Monday, January 12, 2009

POLITIK IDENTITAS

Oleh : Lusi Andriyani, SIP.,M.Si

Pada pertengahan abad ke-19 muncul dalam skala yang lebih luas mengenai gerakan politik seperti kelompok feminis, hak-hak untuk orang kulit hitam di Amerika, Gay dan lesbian serta gerakan yang dilakukan oleh orang Indian di Amerika. Gerakan mereka didasari adanya ketidak adilan yang terjadi pada masyarakat ataupun kelompok tertentu. Gerakan sosial inilah yang mendasari upaya untuk mempertanyakan kembali mengenai hal yang bersifat alamiah, kaslian yang membangun sebuah identitas. Identitas Politik sebagai bentuk dari pola organisasi yang berkaitan dengan ide dari kelompok social tertentu yang dilaksanakan; seperti identitas dari perempuan ataupun penduduk asli Amerika yang terbangun karena budaya imperialisme (meliputi stereotype, ataupun upaya untuk menunjukkan identitas kelompoknya), kekerasan, eksploitasi, marginalisasi, atau ketidak berdayaan.
Identitas politik dimulai dengan upaya untuk menganalisis tindakan yang dilakukan, keberagaman, penggunaan jargon ataupun klaim tertentu, upaya mendiskripsikan kembali, ataupun transformasi pemikiran diantara anggota kelompoknya. Lebih jauh lagi penerimaan terhadap pandangan yang negative oleh budaya yang lebih dominan mengenai sesuatu yang dipandang lebih rendah. Sebagai contoh apa yang dikemukakan oleh kaum feminis kulit hitam mengenai identitas politik, Combahee River Collective berpandangan bahwa “Anak-anak senyatanya kami bedakan dengan anak laki-laki dan kami membuatnya berbeda”[1]. Wilayah dari gerakan politik digambarkan sebagai identitas politik, sebagai contoh secara filosofi penggambaran dari kekuatan predominan dengan kapitalis barat, dengan menggunakan argument mengenai hak dasar.
Kata “Identitas Politik” menjadi hal yang sangat luas untuk dibicarakan dan banyak menuai kritik. Identitas politik sebagai alat untuk mendiskripsikan permasalahan politik. Dari pandangan kontemporer, pada awalnya identitas politik menjadikan semua tindakan politik sebagai acuan. Bagaimanapun juga retorika mengenai identitas politik yang berkaitan dengan penerimaan ataupun upaya untuk memberdayakan dan membangun kepercayaan secara filosofi dalam memahami apa yang dimaksudkan dengan permasalahan yang berkaitan dengan politik. Sejak abad 19 kita telah mengetahui bahwa gerakan politik menjadikan identitas politik sebagai cara atau sebuah kemungkinan.

Setiap orang dapat melakukan pemaknaan sebuah “identitas”, terutama mengenai “identitas politik” secara berbeda. Banyak perdebatan mengenai hal tersebut karena identitas politik berkaitan dengan apa yang mereka lakukan atau kerjakan. Sebagai contoh seseorang Prancis berpandangan bahwa pernikahan bagi kaum Gay merupakan hal yang baik, namun beberapa orang di Prancis menolak pandangan itu, bahkan mereka berpandangan bahwa pernikahan Gay merupakan identitas dari bangsa Amerika (Di Prancis gaya hidup Amerika dipandang sebagai gaya hidup yang buruk). Hal tersebut telah menunjukkan bahwa tindakan orang lain mempunyai implikasi pada usaha untuk membangun identitasnya.
Pada abad pertengahan identitas politik menjadi hal yang penting dalam upaya mengembangkan aktivitas politik dan penemuan teori yang berasal dari fenomena-fenomena ketidak adilan yang ada di lingkungan masyarakat atau kelompok social. Lebih jauh lagi “identitas politik” berhubungan dengan ruang lingkup organisasi seperti ideology atau afiliasi partai politik. Sehingga sebuah “identitas” tetap menjadi ciri dari masyarakat yang marginal atau terpinggirkan, dan posisi marginal dijadikan sebuah penekanan kembali dalam memahami perbedaan terhadap karakteristik yang dominan dari masing-masing orang.
Pada abad pertengahan 19 kita telah melihat berbagai macam fenomena ketidak adilan yang muncul melalui gerakan-gerakan sosial dalam skala yang lebih luas. Fenomena tersebut dapat dicontohkan dengan gerakan feminis, adanya tuntutan akan hak yang sama bagi masyarakat kulit hitam, tuntutan perlakuan yang sama bagi Gay dan Lesbian di Amerika serta gerakan suku India (suku asli) di Amerika. Fenomena tersebut merupakan gambaran atau penegasan dari ketidak adilan yang telah terjadi dalam kelompok social tertentu. Gerakan tersebut secara alamiah lahir karena adanya identitas yang melekat. Dengan demikian pemaknaan terhadap sebuah identitas juga dapat dilihat dari sebuah peran yang muncul melalui gerakan bersama untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh kelompok tersebut. Sebab bagaimanapun juga manusia sebagai mahluk sosial dan mahluk “Zoon Politicon” selalu melakukan interaksi dan hubungan kerjasama dengan orang lain dalam rangka untuk mencapai tujuan bersama. Dari hal tersebut, maka pemaknaan terhadap sebuah identitas akan berkaitan dengan politik sehingga yang dimaksud disini adalah identitas politik yang dipahami sebagai sebuah bentuk organisasi yang berkaitan dengan ide dari kelompok masyarakat .
Teori identitas dapat dijabarkan menjadi beberapa bagian yaitu; Teori identitas social, Teori identitas kelompok, Dan identitas budaya. Identitas social merupakan suatu proses bukan tindakan atau perilaku. Teori identitas kelompok lebih banyak didasari oleh antropologi yang menggunakan ciri-ciri etnik untuk menentukan identitas berbagai kelompok[2]. Identitas merupakan sebuah proses dan sesuatu yang dibentuk, dengan kata lain identitas tidaklah bersifat inheren tetapi muncul dalam suatu interaksi . Identitas juga dapat dikatan sebagai sebuah proses pemberian label atau nama[3].
Banyak pandangan mengenai makna identitas, antara lain yang dikemukakan oleh Kwame Anthony Appiah :
“ identity may not be the best word for bringing together the role gender, class, race, nationality, and so on play in our lives, but is the one we use”.[4]

