Tuesday, December 23, 2008

ISLAM SEBAGAI AGAMA PUBLIK

Oleh :
Lusi Andriyani.,SIP.,M.Si

Secara teologis, Islam adalah sistem nilai dan ajaran yang bersifat Illahiah. Namun dari sudut sosiologis, Islam merupakan fenomena peradaban, budaya dan realitas sosial dalam kehidupan manusia[1]. Dengan demikian Islam mengandung doktrin dan ajaran yang bersifat universal dan selalu mengikuti perubahan sosial. Islam sebagai agama dan sistem nilai yang bersifat transeden atau Illahiah telah banyak membantu bagi para penganutnya dalam memahami realitas dan membangun pandangan hidup. Dapat dikatakan bahwa antara pandangan dunia yang berasal dari para penganut Islam dengan fenomena sosial selalu terjadi dialektika dimana Islam dalam realitas sosial dapat berperan menjadi subyek yang mendominasi dan menentukan perkembangan sejarah namun disisi lain Islam juga berperan sebagai obyek yang mendapatkan tekanan dari kekuatan dan faktor lain[2]. Faktor inilah yang mewarnai aktualisasi Islam dalam bentuk pembaharuan.
Secara historis, Islam di Indonesia dipandang sebagai agama yang dibangun di atas landasan kedamaian dan toleransi. Suatu ciri khas ajaran agama Islam adalah keyakinan bahwa agama Islam itu suatu cara hidup yang lengkap dan menyeluruh[3]. Pada abad ke 20 negara-negara Islam termasuk Indonesia sedang mengalami tantangan yang cukup besar baik dalam bidang politik maupun sosial. Upaya untuk membebaskan diri dari kolonialisme, membentuk dan mengembangkan negara bangsa merupakan interaksi terus menerus antara ajaran Islam dan gerakan-gerakan perubahan. Walaupun Islam telah diakui sebagai sebuah kekuatan yang signifikan, namun kekuatan dan interaksi Islam dalam pembaharuan sosial dan politik seringkali tidak mendapatkan perhatian.
Namun gerakan Islam yang diusung oleh Amin Rais dan Gus Dur dengan Muhammadiyah dan NU-nya telah mampu tampil diruang publik tidak dengan wajah sektarian dan kepentingan-kepentingan primordialnya, namun muncul dengan bahasa-bahasa publik guna memperjuangkan kepentingan-kepentingan bersama seluruh warga negara. Dua organisasi ini telah berhasil menjadi agama publik yang mampu menghidupkan modal sosial keagamaan dengan tujuan-tujuan publik dalam sebuah tatanan kenegaraan sekuler.[4] Dan hanya sebagai agama publik (Islam Publik) akan dapat merealisasikan spirit Islam sebagai Rahmatan lil alamin dan bukan hanya sebagai alat bagi kepentingan politik sesaat bagi para pemimpinnya.[5]
Fenomena menguatnya Islam juga dikemukakan oleh Michael C Hudson yang menyatakan bahwa kebangkitan Islam memperjelas masalah ketidakcocokan yang mendasar antara keinginan yang tampak pada banyak orang Islam (yang berpendapat bahwa perkembangan politik tidak mungkin terjadi tanpa Islam) dan ajaran konvensional dalam ilmu sosial barat yang mengatakan bahwa Islam paling-paling hanya merupakan hambatan bagi perkembangan politik[6]. Pandangan barat seperti itu berakar dari berbagai pemahaman mengenai adanya bias kebudayaan yang negatif. Bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam, keterlibatan agama dalam merespon berbagai masalah kehidupan sosial semakin jelas dan signifikan dengan menjadikan agama sebagai sumber legitimasi terhadap berbagai masalah yang dihadapi pemeluknya. Dalam konteks ini, interaksi antara Islam dan berbagai masalah aktual bukan sebagai produk sejarah yang telah selesai, melainkan suatu proses yang berkelanjutan.[7]
Meskipun doktrin serta mazhab radikal selalu ada dalam setiap penyebaran nilai-nilai Islam, namun pengaruh mereka relatif terbatas karena perbedaan dalam wacana internal Islam. Sepanjang sejarah pemikiran Islam yang pasang surut relatif telah membentuk elemen radikal yang cukup moderat, yang secara pragmatis mengakui keberadaan sistem pluralistik yang menjadi dasar berdirinya negara Indonesia. Menurut Clifford Geertz dalam pemikiran Islam terdapat sikap adaptif, menyerap, pragmatis, bertahap, agak kompromistis, setengah menyetujui, dan cenderung menghindar. Islamisme yang muncul dari konfigurasi pemikiran-pemikiran tidak berpretensi untuk memurnikan, melainkan sebagai upaya mewujudkan keutuhan[8].
Keragaman internal dalam Islam menyulitkan terbentuknya representasi Islam yang satu serta memberi mekanisme bawaan bagi upaya moderasi Islam. Dengan kondisi seperti itu terbuka lebar kemungkinan untuk mentransendensikan perbedaan-perbedaan dalam segi agama dan budaya, memperlunak perbedaan-perbedaan itu dan menjadikannya berada pada batas toleransi tatanan yang beradab. Dalam kondisi seperti itu, penciptaan agama publik dimungkinkan, dengan mengupayakan kehadiran negara yang netral yang mampu melindungi setiap ekspresi dan komunitas keagamaan[9].
Gagasan bahwa Islam secara tradisional mendominasi ruang publik masyarakat Muslim, juga berarti bahwa Islam sekaligus menjadi subjek dan objek wacana. Islam seringkali dipilih sebagai medan pertempuran persaingan politik dari berbagai kepentingan yang memakai selimut simbol-simbol Islam. Tidak ada elemen, atau aktor, di ruang publik negara-negara Muslim yang bebas dari aplikasi dan persaingan pengguna simbol-simbol keagamaan[10]. Karena itu, Prof MC Ricklefs menyatakan perlunya melihat tiga masalah utama dalam memahami pergulatan antara agama dan politik: Pertama, hilangnya pemahaman atas sejarah.
Kedua, konsentrasi yang berlebihan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan isu-isu elitis, khususnya yang bersifat Jakarta sentris. Ketiga, simplifikasi terhadap identitas keagamaan, yang biasanya hanya membuat kutub bipolar: ekstremis di satu sisi dan moderat di sisi lain[11].
Pada tataran ini agama mempunyai peran yang sangat penting dalam kegidupan publik. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan jargon-jargon serta simbol-simbol dari partai politik yang membawa agama kewilayah publik. Dengan demikian agama telah menjadi ruh dari gerakan sosial dan politik. Fenomena spiritualitas, terorisme dan munculnya gerakan Islam fundamentalis seperti Jamaah Islamiyah merupakan bentuk ekspansi agama keruang publik pada tingkatan global. Dan modernitas yang dianggap sebagai upaya untuk mengakhiri kekuasaan agama justru menjadi titik balik kebangkitan agama modern.[12]
Untuk melihat peran agama dalam kehidupan publik perlu diketahui terlebih dahulu aspek-aspek yang berperan di ranah privat dan aspek-aspek yang berperan diranah publik, Pada ranah privat dalam ajaran agama Islam dikenal dengan konsep hablun min al-Allah (hubungan personal dengan Tuhan) aspek yang meliputinya adalah aspek keyakinan, ritual dan peribadatan sebagai aspek yang sangat subyektif. Dalam wilayah publik, aspek yang berperan didasarkan atas konsep hablun min al-nas (hubungan sosial antara manusia) yang termasuk didalamnya adalah aspek moralitas, interaksi sosial, dan struktur masyarakat. Dalam ranah publik agama dapat berfungsi untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, pendidikan, kesehatan.
Permasalahan yang muncul dengan berperannya agama di ranah publik adalah dapat memunculkan sektarianisme atau praktik politik identitas.[13] Untuk itu agama yang berperan dalam ruang publik harus mampu mentransformasikan diri untuk dapat memberikan penyelesaian secara riil terhadap permasalahan yang ada dalam masyarakat. Agama harus diobjektivasi untuk terlibat dalam kehidupan publik, yang memungkinkan agama tidak tampil sektraian dan diskriminatif. Sehingga dirung publik agama harus menggunakan bahasa publik.[14]

[1] Dr. Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, Paramadina,1996, hal i
[2] Ibid, Hal ii
[3] John L.Esposito, Identitas Islam Pada Perubahan Sosial Politik, Jakarta, Bulan Bintang, 1986, hal.3
[4] http://www.isaf.org. Iqbal Hasanuddin, Sekulerisme dan Revitalisasi Islam Publik, diakses Nopember 2007
[5] Ibid, http://www.isaf.org.
[6] John L.Esposito, Identitas Islam Pada Perubahan Sosial Politik, Jakarta, Bulan Bintang, 1986,hal.4
[7] Dr.H.Abuddin Nata, MA, Problematika Politik Islam di Indonesia, Jakarta, Grasindo,2002, hal.ix
[8]http://zulfikri.wordpress.com, Yudi latif, Mewujudkan Misi Politik Agama Publik Melampaui Pemikiran Islam Liberal, diakses tanggal 21 Nopember 2007
[9]loc.cit, Yudi latif, Mewujudkan Misi Politik Agama Publik Melampaui Pemikiran Islam Liberal, diakses tanggal 21 Nopember 2007
[10] Ibid
[11] http//kompas.com, Zuhairi Misrawi, Kehidupan Beragam; Multiekspresi keberagaman, diakses tanggal 21 Nopember 2007
[12] http://www.isaf.org.M.Dawam Rahardjo, Agama diranah public, diakses Nopember 2007
[13] ibid, http://www.isgaf.org. M.Dawam Rahardjo.
[14] Ibid, http://www.isgaf.org M.Dawam Rahardjo.

GLOBALISASI DAN PELAKSANAAN GOOD GOVERNANCE DI INDONESIA

(Studi Tentang Optimalisasi Peran DPRD Dalam Mewujudkan
Akuntabilitas Politik Lokal)

Oleh : Lusi Andriyani.,SIP.,M.Si

1. Latar Belakang Masalah
Indonesia digambarkan sebagai negara yang sedang mengalami proses demokratisasi, desentralisasi dan swastanisasi. Perubahan yang “Blurr” serempak dan menyeluruh telah dirasakan seiring dengan proses demokratisasi tersebut. Tidak bisa dipungkiri bahwa ide demokrasi berjalan seiring dengan globalisasi dan liberalisasi. Sehingga ketika ide demokrasi telah diterapkan secara tidak langsung ide globalisasi dan liberalisasi telah menyertainya. Perubahan yang bersifat global dan menyeluruh tersebut juga berpengaruh pada sector privat dan public.
Pemilihan Umum tahun 2004 mempunyai format yang berbeda daripada pemilihan umum tahun sebelumnya. Dalam pemilihan umum sekarang, masyarakat dapat memilih wakilnya langsung yang ditunjukkan dengan mencoblos tanda gambar partai dan juga mencoblos nomor urut wakil yang diinginkannya. Pola semacam ini memberikan keterbukaan dan kebebasan kepada masyarakat untuk menentukan wakil yang duduk dilembaga perwakilan rakyat.
Dengan model seperti ini diharapkan wakil yang duduk dilembaga perwakilan rakyat dapat mewakili rakyat yang memilihnya, sehingga aspirasi yang akan disampaikan oleh anggota dewan yang terpilih tersebut merupakan keinginan rakyat yang sesungguhnya. Dengan pemilihan wakil rakyat secara langsung juga mencerminkan kedekatan antara wakil rakyat dengan mereka yang diwakilinya secara emosional.
Kedekatan emosional masyarakat dengan wakilnya yang duduk dilembaga DPR akan membawa konsekuensi pada tingkatan yang lebih mendasar yaitu tentang penilaian masyarakat terhadap perilaku sehari-hari wakil yang mereka percayai. Penilaian masyrakat dapat mempengaruhi pada pilihan rakyat untuk pemilu yang akan datang bahkan hal tersebut akan berpengaruh pada berkurangnya kepercayaan pemilih terhadap wakil yang akan dipilih. Sifat selektif masyarakat untuk memilih wakil mereka berlangsung secara alamiah dan terbentuk melalui informasi-informasi yang mereka dapatkan baik melalui berita ataupun perbincangan-perbincangan lain.
Sorotan tentang perilaku anggota dewan yang tidak proporsional melalui media massa seperti ketidak hadiran dewan dalam rapat, anggota dewan yang sering melakukan jalan-jalan atau plesir, anggota Dewan yang mempunyai perkara dipengadilan, dan permasalahan lain yang diinformasikan melalui media massa akan berpengaruh pada kepercayaan masyarakat. Perilaku anggota dewan sebagai wakil rakyat yang tidak mencerminkan kepribadian yang baik akan menyebabkan masyarakat kecewa dan merasa dikhianati. Kekecewaan masyarakat akan berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat.
Bukti nyata bahwa masyarakat semakin selektif terhadap anggota dewan sebagai wakil mereka dapat dilihat dari adanya demonstrasi yang dilakukan oleh rakyat pada saat pelantikan anggota Dewan pada tahun 2004 lalu. Hal ini menggambaran ketidak setujuan rakyat terhadap wakilnya. Bahkan mereka juga tidak menaruh harapan terhadap wakil yang terpilih tersebut. Tindakan protes rakyat tersebut didasari dengan kenyataan bahwa sebanyak 323 anggota DPR/D baru merupakan tersangka tindak pidana korupsi. Tercatata juga 20 kasus korupsi yang dilakukan oleh anggota Dewan, 15 diantaranya telah ditindak lanjuti, tetapi ada juga kasus yang di SP3 –kan (Surat Perintah Pemberhentian Penyelidikan) namun ada pula yang diberhentikan tanpa adanya SP3, seperti kasus Gorontalo dan Semarang[1] .Dari gambaran kasus di atas dapat dilihat bagaimana perilaku anggota Dewan yang tidak proporsional dengan jabatan mereka, dimana anggota dewan sebagai wakil rakyat yang memperjuangkan aspirasi masyarakat dan abdi masyarakat ternyata hanyalah Nouveau Riche (Orang kaya baru), dengan melihat fasilitas yang diberikan pada saat pelantikan, saat menjabat dan pada saat mengakhiri jabatan selalu tidak jauh dari uang. Contohnya yang terjadi pada saat pelantikan DPRD Jawa barat yang menghabiskan dana 1,55 miliar. Dimana pada saat menjabat para anggota dewan mendapatkan gaji 9-10 juta perbulan, rumah dinas, juga honor untuk mengesahkan rancangan perda sebesar 3,6 juta untuk satu rancangan walaupun dalam melaksanakan tugasnya jauh dari profesiobalisme. Dan pada saat mereka mengakhiri jabatan mendapatkan uang 33 miliar yang dibagikan kepada 100 anggota dewan serta permintaan untuk fasilitas mobil dinas Hyundai accent. [2] Tidak dapat dibayangkan apabila kondisi wakil rakyat yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan berfoya-foya pada saat kondisi keuangan Negara sedang surut akan terpilih kembali.

2. Rumusan Masalah :
Dari latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah; Upaya-upaya apa yang dilakukan dalam optimalisasi peran DPRD dalam melaksanakan akuntabilitas politik local?

3 . Tinjauan Pustaka
3.1 Penelitian Terdahulu
Hasil penelitian yang mendukung penelitian ini adalah :
a. Yusuf Hidayat (2003;69) melakukan penelitian dengan judul “Wacana Demokrasi: Prespektif elite lokal Surabaya”. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengungkapkan tema-tema yang berkembang diseputar transisi demokrasi merupakan wacana yang terbangun dalam interaksi baik kelembagaan maupun interaksi sosial. Dengan mengambil informan dari kalangan generasi muda dan mahasiswa serta organisasi mahasiswa ekstra kampus seperti IMM, HMI, GMNI, PMII, KAMMI, GMKI. Dari hasil penelitian tersebut dihasilkan beberapa pandangan tentang demokrasi, pandangan pertama melihat demokrasi dalam nilai umum; di sampaikan oleh aktivis Muhammadiyah yang melihat bahwa demokrasi akan berjalan kalau orang yang bermain mau bersikap terbuka dan jujur menghargai pendapat orang lain dan mampu bersikap toleransi, tanpa itu demokrasi tidak akan berjalan. Disamping itu manusia mengalami keterbatasan dan kekurangan sehingga perlu adanya aturan yang jelas supaya lembaga wakil rakyat benar-benar sesuai dengan aspirasi masyarakat. Aktivis PDI-P yang melihat demokrasi dalam tatanan mekanisme pemilu sehingga menghasilkan wakil rakyat. Ketika rakyat itu merasa terwakili suara oleh wakil rakyat, sebetulnya sudah ada demokrasi. Aktivis PMMI berpendapat bahwa demokrasi jangan berhenti sampai pada pemilu tetapi dilanjutkan sampai pada pengambilan kebijakan yang tetap berlandaskan demokrasi. Pandangan kedua, Melihat demokrasi dalam konteks proses; demokrasi dipandang sebagai suatu proses melalui tahap-tahap, adaptasi-adaptasi dan perlu waktu. Pandangan ketiga melihat pentingnya aturan moral. Bagi aktivis KAMMI dan ICMI proses demokrasi akan mulus ketika orang yang bermain disertai dengan etika yang santun. Menurut ICMI demokrasi harus dibingkai dengan aturan agama.

b. Soetomo (2005) melakukan penelitian dengan judul “Perilaku Anggota Legislatif Dalam Rekrutmen Politik (Studi Tentang Perilaku Anggota Legislatif Dalam Pemilihan Gubernur Jawa Timur Periode Tahun 2003-2008)”. Penelitian tersebut di latarbelakangi dengan adanya perubahan posisi dan peran anggota legislatif yang cenderung tidak diikuti dengan sikap dan perilaku yang positif sebagai wakil rakyat. Anggota Legislatif yang seharusnya menjadi pengawas malah menjadi agen bahkan bertindak korupsi. Tujuan penelitian ini untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai perilaku anggota Legislatif didalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur serta untuk memahami faktor-faktor yang memepengaruhi perilaku anggota legislatif di dalam pemilihan Gubernur dan wakil gubernur di Jawa Timur sebagi rekomendasi didalam menyusun kebijakan puiblik tentang rekrutmen kepala daerah. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan emik dan etik yang menurut Moleong pendekatan ini berusaha untuk memahami suatu fenomena dengan berangkat dari titik pandang dari dalam yang artinya peneliti menggali dat dari informan-informan dengan teknik yang dapat menunjukkan, menjelaskan dan mengungkapkan pengalamannya sesuai yang dirasakan, dialami dan di jalankan dengan subyek penelitian anggota DPRD Jawa Timur yang berfokus pada perilaku anggota DPRD Jawa Timur didalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur Tahun periode 2003-2008. Informan dalam penelitian ini adalah ketua panitia pemilihan Gubernur, Ketua DPRD, Ketua Fraksi DPRD, Ketua Partai Politik pemenang pemilu, Anggota fraksi yang representative dalam memberikan respon terhadap pemilihan Gubernur Jatim, Anggota legislative yang memberikan keterangan tentang perilaku menyimpang dari beberapa anggota legislative, kelompok kepentingan, tokoh masyarakat. Hasil penelitian menyebutkan bahwa perilaku anggota legislative di dalam pemilihan Gubernur di masa reformasi cenderung lebih demokratis, terbuka dan lebih bersifat pragmatisme karena besarnya tuntutan, baik tuntutan pribadi maupun tuntutan partai. Sifat pragmatisme ini yang mendukung perilaku anggota legislative dalam melaksanakan pemiliha gubernur diwarnai dengan fenomena pembelotan, karantina, baiat, cukur gundul dan politik uang. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku anggota legislative tersebut adalah pribadi actor, opini masyarakat, keputusan partai, profil calon Guibernur, system pemerintahan yang sedang berjalan serta tata tertib pemilihan Gubernur.

c. Sutaat (2004), melakukan penelitian dengan judul “Perspektif legislative tentang pembangunan kesejahteraan social di daerah”, penelitian ini dilaksanakan di tujuh propinsi, yakni Sumatra utara, DKI Jakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulasesi Utara, Nusa Tenggara Barat dan Papua. Responden penelitian adalah anggota DPRD kota dan Kabupaten periode 1999-2004, terutama anggota komisi E . Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah repsonden diperkenalkan dengan konsep, kebijakan dan beberapa program bidang kesejahteraan social, secara umum mereka setuju dengan apa yang digariskan oleh Departemen Sosial. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan program adalah kesesuaiannya dengan kondisi local. Kendala yang dihadapi dalam pembangunan kesejahteraan social di daerah adalah belum memadainya kualitas SDM di daerah, diperlukan upaya pembinaan dan peningkatan kualitas SDM secara terus menerus. Berdasarkan beberapa temuan hasil penelitian ini, dikemukakan pula beberapa saran, antara lain perlunya sosialisasi dan dialog sesering mungkin antara departemen social dengan lembaga legislative dan eksekutif didaerah. Upaya dimaksud akan lebih berhasil bila disertai dengan publikasi berbagai produk kebijakan, program maupun panduan-panduan yang dapat dijadikan acuan oleh daerah dalam melaksanakan pembangunan kesejakteraan social di daerahnya.
d. Lembaga penelitian SEMERU (2002) dari hasil kegiatan pemantauan terhadap langkah nyata daeraah dalam mempersiapkan dan melaksanakan kebijakan desentralisasi OTODA. Laporan lembaga ini memaparkan analisis mengenai factor pendukung dan penghambat pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah yang diikuti dengan pemikiran tentang arah kebijakan untuk mewujudkannya secara lebih baik. Peneliti SEMERU telah mengunjungi 15 kabupaten dan 3 kota di 12 propinsi melalui 4 tahap kegiatan penelitian. Tahapan kegiatan penelitian anatara lain; tahap I; Studi persiapan desentralisasi dan otonomi daerah, TAhap II: Studi Otonomi daerah dan iklim usaha, Tahap III; Studi pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, TAhap IV; Studi dampak desentralisasi dan otonomi daerah atas kinerja pelayanan public. Salah satu penelitian SEMERU adalah tentang akuntabilitas DPRD, dari hasil tersebut diperoleh data bahwa banyak pihak sepakat kalau DPRD terpilih periode 1999-2004 adalah wakil rakyat yang paling sah. Disemua daerah sampel diaku ada perubahan penting dalam sikap sebagai anggota Dewan. Mereka lebih berani menyampaikan pendapat dan mau berdialog dengan masyarakat. Anggota Dewan juga mulai melakukan fungsi pengawasan terhadap kinerja eksekutif. Namun kritik atas kinerja anggota Dewan juga bermunculan antara lain : a) sengan makin kuatnya peran DPRD, anggota dewan menempatkan diri lebih tinggi, sehingga pihak eksekutif merasa disubordinasikan oleh DPRD. b) Diantara anggota Dewan masih ada yang terkesan tidak mau tahu bahwa mereka tidak tahu atau tidak menyadari kelemahannya. c) Anggota Dewan dinilai mengabaiakan rakyat. Mereka lebih mendahulukan kepentingan pribadi. JHal ini tercermin dari tuntutan anggota Dewan untuk selalu memperoleh peningkatan anggaran kesejahteraan. D) Di beberapa daerah ada yang tidak serius melaksanakan tugasnya dan mengabaikan disiplin. E) Di beberapa kabupaten atau kota kebanyakan anggota Dewan hanya memiliki pendidikan formal dan pengalaman politik yang terbatas. F) Berkembangnya kasus money politik yang melibatkan anggota DPRD di banyak daerah.


e. Laporan IRDA (Indonesia Rapid Decentralization) dari The Asia Foundation (2002).
IRDA bertujuan untuk memberikan umpan balik bagi perkembangan desentralisasi sehingga penyesuaian ekebijakan public dapat dilakukan untuk mengarahkan usaha-usaha menuju visi otonomi daerah. Topik yang dijadikan penelitian adalah Akuntabilitas, transparansi, partisipasi masyarakat, pelayanan public, reorganisasi, pelimpahan dan pengembangan kemampuan, masalah fiscal, hubungan antar pemerintah dan konsep otonomi serta isu-isu yang bertentangan lainnya. Dalam penelitin tersebut ditemukan data bahwa ada kecenderungan positif yang dibawa oleh otonomi daerah adalah kesadaran yang semakin besar diantara masyarakat bahwa mereka sebenarnya merupakan bagian dari kepemerintahan. Sebagian respon terhadap hal tersebut terdapat peningkatan apresiasi diantara pemerintah daerah atas pentingnya partisipasi masyarakat dengan mengadakan media intermediasi bagi keterlibatan warga dengan melaksanakan dengar pendapat public. Berkembangnya forum warga sebagai indikasi pemerintah daerah menghargaio dan menfasilitasi partisipasi masyarakat didalam kepemerintahannya.


3.2 Kerangka Teori :

People Centered Development Paradigm: Sebuah Pendekatan Pembangunan Kualitas Manusia
Paradigma baru pembangunan dalam system pemerintahan yang sering disebut sebagai Good Governance menuntut setiap pejabat untuk mempertanggungjawabkan setiap sikap, perilaku dan kebijakannya kepada publik di dalam bingkai wewenang dan tanggungjawab kepada rakyat. Mekanisme tanggungjawab ini merupakan media control rakyat terhadap pemerintah ataupun birokrasi. Pertanggungjawaban juga merupakan cermin pemerintah dan birokrasi di dalam menjalankan tugas dan fungsinya secara demokratis.[3]
Pembangunan kualitas manusia sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, baik dan berwibawa. Pembangunan kualitas manusia merupakan upaya untuk meningkatkan kapasistas individu dan masyarakat suatu bangsa untuk dapat secara aktif menentukan masa depannya sendiri. Kapasitas individu dan masyarakat didalam menentukan keputusannya sendiri mencakup lima aspek antara lain:
1. Kapasistas untuk berproduksi
2. Kapasitas pemerataan
1. Kapasitas pemberian keleluasaan dan wewenang
2. Kapasitas keberlangsungan untuk berkembang
3. Kesadaran untuk interdependensi.
Oleh karena itu pembangunan kualitas manusia pada dasarnya merupakan upaya untuk mengembangkan inisiatif yang kreatif dari penduduk sebagai sumber dasar pembangunan yang utama dalam kerangka mencapai kesejahteraan material dan spiritual[4].
Ada empat aspek yang terkandung didalam pembangunan kualitas manusia sebagai upaya meningkatkan kapasitas mereka:
1. Pembangunan harus memberikan penekanan pada kapasitas (Capacity), kepada apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan kemampuan tersebut serta energi yang diperlukan untuk itu.
2. Pembangunan harus menekankan pada pemerataan (equity), Perhatian yang tidak merata pada berbagai kelompok masyarakat akan memecahkan masyarakat dan menghancurkan kapasitas mereka.
3. Pembangunan mengandung arti pemberian kuasadan wewenang (empowerment) yang lebih besar kepada rakyat. Pembangunan harus mengandung upaya peneingkatan wewenang kepada kelompok masyarakat yang lemah. Upaya untuk mengkoreksi keputusan-keputusan yang tidak adil tentang alokasi hanyalah dapat dilakukan apabila kelompok yang lemah mempunyai wewenang yang cukup besar.
4. Pembagunan mengandung pengertian kelangsungan perkembangan (suatainable) dan interdependensi diantara negara-negara didunia. Karena konsep kelangsungan dan kelestarian pembangunan, kendala sumber daya yang terbatas dan langka akan menjadi pertimbangan yang utama dalam upaya meningkatkan kapasitas.[5]

Berpijak dari konsep pembangunan kualitas manusia diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pembangunan kualitas manusia arah yang dituju adalah pemberdayaan (empowerment) pada diri manusia tersebut. Pemberdayaan pada hakekatnya merupakan suatu usaha untuk mengatasi ketidak berdayaan individu dan masyarakat, mengatasi adanya perasaaan impotensional-emosional dan sosial didalam menghadapi masalah dan meningkatkan kemampuan mengambil keputusan yang menyangkut dirinya sendiri dan memberi kesempatan untuk mengaktualisasikan diri .[6] Pemberdayaan merupakan upaya untuk meningkatkan pengembangan potensi atau daya individu dan masyarakat atas dasar aspirasi dan kebutuhan masyarakat sendiri yang bertumpu pada kemampuan dan perkembangan individu dan masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu untuk dapat memberdayakan sumber daya manusia mrnggunakan paradigma pembangunan yang bertumpu pada manusia (Humanizing Development Paradigm).
Paradigma pembangunan yang bertumpu pada manusia merupakan reaksi atas kegagalan dari paradigma pembangunan sebelumnya, yang lebih mengutamakan produksi dengan jargon Trickle down effect dan mengalami kegagalan. Kegagalan paradigma yang bertumpu pada produksi menimbulkan pemujaan pada paradigma baru yaitu paradigma yang bertumpu pada kesejahteraan (welfare oriented development). Paradigma ini menjanjikan peningkatan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial (social equity)[7]. Komitmen paradigma ini adalah melaksanakan sejumlah besar program yang akan mengantarkan buah pembangunan kepada sebagian terbesar anggota masyarakat dalam waktu yang sesingkat mungkin,melalui jalur yang selangsung mungkin,terutama sekali dengan cara meningkatkan akses kepada berbagai pelayanan publik dan penyuluhan.Pendekatannya adalah melalui pendisainan program yang memberi paket teknologi,sarana produksi (bibit,insektisida,pupuk,dan sebagainya),dana,logistik, dan system pemasaran serta subsidi yang diharapkan dapat mendorong masyarakat tumbuh dan sejahtera .
Paradigma yang bertumpu pada kesejahteraan ini mendapat kritikan tajam,karena paradigma ini memandang manusia sebagai objek pembangunan, dan sekaligus menciptakan ketergantungan masyarakat kepada pemerintah. Rakyat harus menyesuaikan diri dengan apa yang diberikan pemerintah (birokrasi). Sehingga partisipasi pembangunan yang muncul lebih merupakan mobilisasi dalam pelaksanaan program ketimbang pratisipasi dalam proses pembuatan keputusan.kritikan ini kemudian memunculkan paradigma baru yang tidak sekedar menempatkan manusia sebagai subjek pembangunan tetapi juga menempatkan manusia dalam strategis dalam proses pembangunan.Paradigma ini disebut paradigma pembangunan yang bertumpu pada manusia (people centered development paradigma).
yang menjadi pusat perhatian People centered development paradigm adalah perkembangan manusia (human growth), kesejahteraan (well being),keadilan (equity),dan keberlanjutan (sustainability). Logika yang mendasari dari paradigma ini adalah keseimbangan ekologis manusia, sumber–sumber pembangunan yang menekankan pada informasi dan prakasa yang kreatif manusia yang tak pernah habis, dan tujuannya yang utama adalah perkembangan manusia dalam arti aktualisasi yang optimal dari potensi manusia .[8]
Paradigma yang bertumpu pada manusia ini mempberikan peluang kepada setiap individu untuk beraktualisasi dan berperan sebagai subyek pembangunan yang menentukan tujuan masing-masing dan menguasai sumber-sumber serta mengarahkan proses dalam menentukan tujuan hidup mereka. Pemikiran mengenai orientasi pembangunan yang bertumpu pada manusia dijadikan dasar dalam pengelolaan sumber daya local yang diarahkan untuk menjawab tantangan pembangunan terutama yang berkaitan dengan kemiskinan, lingkungan hidup dan kurangnya partisipasi dari masyarakat dalam proses pembangunan.
Pola perwujudan dari people center development paradigm dalam melaksanakan pembangunan yang bertumpu pada manusia untuk mewujudkan empowerment kapasitas masyarakat local dapat digambarkan sebagai berikut :[9]
1. Pembangunan oleh dan untuk masyarakat
Manajemen pembangunan memandang bahwa pembangunan sebagai produk dari prakarsa dan kreativitas masyarakat, peran pemerintah hanya sebagai fasilitator dan menciptakan kondisi yang kondusif bagi kemungkinan masyarakat untuk dapat berkreasi dan memanfaatkan sumber-sumber yang ada di dalam masyarakat untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi.
2. Pokok pikiran community information planning system, dapat diwujudkan dengan “sharing”sumber daya terutama sumber daya informasi yang dimiliki oleh pemerintah daerah kepada masyarakat lokal. Aktivitas “sharing” sumber daya pengejawantahan dari prinsip pemerintahanan yang bersih, baik dan berwibawa, yaitu prinsip akuntabilitas, transparansi (transparency), dan keterbukaan. Mekanisme pemberdayaan ini dirancang dengan cara mempersempit gap sumber daya birokrasi dengan masyarakat , yaitu dengan cara membuka kesempatan masyarakat untuk melakukan pengamatan publik (public examination) terhadap lembeganya. Hal ini pihak birokrat harus terbuka dan transparansi (transparency) terhadap publik. Ini dimaksudkan agar supaya masyarakat mengetaui informasi tentang urusan-urusan lembaga birokrasi. Dengan kata lain, lembaga legistatif perlu memberi mandat kepada birokrasi agar melaporkan kepadanya, bukan semata-mata sebagai cara untuk mengetahui apa yang telah dilakukan birokrat, akan tetapi sebagai cara penyediaan informasi tentang aktivitas birokrasi kepada rakyat dan kelompok kepentingan (interest groups). Dengan dibaginya (sharing) informasi birikrat ini, memungkinkan masyarakat dapat lebih berdaya dalam menentukan masa depan pemerintahannya dan masa depannya sendiri secara lebih efektif
3. Lembaga legistatif perlu berbagi informasi dengan masyarakat atas apa yang mereka ketahui mengenai sumber daya potensial yang diperlukan birokrat kepada masyarakat, seperti keuangan, akses dengan pimpinan politik, informasi, dan kerjasama adalah sesuatu yang bernilai bagi. Semua sumber daya tadi dapat mempermudah masyarakat dalam melakukan kontrol birokrasi. Hubungan dekat dengan elit politik dapaty mempengaruhi lembeganya dengan menggunakan hubungan (connections) untuk mendapatkan anggaran, yuridiksi, latau barang yang diinginkan birokrat.Karenanya, masyarakat lebih berdaya dalam melakukan kontrol dan menentukan masa depan pemerintahnya sendiri.
4. Birokrat harus menjalin kerjasama dengan rakyat, yaitu dengan membuat program-programnya sesuai dengan apa yang diinginkan oleh mereka agar mereka tidak dihadapkan pada berbagai macam tekanan. Rakyat dapat melaporkan atas aktivitas yang dilakukan oleh birokrat. Informasi ini penting bagi birokrat, dan informasi ini dapat diolah sebagai ukuran kontrol. Bagaimanapun juga, strategi dengan memecah monopoli birokrasi mengenai informasi bisa jadi memperbesar efektivitas sumber daya tadi. Informasi tentang aktivitas birokrasi dapat memobilisasi rakyat yang sebelumnya apatis dengan menginformasikannya akibat, hasil, dan konsekuensi dari tindakan birokrsi, dan karenanya dapat digunakan pula sebagai sumber daya dalam melakukan pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Aktivitas ini sebagai penjewantahan dari oppeness dan transparancy dari unsir clean and good governance, dan poko pikiran dari manajemen komunitas (community management) yakni manajemen pengelolaan sumber daya lokal oleh satuan pengambilan keputusanyang menyangjut system alokasi sumber nasional.
5. Birokrasi membuka diri dengan masyarakat. Dengan dilakukan dialog ini memperkuat interaksi yang lebih besar antara birokrat dengan rakyat atau penjabat yang dipilih (elected official), dan dengan cara ini mempermudah melakukan konversi sumber daya yang diperlukan dalam melekukan kontrol. Mekanisme kontrol ini dibedakan menjadi 2 macam cara : Pertama, kontrol berasal dari pekerjaan lembaga kontro sendiri, dan Kedua,dengan membuat arena untuk berinteraksi, sehingga mekanisme kontrol memberikan kesempatan untuk mempengaruhi secara informal (informal influence) yang akan bisa mengarah ke rencana formal. Arena pertukaran sumber daya ini sebagai pengejawantahan dari nilai people center development paradigm yakni proses belajar sosial (social learning process). Yang dimaksud dengan proses belajar sosial adalah proses interaksi sosial antara anggota-anggota masyarakat dengan lembaga-lembaga yang ada yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan mereka melalui kegiatan-kegiatan pemecahan masalah (problem solving) yang seringkali dilakukan melalui “trial and error”. Peningkatan kemampuan ini tidak diperoleh melalui pendidikan formal,akan tetapi melalui partisipasi dan interaksi di dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan rencana. Dengan kata lain, mereka mengembangkan kemampuan mereka melalui, pengalaman mereka berinteraksi dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan tersebut. Untuk mempercepat proses belajar sosial ini perlu diupayakan agar proses ini merupakan suatu upaya yang sepenuhnya disadari dan terarah.
6. Nilai manajemen strategis (strategic management) berupaya untuk mengembangkan organisasi yang mampu beradaptasi dengan lingkungannya, menanggapi tuntutan lingkungannya. Manajemen strategis tidak berupaya untuk menguasai dan memprogram perilaku manusia, akan tetapi berusaha untuk mengembangkan prakarsa kreatif mereka untuk dapat memecahkan masalah yang yang mereka hadapi terejawantahan pada unsure accountability terutama responsinees dari clean and good governance. Nilai manajemen strategis ini dapat memberikan “empowering” anggota masyarakat dan anggota organisasi, agar mereka mampu mengaktulisasikan potensinya. Empowering (memberi power atau menempatkan power) anggota masyarakat dalam arti menumbuhkan kemampuan masyarakat untuk aktulisasi potensinya.

Berdasarkan gambaran di atas, kiranya tidak berlebihan jika disimpulkan bahwa desentralisasi, demokrasi, dan people development paradigm dapat mewujudkan manusia berkualitas, dan manusia berkualitas dapat mewujudkan keperintahan yang baik (good governance).

Good Governance
Kosep “governance” dalam ”clean and good governance”sebagaimana telah dikemukan pada bagian dua banyak masyarakat yang merancukan dengan konsep “government”. Konsep “governance” lebih inklusif daripada “government”. Konsep “government” menunjuk pada suatu organisasi pengelolaan berdasarkan kewenangan tertinggi (negara dan pemerintah).Konsep “governance” melibatkan tidak sekedar pemerintah dan negara, tapi juga peran berbagai aktor diluar pemerintah dan negara, sehingga pihak-pihak yang terlibat sangat luas [10]. Good dalam good governance menurut Lembaga Administrasi Negara mengandung dua pengertian. Pertama, nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat yang dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial. Kedua, aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efesien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Berdasarkan pengertian ini, LAN kemudian mengemukan bahwa good governance berorientasi pada :
1. Orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional
Orientasi ini mengacu pada demokratis dalam kehidupan bernegara dengan elemen-elemen konstituennya seperti: legitimacy (apakah pemerintah dipilih dan mendapat kepercayaan dari rakyatnya), accountability (akuntabilitas), scuring of human right, autonomy and devolution of power, dan assurance of civilian control.
2. Pemerintahan yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif, efesien dalam melakukan upaya pencapaian tujuan nasional.
Orientasi ini tergantung pada sejauh mana pemerintahan mempunyai kompetensi, dan sejauhmana struktur serta mekanisme politik dan admistratif berfungsi dan efisien.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan wujud good governance menurut LAN adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggungjawab, serta efesien dan efektif, dengan menjaga “kesinergisan” interaksi yang konstruktif di antara domain-domain negara, sector swasta dan masyarakat (society)[11]. Sistem kepemerintahan yang baik adalah partisipasi, yang menyatakan bahwa semua anggota institusi governance memiliki suara dalam mempengaruhi pembuatan keputusan. Hal ini meripakan fondasi legitimasi dalam system demokrasi. Produser dan metode pembuatan keputusan harus transparan (transparent) agar supaya memungkinkan terjadinya partisipasi efektif. Siapa saja yang dipilih untuk membuat keputusan dalam pemerintahan, organisasi bisnis dan organisasi masyarakat sipil (business and civil society organizations) harus bertanggungjawab kepada publik, serta kepada institusi “stakeholders”. Institusi governance harus efesien dan efektif dalam melaksanakan fungsi-fungsi, responsive terhadap kebutuhan rakyat,memfasilitasi (fasilitative) dan memberi peluang (enebling) ketimbang mengkontrol (controling), melaksanakan sesuai dengan peraturan perundangan.
Berdasarkan pada pengertian good governance diatas, dapat dikemukakan bebrapa karakteristik good governance antara lain :
1. Akuntabilitas:
Setiap pejabat publik harus bertanggungjawab dan mempertanggungjawabkan segala sikap, prilaku dan kebijakannya kepada publik dalam melaksanakan apa yang telah menjadi tugas pokok, fungsi dan kewenangan yang dimilikinya.
2. Tansparansi:
Didalam penyelenggaranan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik harus dilaksanakan transparansi baik mekanisme, prosedur maupun kebijakan yang sedang dan akan dilakukan.
3. Keterbukaan :
Adanya sebuah kewajiban bagi para pelaku penyelenggara pemerintahan, pembangunan dan pelayan publikuntuk menyampaikan secara terbuka.
4. Kerangka hukum. :
Para pelaku penyelenggara pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik harus berani bertanggungjawab dan mempertanggungjawabkan secara hukum tentang segala sikap, perilaku dan kebijakan yang telah dilakukan.
Menurut assosiasi pemerintahan lokal, ada sepuluh prinsip yang harus dimiliki untuk pelaksanaan Good Governance antara lain[12] :
1. Participation
2. Rule of law
3. Transparency
4. Equality
5. Responsivennes
6. Vision
7. Accountability
8. Supervision
9. Efficiency and effectiveness
10. Professionalism


Governance sebagai Mekanisme koordinasi social
(Social Coordination Mechanism) [13]

Definisi dari Governance akan semakin jelas apabila dipahami sebagai koordinasi social (Social Coordination). Koordinasi social mengacu pada pemecahan berbagai macam masalah melalui koordinasi terhadap interaksi dari berbagai aktor. Ada tiga tipe koordinasi social : Pasar (Market), Hirarki (Hierarkie), Demokrasi (Democracy). Menurut Beetham :[14]
Markets are arrangements which coordinate the actions of large numbers of people automatically, and on lateral basis …. Without infringing their freedom or requiring inequalities of the status. Hierarchies, by contrast, coordinate action vertically, via a structure of consciously exercised authority and compulsion, in which people’s status is by definition unequal.

Dengan demikian, pasar memandang koordinasi social melalui pertukaran pendapat, sedangkan hirarki lebih memandang koordinasi social melalui kewenangan politik. Demokrasi selalu membangun koordinasi dari setiap tindakan aktor melalui kewenangan politik. Namun hirarki mempunyai perbedaan dengan tindakan formal dari tindakan kewenangan politik. Dalam demokrasi selain bentuk hirarki, aktor mempunyai kedudukan yang sama dalam mengambil kebijakan dan tindakan dalam kehidupan kolektif dan mengkoordinasikan setiap tindakan mereka, dan tidak seperti pasar, yang membebaskan setiap aktor untuk melakukan tindakan yang mereka butuhkan.

Beberapa literature mengidentifikasi governance sebagai institusi atau proses yang menentukan kekuasaan siapa yang bermain atau diterapkan, bagaimana warga Negara memberikan suaranya, dan bagaimana sebuah keputusan dijadikan sebagai isu public. Semuanya dijadikan sebagai factor untuk mengidentifikasi koordinasi social. Governance adalah sebuah konsep nilai yang alamiah, dimana membantu untuk membandingkan sebuah variasi yang lebih luas dari mekanisme koordinasi social yang meliputi paradigma tradisional dari administrasi public. New Governance, dilain hal mengacu pada bentuk koordinasi social yang mempunyai observasi empiris dimana lebih mengacu pada pembentukan masyarakat menjadi lebih demokratis dan civil society yang lebih mampu dan berdaya atau kuat. New Governance dipahami sebagai bentuk normative yang menekankan pada bagaimana organisasi dan institusi menjadi governed.
New Governance merupakan bentuk dari koordinasi Social. New Governance membawa implikasi terhadap paradigma tradisional mengenai birokrasi administrasi dan tindakan praktis dari administrasi public. Masalah social menjadi lebih kompleks. Tindakan kerjasama atau koperatif diantara aktor menjadi hal yang wajib dilaksanakan untuk menyelesaikan masalah social, sebab tidak ada aktor tunggal yang dapat menyelesaikan masalah social begitu juga dengan bentuk pemerintahan yang terpusat. Dalam hal ini civil society menjadi lebih mampu untuk menyelesaikan permasalahan social. Dan untuk masa yang akan dating penyelesaian dari masyarakat sipil (civil society) terhadap pemasalahan social yang lebih kompleks akan menjadi sesuatu yang popular. Dan New Governance menjadi sesuatu yang lebih realistis dan menjadi alternative bagi administrasi public tradisional, dan menjadikan new governance menjadi lebih dominant sebagai type governance pada masa yang akan datang.









Governance, The New Governance and New Governance[15]
Governance in a Board sense (= social coordination)
Social coordination
by
political authority
Social coordination by
Voluntary exchange
· Bureucratic Administration
· Bureucratic Governance
· Hierarchical Governance


· NPM
· The New Governance
· Democracy administration
· Co-Governance
· Network Governance (Interactivel institutional)
· Shared Governance
· Co-Steering
· Self Governance
· Neo-liberal governance
· Competition Mechanism
· Network governance
· (instrumental)
· Steering

· Emphasizes:
- Hierarchical control
- Top down Management

Emphasizes :
- Inter organizational
- Expansion of democracy in political authority
Emphazises :
- Expansion of Voluntary
- Exchange reduction of political authority
Old Governance
New Governance
a) Darkly shaded cells including NPM denote new governance
b) Cells inside bold line denote the New Governance
c) Lighty shaded cells denote new policy tools of old governance, which also have the Characteristic similar to those of new governance






Daftar Pustaka



Engberg, Lars A. Some Problem Of Institusional Reform, 1995

Lee, Myungsuk, Conceptualizing the new governance: A new Institutionalof social coordination, Workshop polticak theory and political analysis, Indiana University, USA May 2002.

Mas’oed, Mochtar, Government and Governance.

Norris, Pippa, Giving Voice to the Voicelles, Good Governance, Human Development and Mass Communications, Harvard University Cambridge, 2001.


Foldvary, Fred, Government and Governance, Januari,1,1997

Wil Hout, Good Governance and The Political Economy of Selectivity, 2003

_____________, The Indonesian Experience, Introducing Good Local Governance, 2002

_____________, From Government to Governance: Reflections on The 1999 World Conference on Governance, 2003

_____________,Quo vadis DPR/D – Kejaksaan RI Pikiran Rakyat Cyber Media, Publikasi: 09/09/2004).

[1] Quo vadis DPR/D – Kejaksaan RI Pikiran Rakyat Cyber Media, Publikasi: 09/09/2004).

[2] Ibid
[3] Widodo, Joko,Good Governance: Telaah Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi.
[4] Ibid, Hal; 289
[5] Bryant Coralie & White Louise, Manajmenen Pembangunan untuk Negara Berkembang, 1987, LP3ES, Jakarta, hal.22
[6] Opcit, hal 290
[7] Tjokrowinoto Moeljarto, Perencanaan Pembangunan Daerah dan Nasional, Modul Kuliah, Program Studi Magister Administrasi, 1997, Untag 1945, Surabaya, Hal:218
[8] Ibid, hal: 218
[9] Ibid, Hal: 299-301
[10] opcit, hal: 295
[11] ibid, hal: 296
[12] ___________, Introducing good local governance, The Indonesian Experience
[13] Myungsuk Lee, Conceptualizing The New Governance: A New Institution of Social Coordination, Diseminarkan dalam Workshop Teori dan analisis politik, Indiana University,Bloomington, Indiana, USA, 3-5 Mei 2003.
[14] Ibid, Hal 11
[15] Op.Cit, Myungsuk Lee, Hal: 21

GLOBALISASI DAN MARGINALISASI NEGARA-NEGARA SEDANG BERKEMBANG

Oleh : Lusi Andriyani, SIP.,M.Si

Pendahuluan:
Pokok bahasan yang banyak dibicarakan pada saat ini adalah kehidupan di era baru, era global dengan kondisi yang serba “blur” disegala bidang baik di bidang ekonomi, politik, maupun budaya. Bahkan dalam era sejarah baru dimana ekonomi nasional, budaya nasional dan batas-batas kenegaraan sudah kehilangan makna dan luntur oleh sebuah proses “globalisasi” yang cepat dan baru[1]. Dalam bidang ekonomi lahirnya globalisasi yang masuk bersamaan dengan ide demokrasi dan liberalisme telah membangun wacana baru bahwa kita memang diharuskan untuk mengikuti aturan main yang sedang dibuat oleh negara-negara berkuasa di bidang ekonomi khususnya perdagangan seperti negara Amerika, Eropa dan Jepang.
Walaupun setiap orang merasakan dampak dan pengaruh globalisasi yang berbeda-beda namun, tidak bisa dipungkiri bahwa bidang ekonomilah yang paling menyentuh semua lapisan masyarakat. Orang bisa merasakan langsung akibat dari fenomena globalisasi. Masuknya barang-barang yang lebih murah seperti sepeda motor, mobil dan barang-barang lain ke negara-negara berkembang seperti Indonesia telah membawa dampak psikologis yang sangat berat bagi para produsen dalam negeri yang merasa tidak mampu bersaing dalam hal harga maupun upah tenaga kerja serta pasar mereka. Selain mudahnya barang produksi dari negara lain yang masuk ke Indonesia, masuknya tenaga kerja asing ke Indonesia juga membawa konsekuensi tersendiri bagi tenaga kerja Indonesia. Banyak sekali masyarakat yang akhirnya tidak bisa mendapatkan pekerjaan karena telah diisi oleh tenaga kerja asing.
Permasalahan ketenagakerjaan akibat globalisasi juga di gambarkan dalam laporan tertulis dari bank dunia seperti yang terpapar dibawah ini :
“cerita-cerita mengenai hilangnya integrasi sering menjadi headline: Bagaimana Joe kehilangan pekerjaan karena persaingan dengan orang-orang miskin Mexico seperti Maria, dan bagaimana upah dia (Maria) menurun karena adanya ekspor murah dari China. Tetapi Joe sekarang mempunyai pekerjaan yang lebih bagus, dan Ekonomi Amerika Serikat telah mendapat untung dengan adanya eksport yang meluas ke Mexico. Standard kehidupan Maria telah meningkat dan anaknya dapat mengharapkan masa depan yang lebih baik”[2].

Gambaran dari laporan bank dunia tersebut merupakan hal yang dipandang “utopis” namun dapat menjadi semangat bagi negara-negara sedang berkembang ataupun negara miskin[3] untuk dapat menerima ide globalisasi dalam segala aspek, khususnya apek ekonomi. Walaupun banyak sekali masyarakat yang pesimistis bahwa globalisasi akan mampu mempengaruhi ekonomi negara lain untuk lebih maju terutama dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya seperti yang telah tergambarkan pada cerita diatas. Yang ada justru fenomena penindasan dan marginalisasi dari negara-negara maju ke negara-negara yang sedang berkembang.
Globalisasi sebagai proses yang sistematis dan terencana mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam upaya untuk merombak perekonomian negara-negara sedang berkembang atau negara miskin. Peningkatan peran pasar di era global semakin memperkecil peran negara-negara yang sedang berkembang dengan kondisi ekonomi yang belum kuat untuk bersaing di era global. Semakin kecilnya peran negara-negara miskin atau negara-negara yang sedang berkembang telah menjadikan negara-negara maju lebih mudah untuk mengendalikan perekonomian yang berakibat pada semakin mudahnya negara maju untuk dapat mengintegrasikan perekonomian negara-negara miskin atau negara-negara sedang berkembang dalam rangkulan negara-negara kapitalis (negara dengan ekonomi yang kuat dan mapan). Dengan demikian dapat dilihat bahwa :
“ Bahaya globalisasi bagi negara-negara miskin pada dasarnya terletak pada kelemahan kemampuan sebuah pemerintah dalam melindungi kepentingan negara dan rakyatnya, dimana meningkatnya ketergantungan perekonomian negara-negara miskin terhadap pemenuhan kepentingan para pemodal negara-negara kaya”[4].

Dengan semakin tergantungnya negara miskin terhadap negara kaya, maka menyebabkan perubahan pada fungsi pemerintahan dari perlindungan menjadi fungsi pelayanan bagi kepentingan negara-negara kapitalis.

Konsep Globalisasi Ekonomi :

Fenomena era global dan transnasional tergambar pada term “globalisasi” merupakan paradigma baru bagi setiap negara di dunia. Konsep globalisasi yang mulai dikembangkan pada tahun 1985 tengah menarik perhatian banyak kalangan untuk dianalisa. Globalisasi[5] merupakan istilah yang mempunyai hubungan dengan semakin meningkatnya keterkaitan ataupun ketergantungan antar bangsa dan antar manusia. Hal yang digembar-gemborkan para ekonom, sosiolog, para guru manajemen, wartawan dan politisi borjuis yang dijelaskan bahwa kita saat ini hidup dalam era sejarah baru dimana ekonomi nasional, budaya nasional dan batas-batas kenegaraan sudah kehilangan makna dan luntur oleh sebuah proses globalisasi yang cepat dan baru.[6] Globalisasi sering diartikan sebagai penyusutan ruang dan waktu yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang mencerminkan peningkatan interkoneksi dan interdependensi social, politik, ekonomi dan kultural dalam skala global[7].
Konsep globalisasi muncul dari berbagai macam pandangan antara lain dari segi social agama, social budaya, ekonomi dan dari segi politik. Dari segi Ekonomi, Menurut Tonelson seorang ahli ekonomi, globalisasi adalah hubungan integrasi pasar[8] di tingkat internasional yang ditandai oleh perkembangan masuknya berbagai barang di pasaran internasional di seluruh dunia[9]. Globalisasi menurut Stiglitz (Mantan economist Bank Dunia) merupakan sebuah kerjasama bilateral yang sebetulnya lebih menguntungkan dibandingkan multilateral, kawasan, atau antar kawasan. Perdagangan secara bilateral yang terjadi atas dasar kebutuhan dan saling menguntungkan akan lebih baik karena bukan berlandaskan kerjasama yang dipaksakan atau didekte[10]. .
Pandangan lain mengenai konsep globalisasi sendiri juga dikemukakan oleh perdana Menteri Malaysia Mahatir Mohammad[11] sebagai standar ganda (double standard)[12] untuk menilai globalisasi dan pengaruhnya terhadap negara-negara miskin[13]. Sedangkan menurut pendapat Strange, globalisasi adalah suatu fase kehidupan yang membawa perubahan yang tidak menentu[14]. Dari pemahaman konsep globalisasi diatas, dapat diketahui beberapa ciri[15] globalisasi diantaranya adalah : Pertama,Globalisasi dimaknai sebagai perubahan dalam konsep ruang dan waktu. Kedua, Globalisasi dimaknai dengan ciri-ciri adanya peningkatan interaksi cultural melalui perkembangan media massa. Ketiga, globalisasi dimaknai dengan cirri semakin meningkatnya masalah bersama.
Globalisasi muncul sebagai fenomena baru pada abad 20 yang dihubungkan dengan adanya kebangkitan ekonomi internasional. Sebenarnya hubungan antar bangsa yang dilakukan melalui perdagangan sudah dijalankan sejak abad yang lalu ketika manusia mulai mengenal adanya perdagangan antar negara sekitar tahun 1000-1500M[16]. Perkembangan berikutnya ditandai dengan adanya dominasi pedagang Islam yang membangun jaringan perdagangan[17] dengan disertai misi untuk menyebarkan agama serta nilai-nilai Islam.
Dalam perkembangan berikutnya globalisasi ditandia dengan semakin besarnya peran bangsa Eropa untuk mengembangkan dan mengupayakan memaksimalkan sumberdaya yang ada melalui kolonisasi di negara-negara subur terutama yang kaya akan rempah-rempah. Pada masa ini didukung dengan industrialisasi yang memunculkan pola ketergantungan negara-negara lemah secara ekonomi terhadap negara-negara maju. Industri yang semakin berkembang membangun pola konsumtif dari masyarakat dan berpengaruh terhadap kebutuhan akan bahan baku. Fenomena tersebut telah mendorong munculnya perusahaan multinasional yang berupaya untuk menyediakan bahan baku yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Perkembangan perjalanan globalisasi semakin mendapatkan tempat dan psosisi yang strategis setelah berakhirnya perang dingin sebagai simbol runtuhnya ideologi komunis dan semakin membuka peluang yang sangat luas terhadap perkembangan ideologi kapitalis yang dipandang sebagai jalan terbaik untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Bahkan sejak krisis ekonomi yang melanda Asia Tenggara pada tahun 1997 dan 1998 mulai banyak dikembangkan wacana dan diskusi mengenai globalisasi dan anti kapitalisme. Pemahaman kapitalis[18] sebagai ideology dan jalan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat telah membawa implikasi psikologis terhadap negara-negara yang sedang membangun dan membentuk kesadaran semu akan kesediaan negara-negara miskin untuk menerima ideology tersebut.
Teori globalisasi menyatakan bahwa perubahan-perubahan baru dalam sistem ekonomi yaitu sebagai pembuka bagi ekonomi negara-negara kepada pasar atau antar bangsa yang akan membawa kebahagiaan bagi semua orang dan akan memperbaiki kehidupan semua orang terutama golongan miskin di negara dunia ketiga[19].

Globalisasi dan Marginalisasi Negara-Negara Sedang Berkembang :
Globalisasi yang semakin menguatkan peran dari negara-negara yang mapan secara ekonomi seperti Amerika Serikat dan Eropa serta Jepang memberikan penegasan bahwa ide globalisasi hanya menguntungkan beberapa pihak saja. Perusahaan-perusahaan yang berkembang diduniapun banyak yang bermarkas di ketiga negara tersebut. Menurut laporan Investasi Dunia 1993 yang diterbitkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ada 37.000 perusahaan transnasional yang memiliki 170.000 anak perusahaan di luar negeri. 90% dari perusahaan-perusahaan transnasional tersebut berkantor pusat di negara-negara maju[20]. Kenyataan ini telah membangun pola bahwa investasi yang ada di seluruh dunia dengan pelaku bisnis utama dari negara-negara maju dilakukan dengan tidak merata. Seratus perusahaan transnasional di dunia memiliki sepertiga dari modal tersebut dan 60% investasi yang dilakukan berhubungan dengan manufaktur sebesar, jasa 37% dan bahan mentah, tambang dan pertanian sebesar 3%. Dari inventasi tersebut apabila dipandang secara geografis juga masih didominasi oleh negara-negara kapitalis maju diantaranya Amerika, Eropa Barat dan Jepang. 60% dari investasi internasional mengalir diantara “Trio” imperialis Amerika Utara, Eropa BArat dan Jepang. Dan sisanya 40% dari aliran investasi langsung luar negeri –sekitar US$ 34 Milyard di tahun
[1] Doug Lorimer, “Globalisasi, Neo-Liberalisme dan Dorongan-dorongan kemunduran ekonomi kapitalis”, Jurnal Kiri
[2] Ibid.
[3] Istilah negara miskin merupakan penggambaran negara-negara yang mempunyai perekonomian tidak bagus. Bahkan negara miskin bayak digunakan sebagai sebutan bagi negara-negara yang sedang berkembang. Sepeti yang digunakan oleh Efendi HAsan dalam artikelnya yang berjudul “ Benarkah Globalisasi merupakan suatu konsep penjajahan baru yang dikembangkan oleh negara-negara kapitalis untuk menjajah negara miskin?” dalam file:/E\data\opini_efendi_hasan280507, 8 Juni 2007
[4] file:/E\data\opini_efendi_hasan280507, 8 Juni 2007
[5] Dalam banyak hal globalisasi mempunyai banyak karakteristik yang sama dengan internasionalisasi, dan istilah ini sering di pertukarkan. Dalam www.wikipedia.com
[6] Doug Lorimer (Anggota Executive Commite Democratic Socialist Party Australia), Globalisasi, neo liberalisme dan dorongan-dorongan kemunduran ekonomi kapitalis, Jurnal kiri, Situs indo-Marxist
[7] http://lafadl.atspace.org/infolafadl/buku/globalisme.html
[8] Ekonomi dunia sekarang didominasi oleh perusahaan-perusahaan yang telah menginternasionalisasikan aktivitas mereka untuk perluasan , membawa produksi dan penjualan kebanyak negara , dimana perusahaan tersebut tidak mempunyai kesetiaan terhadap suatu negara-bangsa secara khusus dan akan menempatkan investasi dan operasi mereka dimanapun dalam pasar global dimana mereka bisa mendapatkan penghasilan tertinggi (dalam Doug Lorimer (Anggota Executive Commite Democratic Socialist Party Australia), Globalisasi, neo liberalisme dan dorongan-dorongan kemunduran ekonomi kapitalis, Jurnal kiri, Situs indo-Marxist)
[9]Op.Cit hal. 2
[10] Aprilian Hermawan, Bisnis Uang Paradigma Baru Sektor Perbankan, Bisnis Indonesia, Jum’at 17 Desember 2004
[11] Mahatir Muhammad menyatakan mengenai konsep globalisasi yang dihasilkan oleh negara-negara berkuasa untuk membukakan ekonomi negara-negara lemah kepada pasaran dunia:“Globalisasi adalah perkataan yang seolah-olah menghuraikan kedatangan bersama kesemua negara-negara di dunia … Ia direka oleh negara-negara kaya, seolah-olah dalam balasan kepada kemajuan teknologi dan kelanjutan serta kemudian pengangkutan. Tetapi tekanannya adalah pada aliran bebas capital serta perdagangan barangan dan pengkhidmatan. Manusia dan benda-benda lain tidak dapat mengalir dengan sebegitu bebas”. (dalam Muhammad Salleh,”Globalisasi dan Mahatir”, September 2002 , www.arts.anu.edu)
[12] Globalisasi dipandang sebagai suatu arus yang menimbulkan situasi double standard atau berat sebelah yang tidak memberikan peluang yang sama kepada negara-negara miskin atau negara-negara yang baru membangun.
[13] Op.cit . Pada hakikatnya globalisasi masih berada pada situasi berat sebelah dan bukannya bersifat menang, sebaliknya yang menang akan terus menang manakala yang kalah akan terus kalah. http://www.google.com/ ada di file:///E:/data/opini_effendi_hasan : Penggagasan konsep globalisasi lahir ketika Robertson menerbitkan satu makalah berjudul “The Relativization of Societies” : Modern Religion and Globalization”.
[14] Prediksi seperti ini muncul karena globalisasi dipandang sebagai suatu fase perubahan yang terlalu cepat dari pada timbulnya persaingan-persaingan sengit yang hanya memberikan keuntungan kepada negara kapitalis yang notabene sudah maju dan kaya. Globalisasi belum mempunyai definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya (dalam http://www.wikipedia.com/)
[15] www.wikipedia.com
[16] http://www.wikipedia.com/
[17] Jaringan perdagangan meliputi wilayah Jepang, Tiongkok, Vietnam, Indonesia, Malaka, India, Persia pantai Afrika Timur, Laut Tengah, Venesia dan Genoa (dalam www.wikipedia.com)
[18] Perlu diketahui juga bahwa ideology kapitalis dikembangkan bersama dengan demokrasi dan liberalisme.
[19] Muhammad Saleh, Globalisasi dan Mahatir, http://www.arts.anu.edu/, September 2002.
Seperti yang disarankan oleh WTO, IMF dan Bank Dunia, dimana globalisasi sebagai upaya untuk membuka perekonomian antar bangsa.
[20] Doug Lorimer, “Globalisasi, Neo-Liberalisme dan Dorongan-dorongan kemunduran ekonomi kapitalis”, Jurnal Kiri

ISLAM DAN FUNDAMENTALISME : UPAYA MENOLAK SEKULERISME DI INDONESIA

Oleh : lusi Andriyani, SIP.,M.Si

Konteks Historis Fundamentalisme Islam di Indonesia :
Sejak orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto tumbang oleh gerakan mahasiswa pada tahun 1998, mempunyai pengaruh yang signifikan pada kehidupan beragama di Indonesia. Salah satu perubahan yang tengah mendapatkan perhatian khalayak umum adalah mengenai semakin maraknya gerakan agama yang diindikasikan sebagai gerakan fundamentalis. Perkembangan fundamentalisme Islam di Indonesia telah meruntuhkan pandangan yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo yang menyebutkan bahwa gerakan Islam sudah meninggalkan periode Ideologi sejak tahun 1985. Kaum fundamentalisme yang berkembang di Indonesia mencoba untuk menawarkan Islam sebagai ideology alternative, dan mencoba mengusung semua label Islam dalam setiap tindakan dan aksinya.
Islam di Indonesia dapat dikategorikan sebagai Islam pinggiran secara geografis. Dengan pemeluk agama terbesar, Islam akhirnya mempunyai pengaruh yang sangat besar didalam setiap kehidupan masyarakat dan negara. Dalam perkembangannya pula, variasi Islam muncul seiring dengan penggunaan budaya sebagai alat penyebarannya. Proses perkembangan yang berjalan seiring dengan perkembangan budaya tidak dapat dihindarkan bersamaan dengan proses modernisasi. Seringkali proses-proses perkembangan Islam dalam masyarakat memunculkan konflik dan pertarungan wacana untuk dapat memperebutkan pengaruh dalam penyebaran ide dari variasi Islam yang beragam. Proses ini pula yang telah melahirkan organisasi keagamaan dikalangan umat Islam pada abad ke 20 seperti Muhammadiyah, Persis, NU, Al-Irsyad dan munculnya kelompok-kelmpok fundamentalis[1].
Munculnya beberapa gerakan fundamentalisme dapat dilihat dari penelitian Yusril Ihza Mahendra yang bertitik tolak pada perspektif sosiologis mengenai fundamentalisme[2]. Dalam penelitian tersebut digambarkan mengenai institusi politik yang menjadi pengaruh fundamentalisme dan modernisme yaitu Masyumi di Indonesia dan Jama’ati Islam di Pakistan. Dengan menggunakan prespektif bahwa fundamentalisme dan modernisme bukan sekedar sebagai aliran keagamaan namun juga sebagai aliran politik.
Perubahan iklim politik di Indonesia pada tahun 1998 sangat berpengaruh terhadap munculnya organisasi keagamaan lain selain NU dan Muhammadiyah. Terdapat dua fenomena yang sangat menyolok; pertama, semakin menguatnya identitas dan gerakan kelompok keagamaan diluar mainstream kelompok keagamaan dalam masyarakat Islam di Indonesia yaitu NU dan Muhammadiyah. Kedua, ditandai dengan munculnya sejumlah parpol keagamaan.[3] .
Pada masa Orde baru upaya penciptaan stabilitas dalam proses pembangunan telah mempengaruhi kehidupan beragama. Sikap pemerintah yang otoriter telah memberangus semua kegiatan beragama dan tidak memberikan celah sedikitpun untuk menunjukkan peran kelompok beragama dalam masyarakat. Setelah runtuhnya orde baru kesempatan untuk mengembangkan ide dan menerapkannya dalam bentuk gerakan mulai ditunjukkan. Fenomena Front Pembela Islam (FPI) yang melakukan Sweeping terhadap minuman keras dan kegiatan yang mereka pandang sebagai kegiatan orang jahiliyah (Minum-minuman keras, judi, Pelacuran) dapat dilakukan. Selain itu juga muncul dan berkembang kegiatan keagamaan lain seperti laskar jihad, HAMMAS, Hizb-Al Tahrir Indonesia dan lainnya.
Dalam wilayah politik, runtuhnya orde baru semakin memperkuat identitas keagamaan dengan munculnya banyak partai politik Islam seperti; Partai kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Di tengah-tengah berlangsungnya perubahan politik, masyarakat Islam merupakan salah satu kelompok yang artikulatif dengan munculnya berbagai macam variasi partai politik Islam yang menggunakan identitas keagamaan. Keterlibatan umat Islam dalam politik tidaklah mengejutkan karena dalam pola berpikir kelompok mayoritas di Indonesia ini melekat kuat keyakinan mengenai Islam sebagai agama public (public Religion yang menempatkan agama dalam wilayah politik, disamping keyakinan sebagai agama privat (privat Religion)[4]. Dengan keyakinan seperti itu akhirnya sebagian umat Islam kemudian berhati-hati terhadap adanya sekularisasi

Sekuler Dalam Beberapa Perspektif :
Dalam bukunya yang berjudul “Menentang Negara Sekuler: Kebangkitan Global Nasionalisme Religius”, Jurgensmeyer menggambarkan adanya sebuah kebangkitan Islam. Dalam penelitiannya mengenai negara Sri lanka, India, Mesir, Israel dan Mongolia, dimana gerakan-gerakan nasionalisme muncul dan mencoba untuk mengembangkan diri. Kebangkitan Nasionalisme religius atau yang dinamakan dengan etno-religius dilator belakangi oleh adanya kegagalan nasionalisme sekuler yang di ambil dari negara Barat sebagai paradigma dalam politik yang berupaya untuk memisahkan agama dengan politik sehingga dapat menghapuskan adanya loyalitas-loyalitas keagamaan untuk tujuan politik tertentu. Dengan cara demikian, maka loyalitas yang terbangun melalui landasan keagmaan tergantikan dengan loyalitas individu sebagai loyalitas tertinggi kepada negara-bangsa. Dengan demikian kekuatan politik yang didasarkan pada nilai-nilai agama dan komunitas tradisional memudar. Ikatan-ikatan emosional yang terbangun berdasarkan kesamaan agama digantikan dengan ikatan emosional yang berdasarkan pada wilayah suatu negara-bangsa. Dalam pandangan Jurgensmeyer mengenai nasionalisme sekuler, agama sengaja direduksi dengan pertimbangan untuk mengurangi peran agama dalam hal ini loyalitas agama dalam wilayah politik.
Dibeberapa negara yang diteliti oleh Jurgensmeyer tidak semuanya melaksanakan nasionalisme religius, salah satu kelompok yang menentang adalah tokoh agama. Bagi kalangan ini nasionalisme-sekuler dipandang betanggungjawab terhadap terjadinya kemerosotan moral dinegara mereka. Sri lanka merupakan negara yang merasakan akibat buruknya penerapan nasionalisme-sekuler . Setelah penerapan konsep nasionalisme sekuler tindakan dan praktik a-moral seperti perjudian, minum-minuman alcohol dan penyembelihan hewan semakin marak. Dikawasan Irak, nasionalisme-sekuler dipandang sebagai konspirasi Barat untuk menentang agama. Ketidak puasan terhadap nasionalisme sekuler telah membangkitkan semangat untuk menggunakan agama sebagai ideology politik di beberapa negara di dunia ketiga. Gerakan seperti ini dapat dinamakan sebagai fundamentalisme atau radikalisme. Pemahaman dari gerakan keagamaan seperti ini lebih didasarkan pada teks agama dengan menolak segala penafsiran yang bersifat rasional (aqliyah) yang dipandang dapat mengurangi kemutlakan yang ada dalam teks tersebut.
Kebangkitan Islam di Indonesia dimulai dengan bangkitnya Islam liberal (neo intelektualisme Islam) yang dimotori oleh kaum intelektual muda Islam salah satu pelopornya adalah Nurcholis Madjid. Nurcholis Madjid merekomendasikan tiga pemikiran Islam antara lain: Sekulerisasi: dalam hal ini Nurcholis Madjid membedakan antara sekulerisme dengan sekulerisasi. Sekulerisme adalah nama ideology yang tertutup. Sedangkan Sekulerisasi merupakan bentuk menduniawikan nilai-nilai yang semestinya berifat duniawi,dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrowikannya. Sehingga sekulerisasi menurut pandangan Nurcholis Madjid lebih sebagai upaya untuk memantapkan tugas manusia sebagai khalifah allah di bumi[5]. Hal penting kedua yaitu Kebebasan berfikir; Yang dimaksud dengan kebebasan berfikir disini adalah kesediaan umat islam untuk mengkritik pemikiran lama dan berupaya untuk memperbaharuinya agar sejalan dengan kenyataan-kenyataan zaman sekarang. Yang ketiga adalah sikap terbuka; Kesedian mendengar dan menerima ide-ide kemanusiaan dengan spectrum seluas mungkin, kemudian memilih mana yang menurut ukuran –ukuran obyektif mengandung kebenaran[6].
Adanya gagasan yang dikemukakan oleh Nurcholis Madjid telah membuktikan bahwa telah muncul pembaharuan Islam melalui intelektual. Disamping gerakan intelektualitas, muncul juga gerakan radikal yang mengatas namakan agama dan melakukan kegiatan oposisi terhadap pemerintah serta melakukan tindakan aksi kekerasan. Fenomena ini mengakibatkan pemerintah lebih bersifat represif terhadap semua kegiatan keagamaan dengan slogan untuk menjaga stabilitas dan keamanan negara. Pola inilah yang mengakibatkan umat Islam trauma dan sakit hati serta terpinggirkan dalam arena politik. Hubungan antara negara dan umat Islam justru semakin berkembang dan memunculkan sikap kritis sejak rezim Soeharto Jatuh. Seiring dengan itu berkembang pula kelompok keagamaan yang bersifat fundamentalis.

Agama Sebagai Ideologi
Pada dasarnya ideology menjadi sebuah pertanyaan penting bagi setiap perubahan yang ada dalam masyarakat disebabkan karena adanya pengaruh ataupun kepercayaan satu pihak ke pihak lain dalam dimensi waktu dan tempat tertentu. Dan hampir pada setiap kehidupan masyarakat modern, akan dipengaruhi oleh ideology. Ideologi berkaitan pula dengan bagaimana seseorang merespon pengaruh pihak lain melalui emosi dan intelektualitasnya[7]. Cara yang paling jelas dalam mengidentifikasi suatu ideology adalah dengan cara penggunaan bahasa secara umum atau melalui penggunaan kata-kata khusus[8].
Permasalahan yang menjadi isu penting dalam membahas ideology adalah sejauh mana ideology dapat berpengaruh dalam kenyataan praktis. Hal yang sangat mungkin muncul dalam praktek politik sehari-hari adalah ketika ideology ini digunakan sebagai alat bagi pengabsahan dari pimpinan-pimpinan partai atau politisi pada umumnya dalam memperkuat posisi dalam tindakan-tindakannya dimata lingkungan politiknya[9].
Dalam gerakan social keagamaan jelas membutuhkan adanya ideology. Dalam konteks agama Islam secara nyata telah menempatkan ideology sebagai sebuah kebutuhan dan sebagai implikasi untuk meneguhkan identitas. Ideologi juga digunakan sebagai titik tolak untuk melakukan perubahan. Ada empat ketegori ideology yang dikemukakan oleh Dekmejian ; pertama; Gradual adaptasionis, yang berorientasi pada Ihkwanul Muslimin dengan memiliki cara-cara bertahap yang mendorong pelaksanaan syariat islam oleh negara. Kedua; Syi’ah revolusioner, yang merujuk pada keberhasilan syi’ah di Iran yang berhasil menggerakkan revolusi untuk menggulingkan shah Iran karena kekuatan militernya. Namun pola ini dipandang oleh kelompok agama telah memunculkan sekulerisasi. Ketiga; Sunni Revolusioner, Yang dirintis oleh imam-imam besar dari golongan Sunni yang mempunyai komitmen terhadap pembaharuan umat dengan kembali keakar-akar Islam. Keempat; mesianis primitive; gerakan yang lebih puritan dengan mencontohkan kehidupan Nabi dan bentuk kehidupan komunitas Islam pertama serta menentang berbagai macam bentuk inovasi dan usaha-usaha untuk beradaptasi dengan kondisi-kondisi modern[10]

Fundamentalisme Agama
Fenomena terorisme pada tanggal 11 September 2001 yang telah mengahancurkan WTC (World Trade Center) di New York, Amerika Serikat dan fenomena Bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 di Bali serta JW. Marriot telah memunculkan kembali fundamentalisme sebagai wacana public. Fundamentalisme bukanlah fenomena yang berkembang hanya pada komunitas agama tertentu dalam hal ini Islam. Keberadaan fundamentalisme telah berkembang dalam bentuk trans nasional karena telah banyak dijumpai dibeberapa negara. Ciri yang paling menonjol dari gerakan fundamentalisme adalah pemahaman yang tekstual terhadap teks-teks agama dan pandangan yang negative terhadap kemajuan (modern). Segala bentuk penafsiran terhadap teks-teks agama dipandang dapat mereduksi ajaran fundamental agama.
Dalam gerakan yang bersifat fundamentalis ditandai oleh lima Jenis perlawanan ; Pertama: melawan kembali kelompok-kelompok yang mengancam keberadaan dan identitas. Kedua, Berjuang untuk menegakkan cita-cita yang mencakup persoalan hidup secara umum seperti keluarga atau institusi social lain. Ketiga, berjuang dengan kerangka nilai atau identitas tertentu yang diambil dari warisan masa lalu maupun kosntruksi baru. Keempat, berjuang melawan musuh-musuh tertentu yang muncul dalam bentuk komunitas atau tata social keagamaan yang dipandang menyimpang. Kelima, Berjuang atas nama Tuhan atau ide-ide lain[11]. Karakteristik fundamentalis tersebut telah memunculkan ketakutan masyarakat. Karena adanya kecenderungan kuat pada gerakan fundamentalis untuk menggunakan cara-cara kekerasan dalam mencapai target.
Dari sisi sosiologi, fundamentalisme dapat dipahami sebagai gerakan social yang muncul berdasarkan ideology tertentu yang dipakai oleh kelompok untuk melaksanakan tindakan dan mencapai target yang diinginkan. Gerakan fundamentalisme mempunyai ideology yang mencakup dua hal; 1) sejarah penyelamatan dan 2) kritik social[12]. Sebagai gerakan social, kritik merupakan alat bagi mereka untuk menentang hal-hal ataupun tindakan yang mereka pandang tidak sesuai dengan teks agama, sehingga kelompok fundamentalis cenderung memberikan solusi yang bersifat ideal berdasarkan pengalaman sejarah keagamaan pada masa lalu.
Fundamentalisme Islam muncul bukan tanpa sebab, secara sosiologis factor struktur social, psikologi social mempunyai peran yang sangat menentukan. Faktor struktur social terkait dengan permasalahan ekonomi, keluarga ataupun kelompok kecil. Sedangkan factor psikologis social berkaitan dengan nilai-nilai sebagai suatu kebutuhan dalam diri seseorang serta motivasi pribadi yang membangun karakter seseorang dan mendorongnya untuk melakukan suatu tindakan tertentu.
Dengan karakteristik dan sebab kemunculannya, maka kelompok fundamentalis cenderung berupaya untuk menentang semua ide-ide yang mereka pandang tidak mencerminkan keidealan seperti yang tertuang dalam teks agama, khususnya Islam. Permasalahan fundamentalisme di Indonesia sebagai contoh dapat dilihat dari gerakan Hizb-Al tahrir. HTI merupakan contoh kelompok fundamentalisme yang ada di Indonesia. Secara histories HT di didrikan oleh An-Nabhani di negara Jerussalem pada tahun 1953 dengan mendirikan partai politik yang diberi nama Hizb Al-Tahrir al- Islami. Al-Nabhani menawarkan ideology Islam sebagai satu-satunya yang membangun partai HT. Ideologi Islam dalam hal ini juga dipahami sebagai pemikiran Islam atau (Fikrah Islam). HT mendasarkan partainya pada sumber legitimasi Islam. Dimana Islam dipahami tidak hanya sebagai agama yang mengurusi masalah spiritual namun juga masalah-masalah social. Sehingga memunculkan pernyataan bahwa Islam adalah agama dan Ideologi.
Dari pemaparan diatas telah jelas bahwa gerakan-gerakan fundamentalis yang dicontohkan dengan HTI tersebut akan menolak paham sekuler yang mencoba untuk memisahkan kehidupan agama dan negara. Uraian penyatuan Islam sebagai agama dan ideology mempertegas tidak adanya ruang ataupun toleransi bagi penterjemahan sekuler dalam makna kehidupan beragama. Apapun yang menjadi alasan pemberlakuan sekuler, baik sebagai paham maupun sebaagai proses tidak akan mendapatkan tempat bagi kaum fundamentalis.



DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Syamsul, Ideologi dan Praksis Gerakan social Kaum Fundamentalis, Malang, UMM Press,2005.

Jurgensmeyer, Menentang Negara Sekuler: Kebangkitan Global Nasionalisme Religius, bandung,Mizan, 1998

Kuntowijowo,Dr, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, Bandung, Mizan, 1994

Yusanto, Ismail, Islam Ideologi,Bangil, Al-Izzah, 1998

__________, Editor; Dr. H.Abuddin Nata,MA, Problematika Politik Islam di Indonesia, Jakarta, Grasindo,2002

__________, Editor; John Esposito, Identitas Islam; Pada Perubahan social politik, Jakarta, Bulan Bintang,1980



[1] Kelompok Fundamentalis dapat dimaknai sebagai kelompok Islam yang mempunyai ideology dan pengaruh yang sinifikan .
[2] Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi(Indonesia) dan Partai Jama’ati Islam (Pakistan) Jakarta: Paramadina, 1999
[3] Ideologi dan praksis, Gerakan Islam Fundamentalis; Pengalaman Hizb- Al Tahrir Indonesia, UUM Press, 2005
[4] Loc cit hal.19
[5] Fngsi sebagai khalifah Allah yaitu dengan membe
rikan ruang bagi kebebasan manusia untuk memilih tindakan dan cara-caranya sendiri didalam meningkatkan hidupnya di dunia dan memberikan pembenaran atas tanggungjawab manusia atas perbuatan-perbuatannya dihadapan Allah.
[6] Ibid. Hal. 33
[7] Deden Faturrahman, Pengantar Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang press, 2002.
[8] Ibid, hal 45
[9] Ibid, hal 49
[10] Loc.cit. hal 50
[11] Ibid. hal. 56
[12] Pandangan Martin Risebort dalam buku Syamsul Arifin: Ideologi dan Praksisi gerakan kaum fundamentalis

ENSIKLOPEDIA POLITIK

Perilaku Politik :
Interaksi antara pemerintah dan masyarakat, diantara lembaga-lembaga pemerintah dan diantara kelompok dan individu dalam masyararakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan dan penegakkan keputusan politik

Influence (pengaruh):
Kemampuan untuk mempengaruhi orang lain agar mengubah sikap dan perilakunya secara sukarela

Persuasion (persuasi) :
Kemampuan meyakinkan orang lain dengan argumentasi untuk melakukan sesuatu

Manipulasi :
Penggunaan pengaruh, dalam hal ini yang dipengaruhi tidak menyadari bahwa tingkah lakunya sebenarnya mematuhi keinginan pemegang kekuasaan

Legitimasi :
Penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak moral pemimpin untuk memerintah, membuat dan melaksanakan keputusan politik

Primordialisme:
Suatu sikap sangat cintanya terhadap sesuatu, baik terhadap suatu agama, etnis, maupun golongan dan kebudayaan

Identitas :
Identitas mengacu pada aktor sosial, sebagai suatu proses konstruksi makna yang berdasarkan pada atribut budaya, atau serangkaian hubungan dari atribut budaya yang memberikan pemaknaan yang lebih dari sumber makna yang lain. Dimana pluralitas merupakan sumber yang bertolak belakang dengan representasi setiap individu ataupun tindakan sosial.

Politik Identitas :
Upaya yang dilakukan terhadap kepemilikan identitas untuk membangun sebuah perbedaan atas dasar ras, etnik, budaya ataupun agama tertentu.

Ideologi :
Pandangan atau system nilai yang menyeluruh dan mendalam tentang tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh suatu masyarakat dan menganai cara-cara yang paling dianggap baik untuk mencapai tujuan.

Partai Politik :
Sebuah organisasi yang terbangun dari kelompok-kelompok yang bertujuan untuk mendapatkan jabatan publik dalam pemerintahan, dengan identitas-identitas tertentu

Budaya Politik :
orientasi dan sikap politik yang mengacu pada sistem politik serta bagian-bagian yang lain serta sikap terhadap peranan kita sendiri dalam sistem tersebut

Partisipasi Politik :
Keikut sertaan warga Negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut dan mempengaruhi hidupnya

Konflik Politik :
Perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan diantara sejumlah individu-individu, kelompok ataupun organisasi dalam upaya mendapatkan atau mempertahankan sumber-sumber dari keputusan yang dibuat dan dilaksanakan pemerintah

Politik Lokal :
Proses interaki yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari dimana sejumlah nilai-nilai dialokasikan secara otoritatif bagi suatu masyarakat artinya; setiap individu terlibat didalam kegiatan politik karena adanya kelangkaan atas barang dan jasa

Desentralisasi :
Suatu proses penyerahan sebagian wewenang dan tanggungjawab dari urusan yang semula adalah urusan pemerintah pusat kepada badan-badan atau lembaga-lembaga pemerintah daerah agar menjadi wewenang serta tanggungjawab pemerintah daerah

Otonomi Daerah :
Kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan

Pemerintah Daerah :
kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif negara.

Good Governance :
Hubungan yang harmonis dan saling control antara tiga komponen penting yaitu; Negara, masyarakat sipil dan pasar untuk menghindari penguasaan atau eksploitasi oleh satu komponen terhadap komponen lainnya

Civil Society :
Wilayah kehidupan social yang terorganisasi yang bercirikan voluntary, self generating dan self supporting

Direct Democracy (Demokrasi Langsung) :
Suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan politik dijalankan langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas

Representative Democracy (Demokrasi tidak langsung) :
Bentuk pemerintahan dimana pembuatan keputusan politik dijalankan oleh sedikit orang yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum

Oposisi :
Sikap kritis yang memungkinkan suatu kekuasaan dijalankan dan dialokasikan untuk kepentingan yang sesuai dengan kehendak pemberi kekuasaan (rakyat)

Negara Totaliter :
Sebuah pemerintahan yang mempunyai kekuasaan tidak terbatas, tidak memberikan toleransi terhadap oposisi, dan mempraktekkan control yang sangat ketat terhadap warga Negara

Negara Demokratis :
Suatu pemerintahan yang memperbolehkan warga Negara untuk berpartisipasi dalam setiap pengambilan keputusan yang diuat oleh pemerintah