan ikhlas dan tanpa ragu. Mungkin masih ada kenderaan lain yang bisa membawamu dengan selamat menuju akhir perjalanan. Yang paling utama dalam perkara ini adalah kejujuran, sehingga, “jangan ada dusta di antara kita”.
Indonesia, negara dengan penduduk mayoritas muslim dan tercatat sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, menyimpan fakta-fakta miris terkait identitas yang disandangnya. Dalam hitung-hitungan matematis dan tuntutan logika rasional, seharusnya, Indonesia--dengan segala sumber daya dan potensi yang dimilikinya--layak menjadi pemimpin umat Islam global khususnya dan umat manusia keseluruhan umumnya. Indonesia, seharusnya, menjadi tempat dimana “janji-janji agama” untuk menebar rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamiin) direalisasikan ke “dunia fakta-fakta”. Indonesia, semestinya, menjadi tempat dimana umat manusia menjadi saksi—untuk selanjutnya merujuk—atas hegemoni Islam memimpin manusia dan kemanusiaan yang melekat padanya dalam menjalankan “amanat suci” sebagai khalifah di muka bumi yang fana ini.
Itulah bahasa harapan yang timbul dari suatu tuntutan “ideal” atas fakta-fakta “tak ideal” yang berserakan di sisi kanan-kiri-depan-dan belakang kenyataan-kehidupan ini. Di sebuah negara yang kaya akan sumber daya dan potensi, terjadi tragedi yang bersifat dialektis, antagonis, antonim, dan segala istilah yang merujuk pada makna “berlawanan, bertentangan, dan kontradiktif”. Berlawanan dengan apa “yang seharusnya, yang ideal, yang dicita-citakan dan yang dituntut”. Di sini, di negeri ini, revolusi memang belum selesai. “Revolusi Suci” sedang bergulir untuk membersihkan kotoran-kotoran, noktah-noktah, najis-najis ringan dan berat, bercak-bercak lumpur, darah kotor, nanah dan air comberan, serta segala penyakit mental akut yang menggerogoti kepercayaan diri, kewarasan berpikir dan kecakapan bertindak manusia-manusianya dalam keseharian yang penuh sesak oleh variabel-variabel kejahiliahan di tiap sendinya.
Ada apa dengan umat Islam dewasa ini; di negeri ini dan negeri-negeri lainnya? Kaum muslimin, alih-alih menjadi pemimpin umat manusia sebagaimana “yang dijanjikan”, telah dieksploitasi dengan invasi yang massif dan terorganisir dari segala sisi: ekonomi, politik, budaya, pemikiran, dan keyakinan. Pasca runtuhnya Daulah Ustmaniyah sebagai “pewaris terakhir” Khilafah Islamiyah, kemuliaan dan kehormatan umat ini dipermainkan dan dinistakan oleh kaum kafir dan para sekutunya. Hilangnya kesadaraan dan kepercayaan diri sebagai “umat pilihan yang terbaik”, telah menempakan kaum muslimin tak ubahnya seperti pasien-pasien pesakitan yang mengidap gangguan jiwa dan keterbelakangan mental. Mereka telah dibuat buta, tuli, dan hilang ingatan akan memoar dan romantisme kejayaan dan kemuliaan yang telah terukir di lembaran sejarah dan telah dijanjikan untuk “dikembalikan” kepada mereka jika mereka “siap menerimanya”. Inilah masalah umat Islam kontemporer yang mewabah di atas puing-puing Kekhilafahan Islam pernah mengukir kegemilangan peradaban. Manusia-manusia yang kehilangan arah gerak dan orientasi perjuangan, putus asa, merasa inferior, kerdil, dan pecundang di hadapan realitas “gemerlap” neo-jahiliah, mengekor pada opini global yang oportunis dan pragmatis, dan melupakan pijakan dasar yang paling asasi dalam diri seorang muslim: akidah Islam sebagai ideologi kebangkitan menuju kemuliaan “yang dijanjikan”!
Pergerakan yang Menyimpang dari Asas Islam
Setelah Daulah Ustmany diabolis oleh Mustafa Kemal Pasha, kaum muslimin terpecah belah dalam negara-negara jajahan dan negara-negara boneka kaum kafir imperialis. Setelah masa “kolonialisasi fisik” berakhir, bermunculanlah negara-negara bangsa (nation states) yang kecil dan lemah di dunia Islam. Negeri-negeri muslim itu pun dipisahkan oleh sekat-sekat geografis, nasionalisme, patriotisme, bendera, simbol-simbol kenegaraan, bahasa dan dialek, mata uang, kepentingan-kepentingan, dan persaingan-persaingan yang kesemuanya itu merupakan “buah tangan” dari kaum kafir imperialis. Belakangan, setelah mereka “merdeka”, sejarah pun dikaburkan oleh kaum kafir imperialis dan antek-antek mereka yang pemikirannya telah “teracuni”, dengan mengatakan bahwa penjajahan atas negeri-negeri Islam itu adalah murni imperialisme dan kolonialisme. Ini merupakan penyesatan dan pengaburan sejarah yang nyata, sebagaimana dibantah dan dikecam oleh orang-orang seperti Taqiyuddin An-Nabhani, Sayyid Quthb, dan ulama-ulama yang ikhlas dan jernih pemikirannya dari umat ini. Yang sebenarnya adalah, sebagaimana termaktub dalam Kitab Suci:
“Dan, mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perksa lagi Maha Terpuji.” (al-Buruuj:8) Imperialisme dan kolonialisme atas negeri-negeri Islam di masa lalu dan masa kini harus senantiasa dipandang sebagai “selubung” bagi kekuatan “roh jahat” fundamentalisme Salibis dan Zionisme internasional.
Dalam perjalanan sejarah di tengah kevakuman Kekhilafahan ini, propaganda pemikiran dan teror mental terus dilancarkan secara massif, represif dan agresif oleh kaum orientalis yang notabene kepanjangan tangan dan juru bicara kaum kafir imperialis. Islam disudutkan hingga batas yang paling kritis. Islam dan kaum muslimin diposisikan sebagai tertuduh yang kalah perang di setiap propaganda dan missi mereka. Pemikiran-pemikiran Barat pun menyusup ke celah-celah kaum muslimin yang sedang loss orientation,merasa inferior dan terpecundangi. Manusia-manusia yang Islam secara statistik, banyak yang terjebak pada “gemerlap” pemikiran-pemikiran neo-jahiliah yang sedang “eksis”. Secara sadar atau tidak sadar, mereka telah menjadi “agen yang sempurna” bagi musuh-musuh Islam untuk “menjahiliahkan” kaum muslimin.
Dalam beberapa waktu setelah “tersadar” dalam kubangan “perbudakan”, umat ini pun tersentak dengan kekagetan yang hebat. Tema-tema kebangkitan pun merebak di seantero dunia Islam. Pemikiran kembali diasah. Langkah-langkah pergerakan pun berderap tegap. Opini kebangkitan pun menjangkiti tiap sudut negeri kaum muslimin. Partai-partai politik pun bermunculan. Kereta revolusi pun melaju.
Banyak partai politik (Islam) yang pada tahap-tahap awal kemunculannya di pentas pergumulan pemikiran begitu antusias dan bersemangat mengopinikan Islam sebagai solusi ideologis dalam menjawab permasalahan yang melanda kaum muslimin khususnya dan umat manusia umumnya. Akan tetapi, seiring dengan dinamika perjalanan dan pergumulan yang keras dengan realitas, dengan alasan-alasan strategi dan siasat, muncullah “ijtihad-ijtihad politik” yang serba pragmatis dan oportunis. ”Ketika partai mulai mengarungi medan kehidupan, ia akan ditimpa hawa ‘panas’ dan ‘dingin’ silih-berganti; ia juga akan merasakan terpaan ‘angin yang keras’ atau ‘angin sepoi-sepoi’. Ia juga akan bersentuhan dengan udara yang bersih atau kotor.”, (Muhammad Hawari, Politik Partai, Strategi Baru Perjuangan Partai Politik Islam , 2007:166). Pergulatan politik itu bukanlah suatu gerak statis yang hanya mengenal satu “suasana”. Ada kalanya gairah idealisme-ideologis begitu membara sehingga ghirah perjuangan menyala dengan bara yang memompa gerak “kereta perjuangan”. Ada juga masa-masa dimana terror, tekanan, dan propaganda sesat membuat laju “kereta perjuangan” melambat. Suasana panas dan dingin akan muncul silih berganti.
Akbar S.Akhmed, dalam Postmodernism and Islam (1992), sebagaimana dikutip oleh M.Yudhie Haryono dalam Melawan dengan Teks (2005), menyebutkan, ada delapan karakter sosiologis sebagai catatan atas modernisme. Salah satunya disebutkan, “..meledaknya industri media massa, sehingga seolah menjadi perpanjangan dari sistem indera, organ dan syaraf manusia. Kondisi ini membuat dunia dan ruang kehidupan menyempit. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma menjadi “agama dan Tuhan baru” yang menentukan kebenaran dan kesalahan perilaku manusia..” Jika partai politik Islam tersebut terkecoh, terperdaya, dan merasa tertekan karena pencitraan inferioritas Islam di sisi pandangan-pemikiran jahiliah yang tengah eksis dan dipropagandakan oleh media-media kufur, maka partai politik Islam tersebut—tidak mustahil—akan tergelincir dan menyimpang dari ruh ideologis-nya yang hakiki. Lebih jauh, mereka akan terseret ke dalam kubangan lumpur jahiliyah yang kotor.
Sudah banyak fakta-fakta yang tersingkap di hadapan kita terkait “lunturnya” komitmen ideologis partai-partai politik—yang awalnya—Islam. Partai-partai yang tadinya mengusung tema-tema “keislaman yang revolusioner”seperti Khilafah, Syar’iah Islam, Ideologi Islam, dan Ukhuwah Islamiyah, lambat laun menurun-merendah menjadi tema-tema kebangsaan, kemaslahatan, hingga tema-tema moral dan etika yang—katanya—bersifat universal seperti pemerintahan yang adil dan bersih, pembangunan nasional, kejayaan bangsa, hingga taraf terendah seperti suami atau isteri yang baik. Yang tak kalah menyedihkan adalah ketika mereka “termakan” propaganda dan isu-isu yang dihembuskan oleh kaum kafir kapitalis-sosialis-sekuler, semacam demokratisasi, HAM, emansipasi dan kesetaraan gender, pluralisme, kebebasan, nasionalisme, globalisasi, pasar bebas, dll. Sehingga, tidaklah mengherankan ketika ada partai politik—yang katanya—Islam mendukung-menyetujui-dan mengesahkan Undang-Undang yang secara prinsipil bertentangan dengan Syariat Islam seperti UU Penanaman Modal Asing yang memberi jalan kepada kaum kapitalis mengeksploitasi kekayaan alam yang menurut hukum syari’ah tidak bisa dibenarkan, ada juga UU tentang HAM, UU tentang politik sekuler yang demokratis, dll.
Cukuplah apa yang diucapkan Sayyid Quthb, ideolog kedua Ikhwanul Muslimin yang—bi iznillah—syahid di tiang gantungan rezim otoriter Mesir, dalam Ma’aalim fith-Thariiq (Diterjemahkan dengan judul Petunjuk Jalan, 2006) mengingatkan kita semua. Beliau menyatakan, “Mereka ingin agama ini mengubah karakteristik, manhaj, dan sejarahnya agar mirip dengan teori dan manhaj ciptaan manusia. Mereka mencoba mengubah alur agama ini demi kecenderungan-kecenderungan mereka. Kecenderungan yang mencerminkan kekerdilan jiwa saat menyaksikan sistem buatan manusia yang dewasa ini semakin banyak diminati.”, (hal.39). Sehingga, dari pembacaan penyimpangan ini, kita tidak lagi terkejut dan “jantungan” ketika menyaksikan pengakuan yang diutarakan dengan percaya diri atas nama “ijtihad politik” oleh salah satu partai politik—yang katanya—Islam bahwa mereka menyatakan diri secara ikhlas sebagai “partai terbuka yang inklusif, nasionalis, religius dan sangat menghargai pluralitas”. Baru-baru ini, dalam Munas-nya di Bali, mereka menyerukan kebangkitan semangat kebangsaan menuju kejayaan nasional. Komitmen mereka sebagai partai politik—yang katanya—Islam yang menjunjung tinggi pluralitas, ditunjukkan lewat “aksi nyata” dengan mengumumkan—dengan keyakinan yang tinggi akan kebenaran “ijtihad politiknya”—untuk menerima orang-orang non-muslim (seperti Kristen di Papua dan Hindu di Bali) sebagai kader, pengurus, dan calon legislatif dari partai politik—yang katanya—Islam tersebut.
Sekali lagi, kita harus membiasakan diri dengan kenyataan pahit seperti yang telah dengan terang-terangan ditampilkan oleh parpol—yang katanya—Islam tersebut. Bagaimana mungkin mereka membuka diri terhadap orang-orang kafir dalam “pemaknaan” yang gegabah seperti itu? Dalil dan logika mana yang mereka harapkan akan mendukung “ijtihad politik” mereka itu? Adakah lelucon yang lebih tidak masuk akal selain “harapan” absurd bahwa seorang Kristen dan Hindu akan mendukung dan memperjuangkan Syariat Islam di DPR/D? Belum cukup jelaskah bagi kita kasus “kota Injil” Manokwari? Lupakah kita kepahitan yang dialami seorang anggota DPRD muslim di Bali yang “dikecam” hanya karena mengucapkan basmalah dan salam di dalam ruang sidang legislatif? Bagaimana dengan larangan Tuhan dalam ayat-ayat suci untuk tidak mengambil wali dan teman kepercayaan dari orang-orang kafir? Apakah nasionalisme itu sesuatu yang sakral sehingga lebih ditonjolkan dibandingkan ikatan ideologi Islam? Benarkah ikatan kebangsaan itu sesuatu pemikiran yang maju, memajukan, dan termaju? Pertanyaan pamungkas adalah, “Apakah Islam membutuhkan demokrasi?”
Sekali-kali tidak! Semua itu hanya “gincu politik” pragmatis dan oportunis yang telah kehilangan ruh dan akal ideologis. Suatu cermin jujur watak dasar yang telah “takluk” di hadapan realitas jahiliyah. Tindakan mereka ini merupakan gambaran konkret dari sebuah kaidah yang “terpeleset”. Kaidah itu sejatinya berbunyi, “partai politik adalah kenderaan bagi dakwah Islam”, lalu “terpeleset” menjadi, “dakwah Islam adalah kenderaan bagi partai politik”.
Ideologi Islam Sebagai Asas Pergerakan Islam yang Hakiki
Pertama-tama, kita harus membantah setiap partai politik—yang katanya—Islam yang mengumandangkan patriotisme dan nasionalisme sebagai asas kebangkitan. Hal ini dikarenakan, “Semua usaha akan sia-sia jika dakwah ini bertolak dari seruan-seruan revolusioner kebangsaan, sosial, ataupun moral. Atau, jika seruan-seruan ini dijadikan slogan pengiring bagi seruan Laa Ilaaha illallaah. Tali hubungan kekeluargaan, kesukuan, kebangsaan, jenis, ras, warna kulit, dan bongkahan bumi, adalah tali hubungan yang tidak kuat dan terbelakang. Ia adalah tali ikatan jahiliah yang pernah dikenal manusia di zaman keterpurukan jiwa. Inilah sebabnya Rasulullah saw menamakannya sebagai suatu hubungan yang bobrok. Satu kata sifat yang menunjukkan rasa kekerdilan dan rasa jijik.”, Sayyid Quthb (2007). Dengan bahasa yang kurang lebih mengarah pada kesimpulan yang sama dengan ideolog kedua Ikhwanul Muslimin tersebut, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, menyatakan dalam Nizhamul Islam (diterjemahkan menjadi Peraturan Hidup dalam Islam, 2003) bahwa, “Ikatan Patriotisme tumbuh di tengah-tengah masyarakat, tatkala pola pikir manusia mulai merosot…tergolong ikatan yang paling lemah dan rendah nilainya. Ikatan ini tampak juga dalam dunia binatang serta burung-burung, dan senantiasa emosional sifatnya... Adapun ikatan nasionalisme tumbuh di tengah-tengah masyarakat pada saat pemikiran manusia mulai sempit..ikatan semacam ini tidak sesuai dengan martabat manusia.”
Mereka, parpol—yang katanya—Islam tersebut, bukannya tidak tahu akan hal ini. Bahkan salah satu dari parpol tersebut disebut-sebut sebagai “perpanjangan tangan” dari Ikhwanul Muslimin Mesir. Mereka tentu saja sudah hapal-luar-kepala kata-kata ideolog Ikhwan sekaliber Sayyid Quthb di atas. Hanya saja, seperti yang telah dijelaskan, mereka “terlanjur” kehilangan ruh ideologis. Hitung-hitungan yang digunakan adalah hitung-hitungan menang-kalah, untung-rugi, maslahat-tidak maslahat, membesar-tidak membesar, dll. Partai Islam ideologis akan tetap menggigit dengan gerahamnya prinsip-prinsip ideologis meski manusia-manusia di sekelilingnya tidak mau mendengarkan kebenaran yang disampaikan, meski mereka disebut-sebut sebagai manusia-manusia terbelakang, meski mereka disebut-sebut sebagai kelompok yang tidak waras di tengah modernisme yang waras, meski mereka dicibir, dicela, dikucilkan, ditinggalkan dan bahkan disiksa! Bukankah Rasulullah saw dan para sahabatnya pernah disebut tidak waras, penyihir, penipu, utopis, dll? Kalaulah “ijtihad politik” mereka ini benar, lupakah mereka pada uswatun hasanah ketika Rasulullah menolak tawaran Jahiliah Mekkah berupa Harta, Tahta, Wanita, dan Penyembuhan asalkan Beliau berhenti dari “kekeraskepalaannya” menghujat sistem aturan dan keyakinan yang sedang eksis waktu itu?
Rasulullah merupakan bagian dari keluarga Bani Hasyim, salah satu keluarga terpandang di kalangan Quraisy. Beliau juga memiliki reputasi yang baik sebagai orang terpercaya di kalangan orang-orang Arab Quraisy. Kalau “logika politik” parpol yang telah melenceng itu yang kita gunakan, semestinya, Rasulullah menyerukan kebangkitan Quraisy atau lebih jauh kebangkitan bangsa Arab (Pan Arabisme). Jalan ini jauh lebih mudah dan akan mendapat dukungan yang meriah, dalam pikiran kaum pragmatis, dibandingkan seruan-seruan frontal akidah yang hanya menghasilkan penyiksaan, pemboikotan, dan pengucilan di masa-masa awal dakwah Islam. Fakta sejarah menyatakan, Rasulullah saw tidak menggelorakan kebangkitan kebangsaan dan malah menghujatnya sebagai sesuatu yang bobrok!
Kondisi sosial masyarakat Arab pada masa awal Islam sungguh bobrok dan rusak. Kesenjangan ekonomi, ketimpangan sosial, kesewenang-wenangan kaum bangsawan (borjuis), dan ketidakadilan gender meliputi keseharian mereka. Kalau “logika politik” parpol yang telah melenceng itu yang kita gunakan, semestinya, Rasulullah menyerukan revolusi sosial untuk menegakkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Arab. Fakta sejarah menyatakan, Rasulullah saw tidak menggelorakan revolusi sosial karena asas perjuangan semacam itu merupakan asas yang rendah dan bobrok dalam pandangan Islam.
Rasulullah juga diutus kepada manusia saat kondisi moral bangsa Arab pada waktu itu berada pada titik paling rendah bagi naluri kemanusiaan yang murni. Arak, judi, pelacuran, pelecehan kepada kaum wanita, dan kezaliman kemanusiaan merupakan suasana yang biasa pada waktu itu. Kalau “logika politik” parpol yang telah melenceng itu yang kita gunakan, semestinya, Rasulullah menyerukan perbaikan moral untuk membersihkan dan memuliakan seluruh rakyat Arab. Seruan ini tentunya akan mendapat sambutan yang meriah dan mempercepat “pelebaran dan pembesaran” kelompok dakwah. Fakta sejarah menyatakan, Rasulullah saw tidak menggelorakan seruan-seruan semacam itu.
Rasulullah saw dan para sahabatnya berjalan di atas manhaj yang ditetapkan oleh Allah swt yang tegak di atas Aqidah Islam. Bukan seruan-seruan nasionalisme, revolusi sosial, atau seruan perbaikan moral. Mereka tidak memilih jalan yang, menurut logika politisi yang pragmatis dan oportunis itu, mudah dan lebih ringan hambatannya. Mereka tidak mendasarkan diri pada logika “bagaimana caranya biar partai ini cepat membesar”, melainkan mendasarkan diri pada sikap ideologis yang tak goyah oleh pujian dan cercaan. Benarlah apa yang diungkapkan oleh Asy-Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, dalam masterpiece-nya At-Takattul al-Hizbiy (diterjemahkan menjadi, Pembentukan Partai Politik Islam, 2007), ”Kami meyakini, bahwa falsafah kebangkitan yang hakiki sesungguhnya bermula dari adanya sebuah ideologi (mabda) yang menggabungkan fikrah dan thariqah secara terpadu. Ideologi tersebut adalah Islam. Sebab, Islam pada hakekatnya adalah sebuah akidah yang melahirkan peraturan untuk mengatur seluruh urusan negara dan umat, serta merupakan pemecahan untuk seluruh masalah kehidupan.”
Kenyataan-kenyataan ini semakin menggugah kita untuk bertanya kepada para politisi (Islam) di badan legislatif, “Bapak anggota dewan yang terhormat, masih adakah (tempat untuk) Islam di badan legislatif ini? Adakah gerangan poros politik Islam di ruangan ini?” Ketika mereka diam atau pun menebar celoteh-celoteh kosong yang kabur, kita semakin mantap untuk mempertanyakan lebih lanjut, “Pak Ustadz yang merangkap sebagai anggota dewan yang terhormat, masih layakkah jalan demokrasi ini kita ikuti? Benarkah kita bisa “Menikmati Demokrasi” tanpa mengorbankan nilai-nilai prinsipil keislaman kita?” Ketika mereka semakin diam terbungkam atau pun kian nyaring berceloteh kosong yang kian mengaburkan hakikat kebenaran dan kebatilan, kita mencukupkan diri dengan jawaban-jawaban yang tersurat maupun tersirat dari “realitas pergerakan” yang terindera yang tidak mungkin kita dapatkan dari orang-orang seperti ustadz-ustadz “gaul”yang terlanjur “sibuk” di pentas politik pragmatis-oportunis itu.
Butuh sikap yang ikhlas, tegas dan berbesar hati untuk mengarungi perjalanan panjang yang penuh cobaan dan godaan ini. Kita juga harus memupuk sikap kritis untuk mengkritisi penyimpangan-penyimpangan yang mungkin tengah melanda “kereta perjuangan” yang sedang kita tumpangi. Harus selalu disadari dan ditegaskan dalam prinsip perjuangan ini bahwa organisasi dan partai hanyalah kenderaan dakwah, bukan tujuan yang hendak dicapai. Masuk organisasi atau pun partai berarti masuk kenderaan. Jika ada sinyalemen bahwa kenderaan yang kita tumpangi rusak, pastikanlah dimana letak kerusakannya dan bagaimana memperbaikinya. Jika tidak bisa diperbaiki, demi keselamatan perjalanan, tinggalkanlah kenderaan rusak itu dengan ikhlas dan tanpa ragu. Mungkin masih ada kenderaan lain yang bisa membawamu dengan selamat menuju akhir perjalanan. Yang paling utama dalam perkara ini adalah kejujuran, sehingga, “jangan ada dusta di antara kita”.
Sunday, January 18, 2009
PRIVATE SELVES, PUBLIC IDENTITIES
204 Hypatia
Private Selves, Public Identities: Reconsidering Identity Politics. By SUSAN
J. HEKMAN. University Park: Pennsylvania State University Press. 2004.
Amy Mullin
What role does or should group membership play in political life? How should
we conceive of political groups organized around some sort of common identity
among their members? Must such groups hide differences amongst their
members? These are questions that Susan Hekman addresses in Private Selves,
Public Identities: Reconsidering Identity Politics. It is a relatively short book (fewer
than 160 pages, including index and bibliography), suitable for upper-level
undergraduates with previous exposure to feminist philosophy and political
theory. The work is organized into four chapters. The first three chapters seek
to dispel what Hekman considers misconceptions about the nature of identity,
while the last chapter introduces Hekman’s own view as to the proper place
Book Reviews 205
of identity in politics. In all, the book is a valuable contribution to the debate
over the meaning and role of identity in politics.
In the first chapter of Private Selves, Public Identities, Hekman argues that the
fictive postmodern subject (most frequently associated with Judith Butler) is not
the only alternative to the modernist disembodied self. Hekman praises Butler’s
definitive rejection of the modernist subject and deconstruction of the social
production of gender, but argues that Butler’s account of incoherent performative
identities suggests a vision of a subject in psychological distress. Hekman
cites the work of James Glass on women suffering from schizophrenia and
multiple personality disorder as evidence of the need for stable identities (17).
Against Butler (or at least her interpretation of Butler’s earlier work), Hekman
claims that we each have a relatively stable core self, formed in childhood in
response to our most important social relationships. Hekman’s model here is
object relations theory, modified to reflect the ways that gender, race, and class
inflect children’s first relationships. She aims to reinvigorate earlier feminist
interest in object relations theory (for example, the work of Nancy Chodorow,
Christine Di Stefano, Jane Flax, and Nancy Hirschmann). The chapter remains
at a theoretical level, without seeking to give psychological evidence of the role
of childhood relationships in shaping the core self (beyond a brief discussion
of Carol Gilligan’s work) and without giving any extended account of how the
self remains stable throughout changing circumstances.
In the second chapter, Hekman argues that liberal political theory needs
radical modification to properly reflect citizens’ distinct embodied identities.
Many of the arguments in this chapter will be familiar to feminist philosophers
and political theorists (such as the claim that the supposedly disembodied citizen
masks a distinct male propertied identity). The most valuable part of this
chapter is Hekman’s discussion of Bhikher Parekh and Monique Deveraux’s critiques
of liberalism from a multicultural perspective, alongside more frequently
discussed theorists such as Will Kymlicka, Charles Taylor, and Iris Marion
Young. However, because Hekman introduces such a large number of theorists
she can only give brief sketches of the arguments of each. Her discussion of the
reasonable woman standard (and the reasonable woman of color standard) in
legal theory is suggestive, but leaves readers wondering how any legal system
could possibly incorporate the large number of standards required to avoid
assuming uniformity without, as she suggests, inviting chaos (78). Hekman
claims that it is worth taking the “risk of difference,” but without an extended
and more concrete discussion of how Hekman thinks this could happen it is
difficult to imagine how one might effectively incorporate multiplicity into
legal reasoning.
Hekman’s third chapter argues that both feminist theorists (Linda MartÃn
Alcoff, Judith Butler, Carol Gilligan, Carole Pateman, Elizabeth Spelman,
Iris Marion Young, and others) and liberal political theorists (Will Kymlicka,
206 Hypatia
Susan Moller Okin, John Rawls, and others) generally have failed to distinguish
properly between private identities (formed in childhood and relatively stable)
and public identities (which reflect group membership, either those groups
we willingly identify with, or those groups into which others place us). This
chapter is the most original of the first three, with its careful analysis of both
the distinctions and interplays among private and public identities. However,
I am not entirely convinced by her argument that an identity politics which
recognizes this distinction will avoid problems associated with assumptions
about fixed identity. Hekman argues that identity politics involves “a process
of identification between personal and public identities” (100) and that pressure
to conform remains a factor. It seems that recognizing private identity as
not equivalent to public identity will never be enough to prevent social groups
based on a shared public identity from seeking to minimize differences among
members of the group (at the very least in terms of how that public identity is
understood and presented to others). And even if group members (or the group
itself) recognize that private identities are not equivalent to public identities,
this knowledge cannot prevent nonmembers from assuming that members are
alike at least in their public identity and political commitments (even if they
grant that group members may have various occupations, different personal
experiences with family members, and so forth).
Hekman integrates the findings of chapters 1 through 3 in the last chapter,
where she develops her own account of a new politics of identity. Hekman’s
new conceptualization of identity, however, raises many questions. For instance,
what kinds of personal identities enable or encourage (possibly complex and
shifting) identifications with various public identities? If private identities are
largely stable and reflect relationships experienced in early childhood, then are
they open to change through later identifications with important social or political
groups? If so, how does this happen? Her emphasis on the relative stability
and continuity of the core self, which she insists is fixed in early childhood (87),
seems incompatible with her description of significant ongoing transformations
among group members. Such transformations could be prompted by political
activity (and taking on new kinds of identifications with public identities) or by
taking on new and important relationship forms (becoming a parent or forming
close interpersonal bonds with friends or lovers, which themselves might lead
to joining a new social or political group). Readers will also wonder whether
some kinds of personal identities thwart political or social action and others
encourage them.
In her brief analysis of the formation of personal identity, Hekman emphasizes
the role of mothering; but when she discusses the mothering of conforming
and nonconforming mothers, she suggests that either can encourage social conformity
or nonconformity equally well, making questions about the relationships
between private identities and political action mysterious. For instance, she
Book Reviews 207
writes that “some mothers neatly conform to the public identity of ‘woman’ that
dominates our gender consciousness and communicate this identity to their
daughters. . . . This can have the effect of producing conforming daughters. Or
it can have the opposite effect. The daughter may assimilate the conforming
identity or rebel against it” (105).
Inspired by Michel Foucault’s conception of the diffusion of power throughout
society, Hekman argues that political action around public identities needs
to be supplemented by attitudinal change, but she does not engage here with
the large body of feminist work that calls for this sort of change (for example,
feminist work on primary and secondary agents of socialization or feminist
media studies) so it is odd to read her claim that “feminists have lost sight of
the thesis advanced by Foucault and Millett. Power in the contemporary world
is everywhere” (131). Later, she acknowledges that “feminist work in philosophy,
psychology, anthropology, and many other disciplines has documented
how identities are constituted by the diverse array of forces that make up civil
society” (138). It is puzzling that Hekman devoted no space to the discussion
of this relevant feminist work.
In summary, Hekman’s book will reinvigorate debate on identity politics.
She offers brief accounts of relevant work by philosophers and political theorists
(chiefly but not exclusively feminist) on the topic and makes a convincing case
for the need to attend to the different notions of identity that often operate in
these debates. Because of its length, the book will serve as a useful introduction
to the topic. However, perhaps also because of its length, Private Selves, Public
Identities will leave many readers with unanswered questions.
Reproduced with permission of the copyright owner. Further reproduction prohibited without permission.
Private Selves, Public Identities: Reconsidering Identity Politics. By SUSAN
J. HEKMAN. University Park: Pennsylvania State University Press. 2004.
Amy Mullin
What role does or should group membership play in political life? How should
we conceive of political groups organized around some sort of common identity
among their members? Must such groups hide differences amongst their
members? These are questions that Susan Hekman addresses in Private Selves,
Public Identities: Reconsidering Identity Politics. It is a relatively short book (fewer
than 160 pages, including index and bibliography), suitable for upper-level
undergraduates with previous exposure to feminist philosophy and political
theory. The work is organized into four chapters. The first three chapters seek
to dispel what Hekman considers misconceptions about the nature of identity,
while the last chapter introduces Hekman’s own view as to the proper place
Book Reviews 205
of identity in politics. In all, the book is a valuable contribution to the debate
over the meaning and role of identity in politics.
In the first chapter of Private Selves, Public Identities, Hekman argues that the
fictive postmodern subject (most frequently associated with Judith Butler) is not
the only alternative to the modernist disembodied self. Hekman praises Butler’s
definitive rejection of the modernist subject and deconstruction of the social
production of gender, but argues that Butler’s account of incoherent performative
identities suggests a vision of a subject in psychological distress. Hekman
cites the work of James Glass on women suffering from schizophrenia and
multiple personality disorder as evidence of the need for stable identities (17).
Against Butler (or at least her interpretation of Butler’s earlier work), Hekman
claims that we each have a relatively stable core self, formed in childhood in
response to our most important social relationships. Hekman’s model here is
object relations theory, modified to reflect the ways that gender, race, and class
inflect children’s first relationships. She aims to reinvigorate earlier feminist
interest in object relations theory (for example, the work of Nancy Chodorow,
Christine Di Stefano, Jane Flax, and Nancy Hirschmann). The chapter remains
at a theoretical level, without seeking to give psychological evidence of the role
of childhood relationships in shaping the core self (beyond a brief discussion
of Carol Gilligan’s work) and without giving any extended account of how the
self remains stable throughout changing circumstances.
In the second chapter, Hekman argues that liberal political theory needs
radical modification to properly reflect citizens’ distinct embodied identities.
Many of the arguments in this chapter will be familiar to feminist philosophers
and political theorists (such as the claim that the supposedly disembodied citizen
masks a distinct male propertied identity). The most valuable part of this
chapter is Hekman’s discussion of Bhikher Parekh and Monique Deveraux’s critiques
of liberalism from a multicultural perspective, alongside more frequently
discussed theorists such as Will Kymlicka, Charles Taylor, and Iris Marion
Young. However, because Hekman introduces such a large number of theorists
she can only give brief sketches of the arguments of each. Her discussion of the
reasonable woman standard (and the reasonable woman of color standard) in
legal theory is suggestive, but leaves readers wondering how any legal system
could possibly incorporate the large number of standards required to avoid
assuming uniformity without, as she suggests, inviting chaos (78). Hekman
claims that it is worth taking the “risk of difference,” but without an extended
and more concrete discussion of how Hekman thinks this could happen it is
difficult to imagine how one might effectively incorporate multiplicity into
legal reasoning.
Hekman’s third chapter argues that both feminist theorists (Linda MartÃn
Alcoff, Judith Butler, Carol Gilligan, Carole Pateman, Elizabeth Spelman,
Iris Marion Young, and others) and liberal political theorists (Will Kymlicka,
206 Hypatia
Susan Moller Okin, John Rawls, and others) generally have failed to distinguish
properly between private identities (formed in childhood and relatively stable)
and public identities (which reflect group membership, either those groups
we willingly identify with, or those groups into which others place us). This
chapter is the most original of the first three, with its careful analysis of both
the distinctions and interplays among private and public identities. However,
I am not entirely convinced by her argument that an identity politics which
recognizes this distinction will avoid problems associated with assumptions
about fixed identity. Hekman argues that identity politics involves “a process
of identification between personal and public identities” (100) and that pressure
to conform remains a factor. It seems that recognizing private identity as
not equivalent to public identity will never be enough to prevent social groups
based on a shared public identity from seeking to minimize differences among
members of the group (at the very least in terms of how that public identity is
understood and presented to others). And even if group members (or the group
itself) recognize that private identities are not equivalent to public identities,
this knowledge cannot prevent nonmembers from assuming that members are
alike at least in their public identity and political commitments (even if they
grant that group members may have various occupations, different personal
experiences with family members, and so forth).
Hekman integrates the findings of chapters 1 through 3 in the last chapter,
where she develops her own account of a new politics of identity. Hekman’s
new conceptualization of identity, however, raises many questions. For instance,
what kinds of personal identities enable or encourage (possibly complex and
shifting) identifications with various public identities? If private identities are
largely stable and reflect relationships experienced in early childhood, then are
they open to change through later identifications with important social or political
groups? If so, how does this happen? Her emphasis on the relative stability
and continuity of the core self, which she insists is fixed in early childhood (87),
seems incompatible with her description of significant ongoing transformations
among group members. Such transformations could be prompted by political
activity (and taking on new kinds of identifications with public identities) or by
taking on new and important relationship forms (becoming a parent or forming
close interpersonal bonds with friends or lovers, which themselves might lead
to joining a new social or political group). Readers will also wonder whether
some kinds of personal identities thwart political or social action and others
encourage them.
In her brief analysis of the formation of personal identity, Hekman emphasizes
the role of mothering; but when she discusses the mothering of conforming
and nonconforming mothers, she suggests that either can encourage social conformity
or nonconformity equally well, making questions about the relationships
between private identities and political action mysterious. For instance, she
Book Reviews 207
writes that “some mothers neatly conform to the public identity of ‘woman’ that
dominates our gender consciousness and communicate this identity to their
daughters. . . . This can have the effect of producing conforming daughters. Or
it can have the opposite effect. The daughter may assimilate the conforming
identity or rebel against it” (105).
Inspired by Michel Foucault’s conception of the diffusion of power throughout
society, Hekman argues that political action around public identities needs
to be supplemented by attitudinal change, but she does not engage here with
the large body of feminist work that calls for this sort of change (for example,
feminist work on primary and secondary agents of socialization or feminist
media studies) so it is odd to read her claim that “feminists have lost sight of
the thesis advanced by Foucault and Millett. Power in the contemporary world
is everywhere” (131). Later, she acknowledges that “feminist work in philosophy,
psychology, anthropology, and many other disciplines has documented
how identities are constituted by the diverse array of forces that make up civil
society” (138). It is puzzling that Hekman devoted no space to the discussion
of this relevant feminist work.
In summary, Hekman’s book will reinvigorate debate on identity politics.
She offers brief accounts of relevant work by philosophers and political theorists
(chiefly but not exclusively feminist) on the topic and makes a convincing case
for the need to attend to the different notions of identity that often operate in
these debates. Because of its length, the book will serve as a useful introduction
to the topic. However, perhaps also because of its length, Private Selves, Public
Identities will leave many readers with unanswered questions.
Reproduced with permission of the copyright owner. Further reproduction prohibited without permission.
Monday, January 12, 2009
ISLAM IDEOLOGI
Oleh : Lusi Andriyani, SIP.,M.Si
Pada dasarnya ideologi yang menjadi sebuah pertanyaan penting bagi setiap perubahan yang ada dalam masyarakat disebabkan karena adanya pengaruh ataupun kepercayaan satu pihak ke pihak lain dalam dimensi waktu dan tempat tertentu. Dan hampir pada setiap kehidupan masyarakat modern, akan dipengaruhi oleh ideologi. Ideologi berkaitan pula dengan bagaimana seseorang merespon pengaruh pihak lain melalui emosi dan intelektualitasnya[1]. Cara yang paling jelas dalam mengidentifikasi suatu ideology adalah dengan cara penggunaan bahasa secara umum atau melalui penggunaan kata-kata khusus[2].
Ideologi juga terkait dengan konteks historis munculnya sebuah pemikiran, hal yang mengintervensi pemikiran tersebut, sehingga memunculkan tindakan-tindakan apa yang dapat diubah dan sumbangan-sumbangan yang diberikan dalam upaya membangun sebuah ideologi. Permasalahan yang menjadi isu penting dalam membahas ideologi adalah sejauh mana ideologi dapat berpengaruh dalam kenyataan praktis. Hal yang sangat mungkin muncul dalam praktek politik sehari-hari adalah ketika ideologi ini digunakan sebagai alat bagi pengabsahan dari pimpinan-pimpinan partai atau politisi pada umumnya dalam memperkuat posisi dalam tindakan-tindakannya dimata lingkungan politiknya[3]
Melihat konteks sejarah yang ada dalam Islam maka, sejarah Islam sebagai sebuah mazhab pemikiran, sebagai sebuah kebudayaan, sebagai sebuah system kepercayaan lintas sosial dan histories dan norma-norma masih ditulis, diajarkan dan digunakan sebagai sebuah ideology legitimasi[4]
Dengan demikian pembahasan ideology dalam konteks Islam juga terkait dengan arena sejarah yang ditandai sebuah tingkatan yang lebih besar atau kecil dengan apa yang disebut sebagai “Fenomena Qur’anik” atau “ Fenomena Islami”[5]. Selaras dengan pandangan tersebut maka, Al-Mawdudi mendiskripsikan Islam sebagai sebuah “ideology revolusioner[6]” yang bertujuan untuk mengubah tatanan sosial dan membangunnya kembali berdasarkan ideologinya sendiri[7]. Al-Mawdudi juga menyetujui adanya keterkaitan Islam disuatu negara dengan dasar pemikiran bahwa ;
1. Agar mendatangkan manfaat, maka ideology harus memiliki dukungan empiris dan harus merujuk pada kasus-kasus atau contoh-contoh tertentu karena membangun sebuah pola hidup hanya melalui kerangka yang abstrak adalah sesuatu yang tidak mungkin
2. Ideologi harus menunjukkan nilainya dengan mengembangkan system kehidupan yang sejahtera dan berhasil, serta harus merumuskan teori-teori dan prinsip-prinsip dasarnya kedalam bentuk operasional.[8]
[1] Deden Faturrahman, Pengantar Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang press, 2002.
[2] Ibid, hal 45
[3] Ibid, hal 49
[4] John L. Esposito, Dialektika Peradaban: Modernisme Politik dan Budaya di Akhir Abad ke-20, Yogyakarta, Qalam, 1999, hal. 32-33
[5] John L. Esposito, Dialektika Peradaban: Modernisme Politik dan Budaya di Akhir Abad ke-20, Yogyakarta, Qalam, 1999, hal. 32-33
[6] Islam sebagai sebuah gerakan revolusioner, tanpa menolak konsep kekhalifahan universal, Al-Mawdudi memandang Islam disuatu negara sebagai batu loncatan yang akan mendorong terjadinya revolusi dunia. Dan sebuah system ideology tidak akan menjadi system nasional karena Islam adalah agama Universal, sementara revolusi untuk revivalisme Islam juga harus Universal.
[7] Dr.Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, Paramadina, 1999, Hal.171
[8] Dr.Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, Paramadina, 1999, Hal.173
Pada dasarnya ideologi yang menjadi sebuah pertanyaan penting bagi setiap perubahan yang ada dalam masyarakat disebabkan karena adanya pengaruh ataupun kepercayaan satu pihak ke pihak lain dalam dimensi waktu dan tempat tertentu. Dan hampir pada setiap kehidupan masyarakat modern, akan dipengaruhi oleh ideologi. Ideologi berkaitan pula dengan bagaimana seseorang merespon pengaruh pihak lain melalui emosi dan intelektualitasnya[1]. Cara yang paling jelas dalam mengidentifikasi suatu ideology adalah dengan cara penggunaan bahasa secara umum atau melalui penggunaan kata-kata khusus[2].
Ideologi juga terkait dengan konteks historis munculnya sebuah pemikiran, hal yang mengintervensi pemikiran tersebut, sehingga memunculkan tindakan-tindakan apa yang dapat diubah dan sumbangan-sumbangan yang diberikan dalam upaya membangun sebuah ideologi. Permasalahan yang menjadi isu penting dalam membahas ideologi adalah sejauh mana ideologi dapat berpengaruh dalam kenyataan praktis. Hal yang sangat mungkin muncul dalam praktek politik sehari-hari adalah ketika ideologi ini digunakan sebagai alat bagi pengabsahan dari pimpinan-pimpinan partai atau politisi pada umumnya dalam memperkuat posisi dalam tindakan-tindakannya dimata lingkungan politiknya[3]
Melihat konteks sejarah yang ada dalam Islam maka, sejarah Islam sebagai sebuah mazhab pemikiran, sebagai sebuah kebudayaan, sebagai sebuah system kepercayaan lintas sosial dan histories dan norma-norma masih ditulis, diajarkan dan digunakan sebagai sebuah ideology legitimasi[4]
Dengan demikian pembahasan ideology dalam konteks Islam juga terkait dengan arena sejarah yang ditandai sebuah tingkatan yang lebih besar atau kecil dengan apa yang disebut sebagai “Fenomena Qur’anik” atau “ Fenomena Islami”[5]. Selaras dengan pandangan tersebut maka, Al-Mawdudi mendiskripsikan Islam sebagai sebuah “ideology revolusioner[6]” yang bertujuan untuk mengubah tatanan sosial dan membangunnya kembali berdasarkan ideologinya sendiri[7]. Al-Mawdudi juga menyetujui adanya keterkaitan Islam disuatu negara dengan dasar pemikiran bahwa ;
1. Agar mendatangkan manfaat, maka ideology harus memiliki dukungan empiris dan harus merujuk pada kasus-kasus atau contoh-contoh tertentu karena membangun sebuah pola hidup hanya melalui kerangka yang abstrak adalah sesuatu yang tidak mungkin
2. Ideologi harus menunjukkan nilainya dengan mengembangkan system kehidupan yang sejahtera dan berhasil, serta harus merumuskan teori-teori dan prinsip-prinsip dasarnya kedalam bentuk operasional.[8]
[1] Deden Faturrahman, Pengantar Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang press, 2002.
[2] Ibid, hal 45
[3] Ibid, hal 49
[4] John L. Esposito, Dialektika Peradaban: Modernisme Politik dan Budaya di Akhir Abad ke-20, Yogyakarta, Qalam, 1999, hal. 32-33
[5] John L. Esposito, Dialektika Peradaban: Modernisme Politik dan Budaya di Akhir Abad ke-20, Yogyakarta, Qalam, 1999, hal. 32-33
[6] Islam sebagai sebuah gerakan revolusioner, tanpa menolak konsep kekhalifahan universal, Al-Mawdudi memandang Islam disuatu negara sebagai batu loncatan yang akan mendorong terjadinya revolusi dunia. Dan sebuah system ideology tidak akan menjadi system nasional karena Islam adalah agama Universal, sementara revolusi untuk revivalisme Islam juga harus Universal.
[7] Dr.Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, Paramadina, 1999, Hal.171
[8] Dr.Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, Paramadina, 1999, Hal.173
POLITIK IDENTITAS
Oleh : Lusi Andriyani, SIP.,M.Si
Pada pertengahan abad ke-19 muncul dalam skala yang lebih luas mengenai gerakan politik seperti kelompok feminis, hak-hak untuk orang kulit hitam di Amerika, Gay dan lesbian serta gerakan yang dilakukan oleh orang Indian di Amerika. Gerakan mereka didasari adanya ketidak adilan yang terjadi pada masyarakat ataupun kelompok tertentu. Gerakan sosial inilah yang mendasari upaya untuk mempertanyakan kembali mengenai hal yang bersifat alamiah, kaslian yang membangun sebuah identitas. Identitas Politik sebagai bentuk dari pola organisasi yang berkaitan dengan ide dari kelompok social tertentu yang dilaksanakan; seperti identitas dari perempuan ataupun penduduk asli Amerika yang terbangun karena budaya imperialisme (meliputi stereotype, ataupun upaya untuk menunjukkan identitas kelompoknya), kekerasan, eksploitasi, marginalisasi, atau ketidak berdayaan.
Identitas politik dimulai dengan upaya untuk menganalisis tindakan yang dilakukan, keberagaman, penggunaan jargon ataupun klaim tertentu, upaya mendiskripsikan kembali, ataupun transformasi pemikiran diantara anggota kelompoknya. Lebih jauh lagi penerimaan terhadap pandangan yang negative oleh budaya yang lebih dominan mengenai sesuatu yang dipandang lebih rendah. Sebagai contoh apa yang dikemukakan oleh kaum feminis kulit hitam mengenai identitas politik, Combahee River Collective berpandangan bahwa “Anak-anak senyatanya kami bedakan dengan anak laki-laki dan kami membuatnya berbeda”[1]. Wilayah dari gerakan politik digambarkan sebagai identitas politik, sebagai contoh secara filosofi penggambaran dari kekuatan predominan dengan kapitalis barat, dengan menggunakan argument mengenai hak dasar.
Kata “Identitas Politik” menjadi hal yang sangat luas untuk dibicarakan dan banyak menuai kritik. Identitas politik sebagai alat untuk mendiskripsikan permasalahan politik. Dari pandangan kontemporer, pada awalnya identitas politik menjadikan semua tindakan politik sebagai acuan. Bagaimanapun juga retorika mengenai identitas politik yang berkaitan dengan penerimaan ataupun upaya untuk memberdayakan dan membangun kepercayaan secara filosofi dalam memahami apa yang dimaksudkan dengan permasalahan yang berkaitan dengan politik. Sejak abad 19 kita telah mengetahui bahwa gerakan politik menjadikan identitas politik sebagai cara atau sebuah kemungkinan.
Setiap orang dapat melakukan pemaknaan sebuah “identitas”, terutama mengenai “identitas politik” secara berbeda. Banyak perdebatan mengenai hal tersebut karena identitas politik berkaitan dengan apa yang mereka lakukan atau kerjakan. Sebagai contoh seseorang Prancis berpandangan bahwa pernikahan bagi kaum Gay merupakan hal yang baik, namun beberapa orang di Prancis menolak pandangan itu, bahkan mereka berpandangan bahwa pernikahan Gay merupakan identitas dari bangsa Amerika (Di Prancis gaya hidup Amerika dipandang sebagai gaya hidup yang buruk). Hal tersebut telah menunjukkan bahwa tindakan orang lain mempunyai implikasi pada usaha untuk membangun identitasnya.
Pada abad pertengahan identitas politik menjadi hal yang penting dalam upaya mengembangkan aktivitas politik dan penemuan teori yang berasal dari fenomena-fenomena ketidak adilan yang ada di lingkungan masyarakat atau kelompok social. Lebih jauh lagi “identitas politik” berhubungan dengan ruang lingkup organisasi seperti ideology atau afiliasi partai politik. Sehingga sebuah “identitas” tetap menjadi ciri dari masyarakat yang marginal atau terpinggirkan, dan posisi marginal dijadikan sebuah penekanan kembali dalam memahami perbedaan terhadap karakteristik yang dominan dari masing-masing orang.
Pada abad pertengahan 19 kita telah melihat berbagai macam fenomena ketidak adilan yang muncul melalui gerakan-gerakan sosial dalam skala yang lebih luas. Fenomena tersebut dapat dicontohkan dengan gerakan feminis, adanya tuntutan akan hak yang sama bagi masyarakat kulit hitam, tuntutan perlakuan yang sama bagi Gay dan Lesbian di Amerika serta gerakan suku India (suku asli) di Amerika. Fenomena tersebut merupakan gambaran atau penegasan dari ketidak adilan yang telah terjadi dalam kelompok social tertentu. Gerakan tersebut secara alamiah lahir karena adanya identitas yang melekat. Dengan demikian pemaknaan terhadap sebuah identitas juga dapat dilihat dari sebuah peran yang muncul melalui gerakan bersama untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh kelompok tersebut. Sebab bagaimanapun juga manusia sebagai mahluk sosial dan mahluk “Zoon Politicon” selalu melakukan interaksi dan hubungan kerjasama dengan orang lain dalam rangka untuk mencapai tujuan bersama. Dari hal tersebut, maka pemaknaan terhadap sebuah identitas akan berkaitan dengan politik sehingga yang dimaksud disini adalah identitas politik yang dipahami sebagai sebuah bentuk organisasi yang berkaitan dengan ide dari kelompok masyarakat .
Teori identitas dapat dijabarkan menjadi beberapa bagian yaitu; Teori identitas social, Teori identitas kelompok, Dan identitas budaya. Identitas social merupakan suatu proses bukan tindakan atau perilaku. Teori identitas kelompok lebih banyak didasari oleh antropologi yang menggunakan ciri-ciri etnik untuk menentukan identitas berbagai kelompok[2]. Identitas merupakan sebuah proses dan sesuatu yang dibentuk, dengan kata lain identitas tidaklah bersifat inheren tetapi muncul dalam suatu interaksi . Identitas juga dapat dikatan sebagai sebuah proses pemberian label atau nama[3].
Banyak pandangan mengenai makna identitas, antara lain yang dikemukakan oleh Kwame Anthony Appiah :
“ identity may not be the best word for bringing together the role gender, class, race, nationality, and so on play in our lives, but is the one we use”.[4]
Menururt Kwame Anthony Appiah, sebuah identitas dipandang kurang tepat untuk menjabarkan adanya perbedaan gender, kelas, ras, bangsa dan membawa perbedaan tersebut secara bersamaan serta digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Satu masalah mengenai identitas, dimana sebuah identitas dapat dimaknai oleh setiap orang secara pribadi berdasarkan keinginan sendiri-sendiri. Dan sedikit sekali dari setiap perbedaan tersebut dapat diubah sebagai identitas yang mempunyai daya tarik bagi masyarakat umum.
Pemikiran Kwame Anthony Appiah diatas secara tidak langsung dapat menggambarkan bagaimana sebuah identitas keagamaan muncul di Indonesia. Upaya pemaknaan yang berbeda dari berbagai pemikiran internal dalam Islam telah memunculkan pandangan serta penyikapan-penyikapan yang berbeda dalam masyarakat.
Secara norma atau nilai-nilai, dapat diidentifikasi bahwa “identitas” adalah sebuah nilai kemanfaatan (Useful), karena seseorang yang memperoleh identitas melalui penghargaan atau pemberian akan dapat diprediksi melalui tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-harinya. Namun hal tersebut bukanlah sebuah keharusan yang ada pada setiap orang yang memperoleh “identitas” baru dari pemberian atau penghargaan. Karena identitas social lebih cenderung terasosiasi dengan norma atu nilai-nilai tingkah laku dari orang lain. Bahkan menurut ahli Psikologi sebuah “identitas” dapat digunakan untuk mengkonstruksi kehidupan manusia : “We Use Identities to construct our human lives“[5].
Selaras dengan pandangan Kwame Anthony Appiah :
“ But That’s just thebeginning. Our identities don’t depend on interactions in intimate life alone. Law, School, church, work, and many others institutions also shape us “.[6]
dalam dunia politik salah seorang filsuf telah menulis mengenai identitas social yang telah digunakan sebagai label pengakuan dari politik, yang dinamakan dengan “Hegelian Language Labels The Politics of Recognation”[7] sebagai respon dari keinginan manusia untuk berperan dalam kehidupannya melalui tindakan interaksi social. Identitas tidak hanya dibangun melalui interaksi dalam kehidupan pribadi seseorang, terbangunnya identitas juga dipengaruhi oleh institusi-instusi lain seperti hukum, sekolah, gereja, pekerjaan dan beberapa institusi-institusi lainnya.
Dari penjelasan tersebut, maka identitas merupakan sebuah proses dialogis (dialogically) dari bagian-bagian tersebut (Interaksi sosial, institusi hukum, institusi sekolah, Institusi gereja, Institusi pekerjaan dan lainnya). Sejalan dengan pandangan Taylor, dimana orang-orang telah menemukan karakteristiknya sendiri dari hal yang negative, yang telah membangun atau mengkonstruksi identitas mereka dan akan berpengaruh pada pengembangan nilai-nilai positif dalam kehidupan mereka.
Pandangan yang senada dikemukakan oleh Susan J. Hekman melalui bukunya berjudul “Privat selves public identities: Reconsidering Identity Politics” mempunyai pertimbangan lain mengenai adanya kesalahan mengkonsepsikan tentang identitas alamiah (Nature identity). Dalam bukunya tersebut Hekman menjelaskan bahwa subjek postmodern yang fiktif merupakan pilihan bagi manusia modern. Penempatan postmodernis sebagai acuan merupakan penempatan posisi yang salah. Dalam hal ini Hekman menolak secara tegas mengenai subjek modernis yang mendekonstruksi sosial melalui gender. Menurut Hekman nilai-nilai yang relative mapan mulai terbangun sejak masa anak-anak dan merupakan elemen penting dalam upaya membangun hubungan social.
“Heckman claims that we each have relatively stable core self, formed in childhood in response to our most important social relationships”.[8]
Pandangan Susan J Hekman diatas dipahami sebagai keterkaitan antara objek dan teori yang dimodifikasi dengan memperhatikan gender, ras, kelas serta hubungannya dengan masa anak-anak. Susan J Hekman memberikan pandangan bahwa teori politik liberal membutuhkan modifikasi secara radikal untuk mempersiapkan pola yang mempengaruhi perbedaan-perbedaan identitas yang melekat pada setiap warga negara. Dan Identitas politik menurut Susan J Hekman tercakup dalam sebuah proses identifikasi antara identitas personal dan identitas public
“Hekman argues that identity politics involves “a process of identification between personal and public identities and that pressure to conform remains factor”[9].
Dalam identitas politik dapat dilihat bahwa identitas privat tidak sejajar atau serah dengan identitas public Dan tidak akan mudah melepaskan identitas-identitas dasar dari satu kelompok untuk dapat melebur menjadi identitas public. Banyak tantangan dan benturan yang akan ditemui untuk meminimalisir perbedaan yang ada dalam setiap kelompok. Dapat disimpulkan dengan mengambil konsep dari Michel Foucoult bahwa identitas public adalah sebuah pemahaman dan ditujukan untuk orang lain. Dan menurut Susan J Hekman tindakan politik yang masuk diantara identitas public dibutuhkan untuk mengubah tindakan para pendukung politik tersebut.
Untuk menjelaskan mengenai identitas politik itu sendiri, Kwame Anthony Appiah menemukan tujuh perbedaan :
“ I count seven different ways in which I have said that you might speak of identity politics;(1) There are politics conflicts about who’s in and who’s out. (2) Politicians can mobilize identities. (3) States can treat people of distinct identities differently. (4) people can pursue a politics of recognition. (5) there can be a social micro politics enforcing norms of identifications. (6) There are inherently political; identities like party identifications. And (7) Social groups can mobilize to respond collectively to all of the above”.[10]
Perbedaan diatas, merupakan upaya dari Kwame Anthony Appiah untuk memberikan jalan pembeda dalam identifikasi mengenai “Identitas politik” yang didasarkan pada; pertama, konflik politik, yang berkaitan dengan siapa yang masuk dalam konflik dan siapa yang ada di luar konflik. Kedua, Peran politikus yang dapat memobilisir atau menggerakkan identitas itu sendiri, dalam hal ini politikus berperan aktif menggunakan identitas untuk mencapai kepentingan mereka. Ketiga, Peran Negara dalam menjaga posisi dari masyarakat untuk tetap mempunyai identitas masing-masing. Masyarakat dijamin untuk dapat menggunakan identitasnya dalam kehidupan sehari-hari. Keempat, Adanya kesepakatan politik yang dilakukan oleh orang-orang tertentu untuk menggunakan identitas tertentu. Ke lima, Dengan nilai-nilai yang menjadi identitas mereka, maka masyarakat dapat menjadi kekuatan micro politik. Ke enam, Identitas politik tidak selamanya inheren atau sama dengan identitas partai. Ke tujuh, Masyarakat mempunyai peran untuk dapat melakukan perubahan secara bersama-sama dan kolektif terhadap semua hal.
Dalam kehidupan manusia, agama mempunyai peran penting sebagai standar moralitas tertinggi. Agama juga berperan dalam kehidupan public sebagai identitas agama dan identitas politik. Dalam tata dunia baru munculnya kekuatan ekonomi, juga diiringi dengan semakin menguatnya pembentukan identitas yang berdasarkan etnis dan agama. Agama di dunia barat secara umum merupakan hal yang baik yang terpisah dari kehidupan politik, namun sebaliknya didalam masyarakat non barat seringkali menyatukan agama dengan nasionalisme untuk memunculkan krisis politik. Pola penyatuan agama dengan nasionalisme telah membangun “keakuan” terhadap simbol-simbol yang sangat krusial dan sering merujuk pada simbol agama.
[1] www.wikipwdia.com identity politics, diakses pada tanggal 11 Januari 2007
[2] Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi social: Psikologi kelompok dan Psikologi terapan, Jakarta, Balai Pustaka, 2001 hal 22-23
[3] Madan Sarup, Identity, Culture and Post modern World, Eidenburgh University Press
[4] Kwame Anthony Appiah, The Politics of identity, Deadalus: Fall 2006;134,4; Academic Research Library, Pg. 15
[5] Ibid
[6] Ibid, Hal. 19
[7] Ibid, hal.19
[8] Amy Mullin; Book Review : “ Private Selves, Public Identities: Reconsidering Identity Politics. By Susan J Hekman, University Park: Pennsylvania State University Press. 2004 Pg. 205.
[9] Ibid. hal 206
[10] Ibid, Hal. 22
Pada pertengahan abad ke-19 muncul dalam skala yang lebih luas mengenai gerakan politik seperti kelompok feminis, hak-hak untuk orang kulit hitam di Amerika, Gay dan lesbian serta gerakan yang dilakukan oleh orang Indian di Amerika. Gerakan mereka didasari adanya ketidak adilan yang terjadi pada masyarakat ataupun kelompok tertentu. Gerakan sosial inilah yang mendasari upaya untuk mempertanyakan kembali mengenai hal yang bersifat alamiah, kaslian yang membangun sebuah identitas. Identitas Politik sebagai bentuk dari pola organisasi yang berkaitan dengan ide dari kelompok social tertentu yang dilaksanakan; seperti identitas dari perempuan ataupun penduduk asli Amerika yang terbangun karena budaya imperialisme (meliputi stereotype, ataupun upaya untuk menunjukkan identitas kelompoknya), kekerasan, eksploitasi, marginalisasi, atau ketidak berdayaan.
Identitas politik dimulai dengan upaya untuk menganalisis tindakan yang dilakukan, keberagaman, penggunaan jargon ataupun klaim tertentu, upaya mendiskripsikan kembali, ataupun transformasi pemikiran diantara anggota kelompoknya. Lebih jauh lagi penerimaan terhadap pandangan yang negative oleh budaya yang lebih dominan mengenai sesuatu yang dipandang lebih rendah. Sebagai contoh apa yang dikemukakan oleh kaum feminis kulit hitam mengenai identitas politik, Combahee River Collective berpandangan bahwa “Anak-anak senyatanya kami bedakan dengan anak laki-laki dan kami membuatnya berbeda”[1]. Wilayah dari gerakan politik digambarkan sebagai identitas politik, sebagai contoh secara filosofi penggambaran dari kekuatan predominan dengan kapitalis barat, dengan menggunakan argument mengenai hak dasar.
Kata “Identitas Politik” menjadi hal yang sangat luas untuk dibicarakan dan banyak menuai kritik. Identitas politik sebagai alat untuk mendiskripsikan permasalahan politik. Dari pandangan kontemporer, pada awalnya identitas politik menjadikan semua tindakan politik sebagai acuan. Bagaimanapun juga retorika mengenai identitas politik yang berkaitan dengan penerimaan ataupun upaya untuk memberdayakan dan membangun kepercayaan secara filosofi dalam memahami apa yang dimaksudkan dengan permasalahan yang berkaitan dengan politik. Sejak abad 19 kita telah mengetahui bahwa gerakan politik menjadikan identitas politik sebagai cara atau sebuah kemungkinan.
Setiap orang dapat melakukan pemaknaan sebuah “identitas”, terutama mengenai “identitas politik” secara berbeda. Banyak perdebatan mengenai hal tersebut karena identitas politik berkaitan dengan apa yang mereka lakukan atau kerjakan. Sebagai contoh seseorang Prancis berpandangan bahwa pernikahan bagi kaum Gay merupakan hal yang baik, namun beberapa orang di Prancis menolak pandangan itu, bahkan mereka berpandangan bahwa pernikahan Gay merupakan identitas dari bangsa Amerika (Di Prancis gaya hidup Amerika dipandang sebagai gaya hidup yang buruk). Hal tersebut telah menunjukkan bahwa tindakan orang lain mempunyai implikasi pada usaha untuk membangun identitasnya.
Pada abad pertengahan identitas politik menjadi hal yang penting dalam upaya mengembangkan aktivitas politik dan penemuan teori yang berasal dari fenomena-fenomena ketidak adilan yang ada di lingkungan masyarakat atau kelompok social. Lebih jauh lagi “identitas politik” berhubungan dengan ruang lingkup organisasi seperti ideology atau afiliasi partai politik. Sehingga sebuah “identitas” tetap menjadi ciri dari masyarakat yang marginal atau terpinggirkan, dan posisi marginal dijadikan sebuah penekanan kembali dalam memahami perbedaan terhadap karakteristik yang dominan dari masing-masing orang.
Pada abad pertengahan 19 kita telah melihat berbagai macam fenomena ketidak adilan yang muncul melalui gerakan-gerakan sosial dalam skala yang lebih luas. Fenomena tersebut dapat dicontohkan dengan gerakan feminis, adanya tuntutan akan hak yang sama bagi masyarakat kulit hitam, tuntutan perlakuan yang sama bagi Gay dan Lesbian di Amerika serta gerakan suku India (suku asli) di Amerika. Fenomena tersebut merupakan gambaran atau penegasan dari ketidak adilan yang telah terjadi dalam kelompok social tertentu. Gerakan tersebut secara alamiah lahir karena adanya identitas yang melekat. Dengan demikian pemaknaan terhadap sebuah identitas juga dapat dilihat dari sebuah peran yang muncul melalui gerakan bersama untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh kelompok tersebut. Sebab bagaimanapun juga manusia sebagai mahluk sosial dan mahluk “Zoon Politicon” selalu melakukan interaksi dan hubungan kerjasama dengan orang lain dalam rangka untuk mencapai tujuan bersama. Dari hal tersebut, maka pemaknaan terhadap sebuah identitas akan berkaitan dengan politik sehingga yang dimaksud disini adalah identitas politik yang dipahami sebagai sebuah bentuk organisasi yang berkaitan dengan ide dari kelompok masyarakat .
Teori identitas dapat dijabarkan menjadi beberapa bagian yaitu; Teori identitas social, Teori identitas kelompok, Dan identitas budaya. Identitas social merupakan suatu proses bukan tindakan atau perilaku. Teori identitas kelompok lebih banyak didasari oleh antropologi yang menggunakan ciri-ciri etnik untuk menentukan identitas berbagai kelompok[2]. Identitas merupakan sebuah proses dan sesuatu yang dibentuk, dengan kata lain identitas tidaklah bersifat inheren tetapi muncul dalam suatu interaksi . Identitas juga dapat dikatan sebagai sebuah proses pemberian label atau nama[3].
Banyak pandangan mengenai makna identitas, antara lain yang dikemukakan oleh Kwame Anthony Appiah :
“ identity may not be the best word for bringing together the role gender, class, race, nationality, and so on play in our lives, but is the one we use”.[4]
Menururt Kwame Anthony Appiah, sebuah identitas dipandang kurang tepat untuk menjabarkan adanya perbedaan gender, kelas, ras, bangsa dan membawa perbedaan tersebut secara bersamaan serta digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Satu masalah mengenai identitas, dimana sebuah identitas dapat dimaknai oleh setiap orang secara pribadi berdasarkan keinginan sendiri-sendiri. Dan sedikit sekali dari setiap perbedaan tersebut dapat diubah sebagai identitas yang mempunyai daya tarik bagi masyarakat umum.
Pemikiran Kwame Anthony Appiah diatas secara tidak langsung dapat menggambarkan bagaimana sebuah identitas keagamaan muncul di Indonesia. Upaya pemaknaan yang berbeda dari berbagai pemikiran internal dalam Islam telah memunculkan pandangan serta penyikapan-penyikapan yang berbeda dalam masyarakat.
Secara norma atau nilai-nilai, dapat diidentifikasi bahwa “identitas” adalah sebuah nilai kemanfaatan (Useful), karena seseorang yang memperoleh identitas melalui penghargaan atau pemberian akan dapat diprediksi melalui tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-harinya. Namun hal tersebut bukanlah sebuah keharusan yang ada pada setiap orang yang memperoleh “identitas” baru dari pemberian atau penghargaan. Karena identitas social lebih cenderung terasosiasi dengan norma atu nilai-nilai tingkah laku dari orang lain. Bahkan menurut ahli Psikologi sebuah “identitas” dapat digunakan untuk mengkonstruksi kehidupan manusia : “We Use Identities to construct our human lives“[5].
Selaras dengan pandangan Kwame Anthony Appiah :
“ But That’s just thebeginning. Our identities don’t depend on interactions in intimate life alone. Law, School, church, work, and many others institutions also shape us “.[6]
dalam dunia politik salah seorang filsuf telah menulis mengenai identitas social yang telah digunakan sebagai label pengakuan dari politik, yang dinamakan dengan “Hegelian Language Labels The Politics of Recognation”[7] sebagai respon dari keinginan manusia untuk berperan dalam kehidupannya melalui tindakan interaksi social. Identitas tidak hanya dibangun melalui interaksi dalam kehidupan pribadi seseorang, terbangunnya identitas juga dipengaruhi oleh institusi-instusi lain seperti hukum, sekolah, gereja, pekerjaan dan beberapa institusi-institusi lainnya.
Dari penjelasan tersebut, maka identitas merupakan sebuah proses dialogis (dialogically) dari bagian-bagian tersebut (Interaksi sosial, institusi hukum, institusi sekolah, Institusi gereja, Institusi pekerjaan dan lainnya). Sejalan dengan pandangan Taylor, dimana orang-orang telah menemukan karakteristiknya sendiri dari hal yang negative, yang telah membangun atau mengkonstruksi identitas mereka dan akan berpengaruh pada pengembangan nilai-nilai positif dalam kehidupan mereka.
Pandangan yang senada dikemukakan oleh Susan J. Hekman melalui bukunya berjudul “Privat selves public identities: Reconsidering Identity Politics” mempunyai pertimbangan lain mengenai adanya kesalahan mengkonsepsikan tentang identitas alamiah (Nature identity). Dalam bukunya tersebut Hekman menjelaskan bahwa subjek postmodern yang fiktif merupakan pilihan bagi manusia modern. Penempatan postmodernis sebagai acuan merupakan penempatan posisi yang salah. Dalam hal ini Hekman menolak secara tegas mengenai subjek modernis yang mendekonstruksi sosial melalui gender. Menurut Hekman nilai-nilai yang relative mapan mulai terbangun sejak masa anak-anak dan merupakan elemen penting dalam upaya membangun hubungan social.
“Heckman claims that we each have relatively stable core self, formed in childhood in response to our most important social relationships”.[8]
Pandangan Susan J Hekman diatas dipahami sebagai keterkaitan antara objek dan teori yang dimodifikasi dengan memperhatikan gender, ras, kelas serta hubungannya dengan masa anak-anak. Susan J Hekman memberikan pandangan bahwa teori politik liberal membutuhkan modifikasi secara radikal untuk mempersiapkan pola yang mempengaruhi perbedaan-perbedaan identitas yang melekat pada setiap warga negara. Dan Identitas politik menurut Susan J Hekman tercakup dalam sebuah proses identifikasi antara identitas personal dan identitas public
“Hekman argues that identity politics involves “a process of identification between personal and public identities and that pressure to conform remains factor”[9].
Dalam identitas politik dapat dilihat bahwa identitas privat tidak sejajar atau serah dengan identitas public Dan tidak akan mudah melepaskan identitas-identitas dasar dari satu kelompok untuk dapat melebur menjadi identitas public. Banyak tantangan dan benturan yang akan ditemui untuk meminimalisir perbedaan yang ada dalam setiap kelompok. Dapat disimpulkan dengan mengambil konsep dari Michel Foucoult bahwa identitas public adalah sebuah pemahaman dan ditujukan untuk orang lain. Dan menurut Susan J Hekman tindakan politik yang masuk diantara identitas public dibutuhkan untuk mengubah tindakan para pendukung politik tersebut.
Untuk menjelaskan mengenai identitas politik itu sendiri, Kwame Anthony Appiah menemukan tujuh perbedaan :
“ I count seven different ways in which I have said that you might speak of identity politics;(1) There are politics conflicts about who’s in and who’s out. (2) Politicians can mobilize identities. (3) States can treat people of distinct identities differently. (4) people can pursue a politics of recognition. (5) there can be a social micro politics enforcing norms of identifications. (6) There are inherently political; identities like party identifications. And (7) Social groups can mobilize to respond collectively to all of the above”.[10]
Perbedaan diatas, merupakan upaya dari Kwame Anthony Appiah untuk memberikan jalan pembeda dalam identifikasi mengenai “Identitas politik” yang didasarkan pada; pertama, konflik politik, yang berkaitan dengan siapa yang masuk dalam konflik dan siapa yang ada di luar konflik. Kedua, Peran politikus yang dapat memobilisir atau menggerakkan identitas itu sendiri, dalam hal ini politikus berperan aktif menggunakan identitas untuk mencapai kepentingan mereka. Ketiga, Peran Negara dalam menjaga posisi dari masyarakat untuk tetap mempunyai identitas masing-masing. Masyarakat dijamin untuk dapat menggunakan identitasnya dalam kehidupan sehari-hari. Keempat, Adanya kesepakatan politik yang dilakukan oleh orang-orang tertentu untuk menggunakan identitas tertentu. Ke lima, Dengan nilai-nilai yang menjadi identitas mereka, maka masyarakat dapat menjadi kekuatan micro politik. Ke enam, Identitas politik tidak selamanya inheren atau sama dengan identitas partai. Ke tujuh, Masyarakat mempunyai peran untuk dapat melakukan perubahan secara bersama-sama dan kolektif terhadap semua hal.
Dalam kehidupan manusia, agama mempunyai peran penting sebagai standar moralitas tertinggi. Agama juga berperan dalam kehidupan public sebagai identitas agama dan identitas politik. Dalam tata dunia baru munculnya kekuatan ekonomi, juga diiringi dengan semakin menguatnya pembentukan identitas yang berdasarkan etnis dan agama. Agama di dunia barat secara umum merupakan hal yang baik yang terpisah dari kehidupan politik, namun sebaliknya didalam masyarakat non barat seringkali menyatukan agama dengan nasionalisme untuk memunculkan krisis politik. Pola penyatuan agama dengan nasionalisme telah membangun “keakuan” terhadap simbol-simbol yang sangat krusial dan sering merujuk pada simbol agama.
[1] www.wikipwdia.com identity politics, diakses pada tanggal 11 Januari 2007
[2] Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi social: Psikologi kelompok dan Psikologi terapan, Jakarta, Balai Pustaka, 2001 hal 22-23
[3] Madan Sarup, Identity, Culture and Post modern World, Eidenburgh University Press
[4] Kwame Anthony Appiah, The Politics of identity, Deadalus: Fall 2006;134,4; Academic Research Library, Pg. 15
[5] Ibid
[6] Ibid, Hal. 19
[7] Ibid, hal.19
[8] Amy Mullin; Book Review : “ Private Selves, Public Identities: Reconsidering Identity Politics. By Susan J Hekman, University Park: Pennsylvania State University Press. 2004 Pg. 205.
[9] Ibid. hal 206
[10] Ibid, Hal. 22
Sunday, January 11, 2009
POLITIK ADALAH KEBAIKAN BERSAMA
Oleh : Lusi Andriyani, SIP.,M.Si
Dalam bagian ini konsep politik lebih dekat dengan konsep pemerintah terutama berkaitan dengan kehidupan bersama (public life) atau kebaikan bersama. Dengan kata lain hal yang membedakan antara tindakan politik dan non politik didasarkan pada pembagian terhadap dua hal yang penting yaitu ruang publik (Public Sphere) dan ruang private (Private Sphere). Pandangan politik seperti itu selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Aristoteles, yang memandang bahwa manusia secara alamiah merupakan mahluk politik (political animal) Yang berarti bahwa hanya dengan melakukan tindakan politiklah manusia dapat mengatur kehidupannya dan menjadikan kehidupan lebih baik. Dengan demikian politik merupakan tindakan atau perilaku etik yang dimiliki manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Bagaimanapun juga kita harus tetap mendasarkan pada dua hal yaitu kehidupan publik (Public Life) dan kehidupan pribadi (Private life). Pembagian sederhana mengenai area publik dan area privat seragam dengan pembagian antara negara dan masyarakat sipil. Institusi negara memiliki apparatus pemerintahan yang terdiri atas; lembaga peradilan, Polisi, ABRI, Sistem untuk melindungi masyarakat yang dapat disebut juga sebagai peran publik dan mereka bertanggungjawab terhadap kehidupan masyarakat. Lebih jauh lagi mereka dibayar oleh publik melalui pungutan pajak. Berbeda dengan masyarakat sipil yang terdiri atas: keluarga, kelompok masyarakat, organisasi bisnis, persatuan pedagang, kelompok lainnya yang dibangun dan dibiayai atas kemampuan individu dan untuk kepentingan pribadi. Dan kelompok inilah yang secara luas dinamakan dengan masyarakat.
Sebagai dasar dari pembagian antara publik dan private, dalam bidang politik menekankan pada aktivitas negara itu sendiri dan tanggungjawabnya terhadap kehidupan publik. Dalam area ini kehidupan individu dapat diatur oleh mereka sendiri seperti dalam bidang ekonomi, sosial, domestic, personal budaya dan seni. Aktivitas tersbut dinamakan sebagai tindakan nonpolitik. Sebgai alternative dalam membagi dan membedakan term atau kata publik dan privat dapat dilakukan dengan membedakan antara tindakan politik dan tindakan personal. Walaupun masyarakat berbeda dan dibedakan dengan negara namun tidak satupun isi dari institusi yang dinamakan sebagai “publik” lebih jelas lagi sebagai institusi yang melaksanakan kepentingan publik yang mana publik mempunyai akses. Implikasi penting dari hal ini adalah batasan dari bangsa luar secara politik, dimana mereka dapat menyalurkan atau mentrasnfer ekonomi secara umum dari area publik ke area private. Dalam fenomena ini kita akan dapat menemukan bentuk dari politik dalam lingkungan kerja. Walau bagaimanapun ada yang menerima pandangan tentang institusi lainnya seperti bisnis, kelompok masyarakat, klub, persatuan pedagang sebagai “publik”. Hal tersebut semakin menekankan pandangan terhadap politik itu sendiri.
Pandangan politik yang paling penting berkaitan dengan aktivitas publik. Apabila dibuat perbandingan yang sangat kontras atau mencolok maka politik sebagai aktivitas publik mempunyai bentuk tersendiri. Dalam teori liberal secara umum, menempatkan individu diatas negara. Dengan demikian kehidupan privat adalah sebuah pilihan, kebebasan individu dan tanggungjawab individu. Hal tersebut tidak dapat digunakan sebagai suatu pendekatan untuk menjelaskan mengenai politik. Pandangan umum yang muncul justru menunjukkan bahwa upaya untuk menempatkan politik diluar dari aktivitas privat seperti bisnis, olah raga dan kehidupan keluarga. Dari pandngan tersebut maka politik merupakan suatu pilihan tindakan. Sebagai contoh apabila kita lebih memilih untuk mengendalikan bisnis, memeilih sebagai pemain olahraga, atau memilih untuk mendidik anak.
Tabel .
Dua Pandangan Mengenai pembagian ruang publik dan private
Publik
Privat
Negara : Aparatus pemerintah
Masyarakat Sipil :
Lembaga otonom, Bisnis. Persatuan pedagang, Klub, Keluarga dan sebagainya
Publik
Privat
Area publik (Ruang publik) :
Politik, Perdagangan, dunia kerja, seni, budaya dan sebagainya
Ruang personal atau pribadi : Keluarga dan kehidupan domestic
Dalam bagian ini konsep politik lebih dekat dengan konsep pemerintah terutama berkaitan dengan kehidupan bersama (public life) atau kebaikan bersama. Dengan kata lain hal yang membedakan antara tindakan politik dan non politik didasarkan pada pembagian terhadap dua hal yang penting yaitu ruang publik (Public Sphere) dan ruang private (Private Sphere). Pandangan politik seperti itu selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Aristoteles, yang memandang bahwa manusia secara alamiah merupakan mahluk politik (political animal) Yang berarti bahwa hanya dengan melakukan tindakan politiklah manusia dapat mengatur kehidupannya dan menjadikan kehidupan lebih baik. Dengan demikian politik merupakan tindakan atau perilaku etik yang dimiliki manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Bagaimanapun juga kita harus tetap mendasarkan pada dua hal yaitu kehidupan publik (Public Life) dan kehidupan pribadi (Private life). Pembagian sederhana mengenai area publik dan area privat seragam dengan pembagian antara negara dan masyarakat sipil. Institusi negara memiliki apparatus pemerintahan yang terdiri atas; lembaga peradilan, Polisi, ABRI, Sistem untuk melindungi masyarakat yang dapat disebut juga sebagai peran publik dan mereka bertanggungjawab terhadap kehidupan masyarakat. Lebih jauh lagi mereka dibayar oleh publik melalui pungutan pajak. Berbeda dengan masyarakat sipil yang terdiri atas: keluarga, kelompok masyarakat, organisasi bisnis, persatuan pedagang, kelompok lainnya yang dibangun dan dibiayai atas kemampuan individu dan untuk kepentingan pribadi. Dan kelompok inilah yang secara luas dinamakan dengan masyarakat.
Sebagai dasar dari pembagian antara publik dan private, dalam bidang politik menekankan pada aktivitas negara itu sendiri dan tanggungjawabnya terhadap kehidupan publik. Dalam area ini kehidupan individu dapat diatur oleh mereka sendiri seperti dalam bidang ekonomi, sosial, domestic, personal budaya dan seni. Aktivitas tersbut dinamakan sebagai tindakan nonpolitik. Sebgai alternative dalam membagi dan membedakan term atau kata publik dan privat dapat dilakukan dengan membedakan antara tindakan politik dan tindakan personal. Walaupun masyarakat berbeda dan dibedakan dengan negara namun tidak satupun isi dari institusi yang dinamakan sebagai “publik” lebih jelas lagi sebagai institusi yang melaksanakan kepentingan publik yang mana publik mempunyai akses. Implikasi penting dari hal ini adalah batasan dari bangsa luar secara politik, dimana mereka dapat menyalurkan atau mentrasnfer ekonomi secara umum dari area publik ke area private. Dalam fenomena ini kita akan dapat menemukan bentuk dari politik dalam lingkungan kerja. Walau bagaimanapun ada yang menerima pandangan tentang institusi lainnya seperti bisnis, kelompok masyarakat, klub, persatuan pedagang sebagai “publik”. Hal tersebut semakin menekankan pandangan terhadap politik itu sendiri.
Pandangan politik yang paling penting berkaitan dengan aktivitas publik. Apabila dibuat perbandingan yang sangat kontras atau mencolok maka politik sebagai aktivitas publik mempunyai bentuk tersendiri. Dalam teori liberal secara umum, menempatkan individu diatas negara. Dengan demikian kehidupan privat adalah sebuah pilihan, kebebasan individu dan tanggungjawab individu. Hal tersebut tidak dapat digunakan sebagai suatu pendekatan untuk menjelaskan mengenai politik. Pandangan umum yang muncul justru menunjukkan bahwa upaya untuk menempatkan politik diluar dari aktivitas privat seperti bisnis, olah raga dan kehidupan keluarga. Dari pandngan tersebut maka politik merupakan suatu pilihan tindakan. Sebagai contoh apabila kita lebih memilih untuk mengendalikan bisnis, memeilih sebagai pemain olahraga, atau memilih untuk mendidik anak.
Tabel .
Dua Pandangan Mengenai pembagian ruang publik dan private
Publik
Privat
Negara : Aparatus pemerintah
Masyarakat Sipil :
Lembaga otonom, Bisnis. Persatuan pedagang, Klub, Keluarga dan sebagainya
Publik
Privat
Area publik (Ruang publik) :
Politik, Perdagangan, dunia kerja, seni, budaya dan sebagainya
Ruang personal atau pribadi : Keluarga dan kehidupan domestic
POLITIK SEBAGAI SENI MEMERINTAH
Oleh: Lusi Andriyani, SIp.,M.Si
Beberapa orang memandang bahwa politik bukanlah ilmu, namun politik adalah sebuah seni. Politik dimaknai sebagai seni untuk memerintah yang diwujudkan melalui control yang diberikan kepada masyarakat terhadap penerapan dan pembuatan dari makna aslinya dari bahasa Yunani Kuno yaitu “Polis” yang berarti nagara kota (City-State). Lebih jauh lagi pengaruh dari negara kota yang berasal dari Yunani selalu dapat dipahami dengan mengacu kepada “Polis”. Bentuk yang lebih modern dari kata “polis” adalah “state” atau negara. Kata state ataupun negara dalam kajian politik selalu digunakan. Bahkan banyak masyarakat yang menyatakan bahwa itu “politik” ketika mereka masuk dalam lingkungan pemerintahan atau bekerja dalam lingkungan pemerintah seperti di kantor-kantor milik pemerintah, instansi-instansi pemerintah.
Disisi lain politik yang selalu dipandang dan dimaknai sebagai “state” atau negara dari sudut pandang disiplin ilmu sebagai pandangan yang bersifat tradisional. Hal ini menggambarkan ada sebuah kecenderungan dari para akademisi untuk selalu menitik beratkan politik dari segi personal dan mesin dari pemerintahan. Mempelajari politik adalah mempelajari tentang pemerintah lebih jauh lagi berkaitan dengan kewenangannya. Seperti yang dikemukakan oleh David Easton yang mendefinisikan politik sebagai (Authoritative allocation values) atau kewenangan untuk mengalokasikan nilai-nilai. David Easton memaknai politik sebagai proses ataupun cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk bertindak ataupun memaksa masyarakat dalam upaya untuk mengalokasikan keuntungan, penghargaan ataupun hukuman sebagai bentuk kewenangan dalam mengalokasikan nilai-nilai yang dapat diterima oleh mayarakat luas dan menjadi acuan bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam pandangan ini politik diartikan sama dengan sebuah kebijakan (policy). Dimana secara formal keputusan yang ada didasarkan pada pembuat kewenangan yang didasarkan pada rencana untuk kegiatan atau tindakan bagi masyarakat.
Bagaimanapun juga definisi diatas telah memberikan penekanan yang tegas terhadap pengertian politik. Politik dimaknai sebagai sebuah system organisasi yang mengacu pada mesin pemerintahan. Politik secara praktis dapat digambarkan sebagai cabinet, legislative, departemen dan seterusnya. Batasan spesifik dalam tataran politik praktis adalah kelompok tertentu yang dinamakan sebagai “politisi” dan mempunyai peran untuk melayani masyarakat dan melakukan lobi atau pendekatan personal. Dengan demikian banyak dari kelompok masyarakat, institusi, dan aktivitas sosial lainnya yang dipandang sebagai kegiatan nonpolitik seperti; bisnis, sekolahan, institusi pendidikan, kelompok masyarakat dan yang sejenis lainnya. Karena tindakan mereka tidak mempunyai pengaruh besar dalam kegiatan kenegaraan. Dalam waktu yang bersamaan politik adalah sesensi dari negara dan aktivitas kenegaraan yang memperhatikan pentingnya pengaruh dari dunia internasional atau global terhadap kehidupan yang lebih modern. Fenomene ini ditunjukkan dengan adanya pengaruh tehnologi trans nasional dan perusahaan multinasional. Dari pandangan tersebut, maka makna politik tergantung pada perkembangan dari negara bangsa (nation-state) yang memberikan peluang besar pada munculnya aktor independent dalam tindakan bersama.
Pendapat diatas memberikan makna lain terhadap politik. Dimana politik dipandang mempunyai tendensi yang sama dengan pengertian partai politik. Dengan kata lain bahwa para aktor politik atau politikus adalah aktor dari negara yang mempunyai sebuah ideology dan mempercayai ideology tersebut dan mempunyai keanggotaan yang resmi seperti partai politik. Dengan demikian Politikus dimaknai sebagai “pelaku politik”. Dan tindakan untuk melayanai masyarakat atau sebagai pelayan public sebagai tindakan non politik aatau lebih jauh lagi dapat dikatakan sebagai pelaku professional.
Hubungan antara politik dan peran negara telah menjelaskan adanya sebuah pandangan yang negaratif ataupun prejorative yang terkait dengan politik. Hal ini dikarenakan adanya sebuah pandangan yang telah umum dalam masyarakat berkaitan dengan politik dengan pandangan bahwa politik adalah semua tindakan yang dilakukan oleh politikus. Dalam makna yang lebih ekstrim, politik lebih menggambarkan sebagai tindakan yang brutal. Politik dipandang sebagai tindakan yang selalu menggoyang kekuasaan ataupun tindakan kritis untuk menumbangkan kekuasaan untuk memenuhi ambisi pribadi dengan menggunakan dalih untuk melayani masyarakat dan menegakkan ideology. Maka persepsi yang muncul dari pandangan tersebut adalah adanya kegiatan yang intensif terhadap media yang mengangkat isu korupsi, kolusi dan nepotisme dari setiap orang yang terlibat dalam mesin politik ataupun system politik dan pemerintahan sebagai upaya memberikan pandangan baru mengenai anti-politik. Dari isu tersebut menggambarkan bahwa politik merupakan tindakan untuk melayani dirinya sendiri (Self Serving), bermuka dua dan tindakan yang tidak mempunyai I prinsip yang jelas. Lebih jauh lagi ungkapan tersebut digunakan untuk memberikan label pada “Politisi nakal”.
Pandangan mengenai politik sebagai sebuah tindakan yang kotor juga dinyatakan oleh Niccolo Machiavelli dalam tulisanya “ The Prince”. Machiavelli menggambarkan bahwa politik adalah tindakan untuk menumpuk uang yang dilakukan melalui upaya manipulasi, berbohong, dan menipu. Pandangan yang negative terhadap politik merupakan sesensi dari pandangan kaum liberal yang memandang individu adalah self-Interested. Kekuasaan politik adalah korupsi karena dengan kekuasaan yang dimilikinya dapat melakukan tindakan untuk mengeksploitasi posisi mereka dalam upaya meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Meskipun demikian, tidak sedikit yang mempunyai pandangan tentang politik sebagai sebuah tindakan atau aktivitas yang permanent atau tetap dalam kehidupan bermasyarakat. Tindakan politik secara umum telah dapat diterima, terutamaa sebagai bentuk mekanisme untuk mengalokasikan nilai-nilai. Lebih jauh lagi politik digunakan sebagai acuan bagi politisi untuk melakukan tindakan yang ada dalam alur kerja mereka dengan melaksanakan cek dan tetap menekankan pada kekuasaan pemerintah tidak digunakan untuk tindakan yang bersifat curang.
Beberapa orang memandang bahwa politik bukanlah ilmu, namun politik adalah sebuah seni. Politik dimaknai sebagai seni untuk memerintah yang diwujudkan melalui control yang diberikan kepada masyarakat terhadap penerapan dan pembuatan dari makna aslinya dari bahasa Yunani Kuno yaitu “Polis” yang berarti nagara kota (City-State). Lebih jauh lagi pengaruh dari negara kota yang berasal dari Yunani selalu dapat dipahami dengan mengacu kepada “Polis”. Bentuk yang lebih modern dari kata “polis” adalah “state” atau negara. Kata state ataupun negara dalam kajian politik selalu digunakan. Bahkan banyak masyarakat yang menyatakan bahwa itu “politik” ketika mereka masuk dalam lingkungan pemerintahan atau bekerja dalam lingkungan pemerintah seperti di kantor-kantor milik pemerintah, instansi-instansi pemerintah.
Disisi lain politik yang selalu dipandang dan dimaknai sebagai “state” atau negara dari sudut pandang disiplin ilmu sebagai pandangan yang bersifat tradisional. Hal ini menggambarkan ada sebuah kecenderungan dari para akademisi untuk selalu menitik beratkan politik dari segi personal dan mesin dari pemerintahan. Mempelajari politik adalah mempelajari tentang pemerintah lebih jauh lagi berkaitan dengan kewenangannya. Seperti yang dikemukakan oleh David Easton yang mendefinisikan politik sebagai (Authoritative allocation values) atau kewenangan untuk mengalokasikan nilai-nilai. David Easton memaknai politik sebagai proses ataupun cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk bertindak ataupun memaksa masyarakat dalam upaya untuk mengalokasikan keuntungan, penghargaan ataupun hukuman sebagai bentuk kewenangan dalam mengalokasikan nilai-nilai yang dapat diterima oleh mayarakat luas dan menjadi acuan bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam pandangan ini politik diartikan sama dengan sebuah kebijakan (policy). Dimana secara formal keputusan yang ada didasarkan pada pembuat kewenangan yang didasarkan pada rencana untuk kegiatan atau tindakan bagi masyarakat.
Bagaimanapun juga definisi diatas telah memberikan penekanan yang tegas terhadap pengertian politik. Politik dimaknai sebagai sebuah system organisasi yang mengacu pada mesin pemerintahan. Politik secara praktis dapat digambarkan sebagai cabinet, legislative, departemen dan seterusnya. Batasan spesifik dalam tataran politik praktis adalah kelompok tertentu yang dinamakan sebagai “politisi” dan mempunyai peran untuk melayani masyarakat dan melakukan lobi atau pendekatan personal. Dengan demikian banyak dari kelompok masyarakat, institusi, dan aktivitas sosial lainnya yang dipandang sebagai kegiatan nonpolitik seperti; bisnis, sekolahan, institusi pendidikan, kelompok masyarakat dan yang sejenis lainnya. Karena tindakan mereka tidak mempunyai pengaruh besar dalam kegiatan kenegaraan. Dalam waktu yang bersamaan politik adalah sesensi dari negara dan aktivitas kenegaraan yang memperhatikan pentingnya pengaruh dari dunia internasional atau global terhadap kehidupan yang lebih modern. Fenomene ini ditunjukkan dengan adanya pengaruh tehnologi trans nasional dan perusahaan multinasional. Dari pandangan tersebut, maka makna politik tergantung pada perkembangan dari negara bangsa (nation-state) yang memberikan peluang besar pada munculnya aktor independent dalam tindakan bersama.
Pendapat diatas memberikan makna lain terhadap politik. Dimana politik dipandang mempunyai tendensi yang sama dengan pengertian partai politik. Dengan kata lain bahwa para aktor politik atau politikus adalah aktor dari negara yang mempunyai sebuah ideology dan mempercayai ideology tersebut dan mempunyai keanggotaan yang resmi seperti partai politik. Dengan demikian Politikus dimaknai sebagai “pelaku politik”. Dan tindakan untuk melayanai masyarakat atau sebagai pelayan public sebagai tindakan non politik aatau lebih jauh lagi dapat dikatakan sebagai pelaku professional.
Hubungan antara politik dan peran negara telah menjelaskan adanya sebuah pandangan yang negaratif ataupun prejorative yang terkait dengan politik. Hal ini dikarenakan adanya sebuah pandangan yang telah umum dalam masyarakat berkaitan dengan politik dengan pandangan bahwa politik adalah semua tindakan yang dilakukan oleh politikus. Dalam makna yang lebih ekstrim, politik lebih menggambarkan sebagai tindakan yang brutal. Politik dipandang sebagai tindakan yang selalu menggoyang kekuasaan ataupun tindakan kritis untuk menumbangkan kekuasaan untuk memenuhi ambisi pribadi dengan menggunakan dalih untuk melayani masyarakat dan menegakkan ideology. Maka persepsi yang muncul dari pandangan tersebut adalah adanya kegiatan yang intensif terhadap media yang mengangkat isu korupsi, kolusi dan nepotisme dari setiap orang yang terlibat dalam mesin politik ataupun system politik dan pemerintahan sebagai upaya memberikan pandangan baru mengenai anti-politik. Dari isu tersebut menggambarkan bahwa politik merupakan tindakan untuk melayani dirinya sendiri (Self Serving), bermuka dua dan tindakan yang tidak mempunyai I prinsip yang jelas. Lebih jauh lagi ungkapan tersebut digunakan untuk memberikan label pada “Politisi nakal”.
Pandangan mengenai politik sebagai sebuah tindakan yang kotor juga dinyatakan oleh Niccolo Machiavelli dalam tulisanya “ The Prince”. Machiavelli menggambarkan bahwa politik adalah tindakan untuk menumpuk uang yang dilakukan melalui upaya manipulasi, berbohong, dan menipu. Pandangan yang negative terhadap politik merupakan sesensi dari pandangan kaum liberal yang memandang individu adalah self-Interested. Kekuasaan politik adalah korupsi karena dengan kekuasaan yang dimilikinya dapat melakukan tindakan untuk mengeksploitasi posisi mereka dalam upaya meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Meskipun demikian, tidak sedikit yang mempunyai pandangan tentang politik sebagai sebuah tindakan atau aktivitas yang permanent atau tetap dalam kehidupan bermasyarakat. Tindakan politik secara umum telah dapat diterima, terutamaa sebagai bentuk mekanisme untuk mengalokasikan nilai-nilai. Lebih jauh lagi politik digunakan sebagai acuan bagi politisi untuk melakukan tindakan yang ada dalam alur kerja mereka dengan melaksanakan cek dan tetap menekankan pada kekuasaan pemerintah tidak digunakan untuk tindakan yang bersifat curang.
Subscribe to:
Posts (Atom)