Menururt Kwame Anthony Appiah, sebuah identitas dipandang kurang tepat untuk menjabarkan adanya perbedaan gender, kelas, ras, bangsa dan membawa perbedaan tersebut secara bersamaan serta digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Satu masalah mengenai identitas, dimana sebuah identitas dapat dimaknai oleh setiap orang secara pribadi berdasarkan keinginan sendiri-sendiri. Dan sedikit sekali dari setiap perbedaan tersebut dapat diubah sebagai identitas yang mempunyai daya tarik bagi masyarakat umum.
Pemikiran Kwame Anthony Appiah diatas secara tidak langsung dapat menggambarkan bagaimana sebuah identitas keagamaan muncul di Indonesia. Upaya pemaknaan yang berbeda dari berbagai pemikiran internal dalam Islam telah memunculkan pandangan serta penyikapan-penyikapan yang berbeda dalam masyarakat.
Secara norma atau nilai-nilai, dapat diidentifikasi bahwa “identitas” adalah sebuah nilai kemanfaatan (Useful), karena seseorang yang memperoleh identitas melalui penghargaan atau pemberian akan dapat diprediksi melalui tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-harinya. Namun hal tersebut bukanlah sebuah keharusan yang ada pada setiap orang yang memperoleh “identitas” baru dari pemberian atau penghargaan. Karena identitas social lebih cenderung terasosiasi dengan norma atu nilai-nilai tingkah laku dari orang lain. Bahkan menurut ahli Psikologi sebuah “identitas” dapat digunakan untuk mengkonstruksi kehidupan manusia : “We Use Identities to construct our human lives“[5].
Selaras dengan pandangan Kwame Anthony Appiah :

“ But That’s just thebeginning. Our identities don’t depend on interactions in intimate life alone. Law, School, church, work, and many others institutions also shape us “.[6]

dalam dunia politik salah seorang filsuf telah menulis mengenai identitas social yang telah digunakan sebagai label pengakuan dari politik, yang dinamakan dengan “Hegelian Language Labels The Politics of Recognation”[7] sebagai respon dari keinginan manusia untuk berperan dalam kehidupannya melalui tindakan interaksi social. Identitas tidak hanya dibangun melalui interaksi dalam kehidupan pribadi seseorang, terbangunnya identitas juga dipengaruhi oleh institusi-instusi lain seperti hukum, sekolah, gereja, pekerjaan dan beberapa institusi-institusi lainnya.
Dari penjelasan tersebut, maka identitas merupakan sebuah proses dialogis (dialogically) dari bagian-bagian tersebut (Interaksi sosial, institusi hukum, institusi sekolah, Institusi gereja, Institusi pekerjaan dan lainnya). Sejalan dengan pandangan Taylor, dimana orang-orang telah menemukan karakteristiknya sendiri dari hal yang negative, yang telah membangun atau mengkonstruksi identitas mereka dan akan berpengaruh pada pengembangan nilai-nilai positif dalam kehidupan mereka.
Pandangan yang senada dikemukakan oleh Susan J. Hekman melalui bukunya berjudul “Privat selves public identities: Reconsidering Identity Politics” mempunyai pertimbangan lain mengenai adanya kesalahan mengkonsepsikan tentang identitas alamiah (Nature identity). Dalam bukunya tersebut Hekman menjelaskan bahwa subjek postmodern yang fiktif merupakan pilihan bagi manusia modern. Penempatan postmodernis sebagai acuan merupakan penempatan posisi yang salah. Dalam hal ini Hekman menolak secara tegas mengenai subjek modernis yang mendekonstruksi sosial melalui gender. Menurut Hekman nilai-nilai yang relative mapan mulai terbangun sejak masa anak-anak dan merupakan elemen penting dalam upaya membangun hubungan social.
“Heckman claims that we each have relatively stable core self, formed in childhood in response to our most important social relationships”.[8]

Pandangan Susan J Hekman diatas dipahami sebagai keterkaitan antara objek dan teori yang dimodifikasi dengan memperhatikan gender, ras, kelas serta hubungannya dengan masa anak-anak. Susan J Hekman memberikan pandangan bahwa teori politik liberal membutuhkan modifikasi secara radikal untuk mempersiapkan pola yang mempengaruhi perbedaan-perbedaan identitas yang melekat pada setiap warga negara. Dan Identitas politik menurut Susan J Hekman tercakup dalam sebuah proses identifikasi antara identitas personal dan identitas public
“Hekman argues that identity politics involves “a process of identification between personal and public identities and that pressure to conform remains factor”[9].
Dalam identitas politik dapat dilihat bahwa identitas privat tidak sejajar atau serah dengan identitas public Dan tidak akan mudah melepaskan identitas-identitas dasar dari satu kelompok untuk dapat melebur menjadi identitas public. Banyak tantangan dan benturan yang akan ditemui untuk meminimalisir perbedaan yang ada dalam setiap kelompok. Dapat disimpulkan dengan mengambil konsep dari Michel Foucoult bahwa identitas public adalah sebuah pemahaman dan ditujukan untuk orang lain. Dan menurut Susan J Hekman tindakan politik yang masuk diantara identitas public dibutuhkan untuk mengubah tindakan para pendukung politik tersebut.
Untuk menjelaskan mengenai identitas politik itu sendiri, Kwame Anthony Appiah menemukan tujuh perbedaan :
“ I count seven different ways in which I have said that you might speak of identity politics;(1) There are politics conflicts about who’s in and who’s out. (2) Politicians can mobilize identities. (3) States can treat people of distinct identities differently. (4) people can pursue a politics of recognition. (5) there can be a social micro politics enforcing norms of identifications. (6) There are inherently political; identities like party identifications. And (7) Social groups can mobilize to respond collectively to all of the above”.[10]

Perbedaan diatas, merupakan upaya dari Kwame Anthony Appiah untuk memberikan jalan pembeda dalam identifikasi mengenai “Identitas politik” yang didasarkan pada; pertama, konflik politik, yang berkaitan dengan siapa yang masuk dalam konflik dan siapa yang ada di luar konflik. Kedua, Peran politikus yang dapat memobilisir atau menggerakkan identitas itu sendiri, dalam hal ini politikus berperan aktif menggunakan identitas untuk mencapai kepentingan mereka. Ketiga, Peran Negara dalam menjaga posisi dari masyarakat untuk tetap mempunyai identitas masing-masing. Masyarakat dijamin untuk dapat menggunakan identitasnya dalam kehidupan sehari-hari. Keempat, Adanya kesepakatan politik yang dilakukan oleh orang-orang tertentu untuk menggunakan identitas tertentu. Ke lima, Dengan nilai-nilai yang menjadi identitas mereka, maka masyarakat dapat menjadi kekuatan micro politik. Ke enam, Identitas politik tidak selamanya inheren atau sama dengan identitas partai. Ke tujuh, Masyarakat mempunyai peran untuk dapat melakukan perubahan secara bersama-sama dan kolektif terhadap semua hal.
Dalam kehidupan manusia, agama mempunyai peran penting sebagai standar moralitas tertinggi. Agama juga berperan dalam kehidupan public sebagai identitas agama dan identitas politik. Dalam tata dunia baru munculnya kekuatan ekonomi, juga diiringi dengan semakin menguatnya pembentukan identitas yang berdasarkan etnis dan agama. Agama di dunia barat secara umum merupakan hal yang baik yang terpisah dari kehidupan politik, namun sebaliknya didalam masyarakat non barat seringkali menyatukan agama dengan nasionalisme untuk memunculkan krisis politik. Pola penyatuan agama dengan nasionalisme telah membangun “keakuan” terhadap simbol-simbol yang sangat krusial dan sering merujuk pada simbol agama.

[1] www.wikipwdia.com identity politics, diakses pada tanggal 11 Januari 2007
[2] Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi social: Psikologi kelompok dan Psikologi terapan, Jakarta, Balai Pustaka, 2001 hal 22-23
[3] Madan Sarup, Identity, Culture and Post modern World, Eidenburgh University Press
[4] Kwame Anthony Appiah, The Politics of identity, Deadalus: Fall 2006;134,4; Academic Research Library, Pg. 15
[5] Ibid
[6] Ibid, Hal. 19
[7] Ibid, hal.19
[8] Amy Mullin; Book Review : “ Private Selves, Public Identities: Reconsidering Identity Politics. By Susan J Hekman, University Park: Pennsylvania State University Press. 2004 Pg. 205.
[9] Ibid. hal 206
[10] Ibid, Hal. 22

No comments: