Tuesday, December 23, 2008

GLOBALISASI DAN PELAKSANAAN GOOD GOVERNANCE DI INDONESIA

(Studi Tentang Optimalisasi Peran DPRD Dalam Mewujudkan
Akuntabilitas Politik Lokal)

Oleh : Lusi Andriyani.,SIP.,M.Si

1. Latar Belakang Masalah
Indonesia digambarkan sebagai negara yang sedang mengalami proses demokratisasi, desentralisasi dan swastanisasi. Perubahan yang “Blurr” serempak dan menyeluruh telah dirasakan seiring dengan proses demokratisasi tersebut. Tidak bisa dipungkiri bahwa ide demokrasi berjalan seiring dengan globalisasi dan liberalisasi. Sehingga ketika ide demokrasi telah diterapkan secara tidak langsung ide globalisasi dan liberalisasi telah menyertainya. Perubahan yang bersifat global dan menyeluruh tersebut juga berpengaruh pada sector privat dan public.
Pemilihan Umum tahun 2004 mempunyai format yang berbeda daripada pemilihan umum tahun sebelumnya. Dalam pemilihan umum sekarang, masyarakat dapat memilih wakilnya langsung yang ditunjukkan dengan mencoblos tanda gambar partai dan juga mencoblos nomor urut wakil yang diinginkannya. Pola semacam ini memberikan keterbukaan dan kebebasan kepada masyarakat untuk menentukan wakil yang duduk dilembaga perwakilan rakyat.
Dengan model seperti ini diharapkan wakil yang duduk dilembaga perwakilan rakyat dapat mewakili rakyat yang memilihnya, sehingga aspirasi yang akan disampaikan oleh anggota dewan yang terpilih tersebut merupakan keinginan rakyat yang sesungguhnya. Dengan pemilihan wakil rakyat secara langsung juga mencerminkan kedekatan antara wakil rakyat dengan mereka yang diwakilinya secara emosional.
Kedekatan emosional masyarakat dengan wakilnya yang duduk dilembaga DPR akan membawa konsekuensi pada tingkatan yang lebih mendasar yaitu tentang penilaian masyarakat terhadap perilaku sehari-hari wakil yang mereka percayai. Penilaian masyrakat dapat mempengaruhi pada pilihan rakyat untuk pemilu yang akan datang bahkan hal tersebut akan berpengaruh pada berkurangnya kepercayaan pemilih terhadap wakil yang akan dipilih. Sifat selektif masyarakat untuk memilih wakil mereka berlangsung secara alamiah dan terbentuk melalui informasi-informasi yang mereka dapatkan baik melalui berita ataupun perbincangan-perbincangan lain.
Sorotan tentang perilaku anggota dewan yang tidak proporsional melalui media massa seperti ketidak hadiran dewan dalam rapat, anggota dewan yang sering melakukan jalan-jalan atau plesir, anggota Dewan yang mempunyai perkara dipengadilan, dan permasalahan lain yang diinformasikan melalui media massa akan berpengaruh pada kepercayaan masyarakat. Perilaku anggota dewan sebagai wakil rakyat yang tidak mencerminkan kepribadian yang baik akan menyebabkan masyarakat kecewa dan merasa dikhianati. Kekecewaan masyarakat akan berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat.
Bukti nyata bahwa masyarakat semakin selektif terhadap anggota dewan sebagai wakil mereka dapat dilihat dari adanya demonstrasi yang dilakukan oleh rakyat pada saat pelantikan anggota Dewan pada tahun 2004 lalu. Hal ini menggambaran ketidak setujuan rakyat terhadap wakilnya. Bahkan mereka juga tidak menaruh harapan terhadap wakil yang terpilih tersebut. Tindakan protes rakyat tersebut didasari dengan kenyataan bahwa sebanyak 323 anggota DPR/D baru merupakan tersangka tindak pidana korupsi. Tercatata juga 20 kasus korupsi yang dilakukan oleh anggota Dewan, 15 diantaranya telah ditindak lanjuti, tetapi ada juga kasus yang di SP3 –kan (Surat Perintah Pemberhentian Penyelidikan) namun ada pula yang diberhentikan tanpa adanya SP3, seperti kasus Gorontalo dan Semarang[1] .Dari gambaran kasus di atas dapat dilihat bagaimana perilaku anggota Dewan yang tidak proporsional dengan jabatan mereka, dimana anggota dewan sebagai wakil rakyat yang memperjuangkan aspirasi masyarakat dan abdi masyarakat ternyata hanyalah Nouveau Riche (Orang kaya baru), dengan melihat fasilitas yang diberikan pada saat pelantikan, saat menjabat dan pada saat mengakhiri jabatan selalu tidak jauh dari uang. Contohnya yang terjadi pada saat pelantikan DPRD Jawa barat yang menghabiskan dana 1,55 miliar. Dimana pada saat menjabat para anggota dewan mendapatkan gaji 9-10 juta perbulan, rumah dinas, juga honor untuk mengesahkan rancangan perda sebesar 3,6 juta untuk satu rancangan walaupun dalam melaksanakan tugasnya jauh dari profesiobalisme. Dan pada saat mereka mengakhiri jabatan mendapatkan uang 33 miliar yang dibagikan kepada 100 anggota dewan serta permintaan untuk fasilitas mobil dinas Hyundai accent. [2] Tidak dapat dibayangkan apabila kondisi wakil rakyat yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan berfoya-foya pada saat kondisi keuangan Negara sedang surut akan terpilih kembali.

2. Rumusan Masalah :
Dari latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah; Upaya-upaya apa yang dilakukan dalam optimalisasi peran DPRD dalam melaksanakan akuntabilitas politik local?

3 . Tinjauan Pustaka
3.1 Penelitian Terdahulu
Hasil penelitian yang mendukung penelitian ini adalah :
a. Yusuf Hidayat (2003;69) melakukan penelitian dengan judul “Wacana Demokrasi: Prespektif elite lokal Surabaya”. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengungkapkan tema-tema yang berkembang diseputar transisi demokrasi merupakan wacana yang terbangun dalam interaksi baik kelembagaan maupun interaksi sosial. Dengan mengambil informan dari kalangan generasi muda dan mahasiswa serta organisasi mahasiswa ekstra kampus seperti IMM, HMI, GMNI, PMII, KAMMI, GMKI. Dari hasil penelitian tersebut dihasilkan beberapa pandangan tentang demokrasi, pandangan pertama melihat demokrasi dalam nilai umum; di sampaikan oleh aktivis Muhammadiyah yang melihat bahwa demokrasi akan berjalan kalau orang yang bermain mau bersikap terbuka dan jujur menghargai pendapat orang lain dan mampu bersikap toleransi, tanpa itu demokrasi tidak akan berjalan. Disamping itu manusia mengalami keterbatasan dan kekurangan sehingga perlu adanya aturan yang jelas supaya lembaga wakil rakyat benar-benar sesuai dengan aspirasi masyarakat. Aktivis PDI-P yang melihat demokrasi dalam tatanan mekanisme pemilu sehingga menghasilkan wakil rakyat. Ketika rakyat itu merasa terwakili suara oleh wakil rakyat, sebetulnya sudah ada demokrasi. Aktivis PMMI berpendapat bahwa demokrasi jangan berhenti sampai pada pemilu tetapi dilanjutkan sampai pada pengambilan kebijakan yang tetap berlandaskan demokrasi. Pandangan kedua, Melihat demokrasi dalam konteks proses; demokrasi dipandang sebagai suatu proses melalui tahap-tahap, adaptasi-adaptasi dan perlu waktu. Pandangan ketiga melihat pentingnya aturan moral. Bagi aktivis KAMMI dan ICMI proses demokrasi akan mulus ketika orang yang bermain disertai dengan etika yang santun. Menurut ICMI demokrasi harus dibingkai dengan aturan agama.

b. Soetomo (2005) melakukan penelitian dengan judul “Perilaku Anggota Legislatif Dalam Rekrutmen Politik (Studi Tentang Perilaku Anggota Legislatif Dalam Pemilihan Gubernur Jawa Timur Periode Tahun 2003-2008)”. Penelitian tersebut di latarbelakangi dengan adanya perubahan posisi dan peran anggota legislatif yang cenderung tidak diikuti dengan sikap dan perilaku yang positif sebagai wakil rakyat. Anggota Legislatif yang seharusnya menjadi pengawas malah menjadi agen bahkan bertindak korupsi. Tujuan penelitian ini untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai perilaku anggota Legislatif didalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur serta untuk memahami faktor-faktor yang memepengaruhi perilaku anggota legislatif di dalam pemilihan Gubernur dan wakil gubernur di Jawa Timur sebagi rekomendasi didalam menyusun kebijakan puiblik tentang rekrutmen kepala daerah. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan emik dan etik yang menurut Moleong pendekatan ini berusaha untuk memahami suatu fenomena dengan berangkat dari titik pandang dari dalam yang artinya peneliti menggali dat dari informan-informan dengan teknik yang dapat menunjukkan, menjelaskan dan mengungkapkan pengalamannya sesuai yang dirasakan, dialami dan di jalankan dengan subyek penelitian anggota DPRD Jawa Timur yang berfokus pada perilaku anggota DPRD Jawa Timur didalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur Tahun periode 2003-2008. Informan dalam penelitian ini adalah ketua panitia pemilihan Gubernur, Ketua DPRD, Ketua Fraksi DPRD, Ketua Partai Politik pemenang pemilu, Anggota fraksi yang representative dalam memberikan respon terhadap pemilihan Gubernur Jatim, Anggota legislative yang memberikan keterangan tentang perilaku menyimpang dari beberapa anggota legislative, kelompok kepentingan, tokoh masyarakat. Hasil penelitian menyebutkan bahwa perilaku anggota legislative di dalam pemilihan Gubernur di masa reformasi cenderung lebih demokratis, terbuka dan lebih bersifat pragmatisme karena besarnya tuntutan, baik tuntutan pribadi maupun tuntutan partai. Sifat pragmatisme ini yang mendukung perilaku anggota legislative dalam melaksanakan pemiliha gubernur diwarnai dengan fenomena pembelotan, karantina, baiat, cukur gundul dan politik uang. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku anggota legislative tersebut adalah pribadi actor, opini masyarakat, keputusan partai, profil calon Guibernur, system pemerintahan yang sedang berjalan serta tata tertib pemilihan Gubernur.

c. Sutaat (2004), melakukan penelitian dengan judul “Perspektif legislative tentang pembangunan kesejahteraan social di daerah”, penelitian ini dilaksanakan di tujuh propinsi, yakni Sumatra utara, DKI Jakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulasesi Utara, Nusa Tenggara Barat dan Papua. Responden penelitian adalah anggota DPRD kota dan Kabupaten periode 1999-2004, terutama anggota komisi E . Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah repsonden diperkenalkan dengan konsep, kebijakan dan beberapa program bidang kesejahteraan social, secara umum mereka setuju dengan apa yang digariskan oleh Departemen Sosial. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan program adalah kesesuaiannya dengan kondisi local. Kendala yang dihadapi dalam pembangunan kesejahteraan social di daerah adalah belum memadainya kualitas SDM di daerah, diperlukan upaya pembinaan dan peningkatan kualitas SDM secara terus menerus. Berdasarkan beberapa temuan hasil penelitian ini, dikemukakan pula beberapa saran, antara lain perlunya sosialisasi dan dialog sesering mungkin antara departemen social dengan lembaga legislative dan eksekutif didaerah. Upaya dimaksud akan lebih berhasil bila disertai dengan publikasi berbagai produk kebijakan, program maupun panduan-panduan yang dapat dijadikan acuan oleh daerah dalam melaksanakan pembangunan kesejakteraan social di daerahnya.
d. Lembaga penelitian SEMERU (2002) dari hasil kegiatan pemantauan terhadap langkah nyata daeraah dalam mempersiapkan dan melaksanakan kebijakan desentralisasi OTODA. Laporan lembaga ini memaparkan analisis mengenai factor pendukung dan penghambat pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah yang diikuti dengan pemikiran tentang arah kebijakan untuk mewujudkannya secara lebih baik. Peneliti SEMERU telah mengunjungi 15 kabupaten dan 3 kota di 12 propinsi melalui 4 tahap kegiatan penelitian. Tahapan kegiatan penelitian anatara lain; tahap I; Studi persiapan desentralisasi dan otonomi daerah, TAhap II: Studi Otonomi daerah dan iklim usaha, Tahap III; Studi pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, TAhap IV; Studi dampak desentralisasi dan otonomi daerah atas kinerja pelayanan public. Salah satu penelitian SEMERU adalah tentang akuntabilitas DPRD, dari hasil tersebut diperoleh data bahwa banyak pihak sepakat kalau DPRD terpilih periode 1999-2004 adalah wakil rakyat yang paling sah. Disemua daerah sampel diaku ada perubahan penting dalam sikap sebagai anggota Dewan. Mereka lebih berani menyampaikan pendapat dan mau berdialog dengan masyarakat. Anggota Dewan juga mulai melakukan fungsi pengawasan terhadap kinerja eksekutif. Namun kritik atas kinerja anggota Dewan juga bermunculan antara lain : a) sengan makin kuatnya peran DPRD, anggota dewan menempatkan diri lebih tinggi, sehingga pihak eksekutif merasa disubordinasikan oleh DPRD. b) Diantara anggota Dewan masih ada yang terkesan tidak mau tahu bahwa mereka tidak tahu atau tidak menyadari kelemahannya. c) Anggota Dewan dinilai mengabaiakan rakyat. Mereka lebih mendahulukan kepentingan pribadi. JHal ini tercermin dari tuntutan anggota Dewan untuk selalu memperoleh peningkatan anggaran kesejahteraan. D) Di beberapa daerah ada yang tidak serius melaksanakan tugasnya dan mengabaikan disiplin. E) Di beberapa kabupaten atau kota kebanyakan anggota Dewan hanya memiliki pendidikan formal dan pengalaman politik yang terbatas. F) Berkembangnya kasus money politik yang melibatkan anggota DPRD di banyak daerah.


e. Laporan IRDA (Indonesia Rapid Decentralization) dari The Asia Foundation (2002).
IRDA bertujuan untuk memberikan umpan balik bagi perkembangan desentralisasi sehingga penyesuaian ekebijakan public dapat dilakukan untuk mengarahkan usaha-usaha menuju visi otonomi daerah. Topik yang dijadikan penelitian adalah Akuntabilitas, transparansi, partisipasi masyarakat, pelayanan public, reorganisasi, pelimpahan dan pengembangan kemampuan, masalah fiscal, hubungan antar pemerintah dan konsep otonomi serta isu-isu yang bertentangan lainnya. Dalam penelitin tersebut ditemukan data bahwa ada kecenderungan positif yang dibawa oleh otonomi daerah adalah kesadaran yang semakin besar diantara masyarakat bahwa mereka sebenarnya merupakan bagian dari kepemerintahan. Sebagian respon terhadap hal tersebut terdapat peningkatan apresiasi diantara pemerintah daerah atas pentingnya partisipasi masyarakat dengan mengadakan media intermediasi bagi keterlibatan warga dengan melaksanakan dengar pendapat public. Berkembangnya forum warga sebagai indikasi pemerintah daerah menghargaio dan menfasilitasi partisipasi masyarakat didalam kepemerintahannya.


3.2 Kerangka Teori :

People Centered Development Paradigm: Sebuah Pendekatan Pembangunan Kualitas Manusia
Paradigma baru pembangunan dalam system pemerintahan yang sering disebut sebagai Good Governance menuntut setiap pejabat untuk mempertanggungjawabkan setiap sikap, perilaku dan kebijakannya kepada publik di dalam bingkai wewenang dan tanggungjawab kepada rakyat. Mekanisme tanggungjawab ini merupakan media control rakyat terhadap pemerintah ataupun birokrasi. Pertanggungjawaban juga merupakan cermin pemerintah dan birokrasi di dalam menjalankan tugas dan fungsinya secara demokratis.[3]
Pembangunan kualitas manusia sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, baik dan berwibawa. Pembangunan kualitas manusia merupakan upaya untuk meningkatkan kapasistas individu dan masyarakat suatu bangsa untuk dapat secara aktif menentukan masa depannya sendiri. Kapasitas individu dan masyarakat didalam menentukan keputusannya sendiri mencakup lima aspek antara lain:
1. Kapasistas untuk berproduksi
2. Kapasitas pemerataan
1. Kapasitas pemberian keleluasaan dan wewenang
2. Kapasitas keberlangsungan untuk berkembang
3. Kesadaran untuk interdependensi.
Oleh karena itu pembangunan kualitas manusia pada dasarnya merupakan upaya untuk mengembangkan inisiatif yang kreatif dari penduduk sebagai sumber dasar pembangunan yang utama dalam kerangka mencapai kesejahteraan material dan spiritual[4].
Ada empat aspek yang terkandung didalam pembangunan kualitas manusia sebagai upaya meningkatkan kapasitas mereka:
1. Pembangunan harus memberikan penekanan pada kapasitas (Capacity), kepada apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan kemampuan tersebut serta energi yang diperlukan untuk itu.
2. Pembangunan harus menekankan pada pemerataan (equity), Perhatian yang tidak merata pada berbagai kelompok masyarakat akan memecahkan masyarakat dan menghancurkan kapasitas mereka.
3. Pembangunan mengandung arti pemberian kuasadan wewenang (empowerment) yang lebih besar kepada rakyat. Pembangunan harus mengandung upaya peneingkatan wewenang kepada kelompok masyarakat yang lemah. Upaya untuk mengkoreksi keputusan-keputusan yang tidak adil tentang alokasi hanyalah dapat dilakukan apabila kelompok yang lemah mempunyai wewenang yang cukup besar.
4. Pembagunan mengandung pengertian kelangsungan perkembangan (suatainable) dan interdependensi diantara negara-negara didunia. Karena konsep kelangsungan dan kelestarian pembangunan, kendala sumber daya yang terbatas dan langka akan menjadi pertimbangan yang utama dalam upaya meningkatkan kapasitas.[5]

Berpijak dari konsep pembangunan kualitas manusia diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pembangunan kualitas manusia arah yang dituju adalah pemberdayaan (empowerment) pada diri manusia tersebut. Pemberdayaan pada hakekatnya merupakan suatu usaha untuk mengatasi ketidak berdayaan individu dan masyarakat, mengatasi adanya perasaaan impotensional-emosional dan sosial didalam menghadapi masalah dan meningkatkan kemampuan mengambil keputusan yang menyangkut dirinya sendiri dan memberi kesempatan untuk mengaktualisasikan diri .[6] Pemberdayaan merupakan upaya untuk meningkatkan pengembangan potensi atau daya individu dan masyarakat atas dasar aspirasi dan kebutuhan masyarakat sendiri yang bertumpu pada kemampuan dan perkembangan individu dan masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu untuk dapat memberdayakan sumber daya manusia mrnggunakan paradigma pembangunan yang bertumpu pada manusia (Humanizing Development Paradigm).
Paradigma pembangunan yang bertumpu pada manusia merupakan reaksi atas kegagalan dari paradigma pembangunan sebelumnya, yang lebih mengutamakan produksi dengan jargon Trickle down effect dan mengalami kegagalan. Kegagalan paradigma yang bertumpu pada produksi menimbulkan pemujaan pada paradigma baru yaitu paradigma yang bertumpu pada kesejahteraan (welfare oriented development). Paradigma ini menjanjikan peningkatan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial (social equity)[7]. Komitmen paradigma ini adalah melaksanakan sejumlah besar program yang akan mengantarkan buah pembangunan kepada sebagian terbesar anggota masyarakat dalam waktu yang sesingkat mungkin,melalui jalur yang selangsung mungkin,terutama sekali dengan cara meningkatkan akses kepada berbagai pelayanan publik dan penyuluhan.Pendekatannya adalah melalui pendisainan program yang memberi paket teknologi,sarana produksi (bibit,insektisida,pupuk,dan sebagainya),dana,logistik, dan system pemasaran serta subsidi yang diharapkan dapat mendorong masyarakat tumbuh dan sejahtera .
Paradigma yang bertumpu pada kesejahteraan ini mendapat kritikan tajam,karena paradigma ini memandang manusia sebagai objek pembangunan, dan sekaligus menciptakan ketergantungan masyarakat kepada pemerintah. Rakyat harus menyesuaikan diri dengan apa yang diberikan pemerintah (birokrasi). Sehingga partisipasi pembangunan yang muncul lebih merupakan mobilisasi dalam pelaksanaan program ketimbang pratisipasi dalam proses pembuatan keputusan.kritikan ini kemudian memunculkan paradigma baru yang tidak sekedar menempatkan manusia sebagai subjek pembangunan tetapi juga menempatkan manusia dalam strategis dalam proses pembangunan.Paradigma ini disebut paradigma pembangunan yang bertumpu pada manusia (people centered development paradigma).
yang menjadi pusat perhatian People centered development paradigm adalah perkembangan manusia (human growth), kesejahteraan (well being),keadilan (equity),dan keberlanjutan (sustainability). Logika yang mendasari dari paradigma ini adalah keseimbangan ekologis manusia, sumber–sumber pembangunan yang menekankan pada informasi dan prakasa yang kreatif manusia yang tak pernah habis, dan tujuannya yang utama adalah perkembangan manusia dalam arti aktualisasi yang optimal dari potensi manusia .[8]
Paradigma yang bertumpu pada manusia ini mempberikan peluang kepada setiap individu untuk beraktualisasi dan berperan sebagai subyek pembangunan yang menentukan tujuan masing-masing dan menguasai sumber-sumber serta mengarahkan proses dalam menentukan tujuan hidup mereka. Pemikiran mengenai orientasi pembangunan yang bertumpu pada manusia dijadikan dasar dalam pengelolaan sumber daya local yang diarahkan untuk menjawab tantangan pembangunan terutama yang berkaitan dengan kemiskinan, lingkungan hidup dan kurangnya partisipasi dari masyarakat dalam proses pembangunan.
Pola perwujudan dari people center development paradigm dalam melaksanakan pembangunan yang bertumpu pada manusia untuk mewujudkan empowerment kapasitas masyarakat local dapat digambarkan sebagai berikut :[9]
1. Pembangunan oleh dan untuk masyarakat
Manajemen pembangunan memandang bahwa pembangunan sebagai produk dari prakarsa dan kreativitas masyarakat, peran pemerintah hanya sebagai fasilitator dan menciptakan kondisi yang kondusif bagi kemungkinan masyarakat untuk dapat berkreasi dan memanfaatkan sumber-sumber yang ada di dalam masyarakat untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi.
2. Pokok pikiran community information planning system, dapat diwujudkan dengan “sharing”sumber daya terutama sumber daya informasi yang dimiliki oleh pemerintah daerah kepada masyarakat lokal. Aktivitas “sharing” sumber daya pengejawantahan dari prinsip pemerintahanan yang bersih, baik dan berwibawa, yaitu prinsip akuntabilitas, transparansi (transparency), dan keterbukaan. Mekanisme pemberdayaan ini dirancang dengan cara mempersempit gap sumber daya birokrasi dengan masyarakat , yaitu dengan cara membuka kesempatan masyarakat untuk melakukan pengamatan publik (public examination) terhadap lembeganya. Hal ini pihak birokrat harus terbuka dan transparansi (transparency) terhadap publik. Ini dimaksudkan agar supaya masyarakat mengetaui informasi tentang urusan-urusan lembaga birokrasi. Dengan kata lain, lembaga legistatif perlu memberi mandat kepada birokrasi agar melaporkan kepadanya, bukan semata-mata sebagai cara untuk mengetahui apa yang telah dilakukan birokrat, akan tetapi sebagai cara penyediaan informasi tentang aktivitas birokrasi kepada rakyat dan kelompok kepentingan (interest groups). Dengan dibaginya (sharing) informasi birikrat ini, memungkinkan masyarakat dapat lebih berdaya dalam menentukan masa depan pemerintahannya dan masa depannya sendiri secara lebih efektif
3. Lembaga legistatif perlu berbagi informasi dengan masyarakat atas apa yang mereka ketahui mengenai sumber daya potensial yang diperlukan birokrat kepada masyarakat, seperti keuangan, akses dengan pimpinan politik, informasi, dan kerjasama adalah sesuatu yang bernilai bagi. Semua sumber daya tadi dapat mempermudah masyarakat dalam melakukan kontrol birokrasi. Hubungan dekat dengan elit politik dapaty mempengaruhi lembeganya dengan menggunakan hubungan (connections) untuk mendapatkan anggaran, yuridiksi, latau barang yang diinginkan birokrat.Karenanya, masyarakat lebih berdaya dalam melakukan kontrol dan menentukan masa depan pemerintahnya sendiri.
4. Birokrat harus menjalin kerjasama dengan rakyat, yaitu dengan membuat program-programnya sesuai dengan apa yang diinginkan oleh mereka agar mereka tidak dihadapkan pada berbagai macam tekanan. Rakyat dapat melaporkan atas aktivitas yang dilakukan oleh birokrat. Informasi ini penting bagi birokrat, dan informasi ini dapat diolah sebagai ukuran kontrol. Bagaimanapun juga, strategi dengan memecah monopoli birokrasi mengenai informasi bisa jadi memperbesar efektivitas sumber daya tadi. Informasi tentang aktivitas birokrasi dapat memobilisasi rakyat yang sebelumnya apatis dengan menginformasikannya akibat, hasil, dan konsekuensi dari tindakan birokrsi, dan karenanya dapat digunakan pula sebagai sumber daya dalam melakukan pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Aktivitas ini sebagai penjewantahan dari oppeness dan transparancy dari unsir clean and good governance, dan poko pikiran dari manajemen komunitas (community management) yakni manajemen pengelolaan sumber daya lokal oleh satuan pengambilan keputusanyang menyangjut system alokasi sumber nasional.
5. Birokrasi membuka diri dengan masyarakat. Dengan dilakukan dialog ini memperkuat interaksi yang lebih besar antara birokrat dengan rakyat atau penjabat yang dipilih (elected official), dan dengan cara ini mempermudah melakukan konversi sumber daya yang diperlukan dalam melekukan kontrol. Mekanisme kontrol ini dibedakan menjadi 2 macam cara : Pertama, kontrol berasal dari pekerjaan lembaga kontro sendiri, dan Kedua,dengan membuat arena untuk berinteraksi, sehingga mekanisme kontrol memberikan kesempatan untuk mempengaruhi secara informal (informal influence) yang akan bisa mengarah ke rencana formal. Arena pertukaran sumber daya ini sebagai pengejawantahan dari nilai people center development paradigm yakni proses belajar sosial (social learning process). Yang dimaksud dengan proses belajar sosial adalah proses interaksi sosial antara anggota-anggota masyarakat dengan lembaga-lembaga yang ada yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan mereka melalui kegiatan-kegiatan pemecahan masalah (problem solving) yang seringkali dilakukan melalui “trial and error”. Peningkatan kemampuan ini tidak diperoleh melalui pendidikan formal,akan tetapi melalui partisipasi dan interaksi di dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan rencana. Dengan kata lain, mereka mengembangkan kemampuan mereka melalui, pengalaman mereka berinteraksi dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan tersebut. Untuk mempercepat proses belajar sosial ini perlu diupayakan agar proses ini merupakan suatu upaya yang sepenuhnya disadari dan terarah.
6. Nilai manajemen strategis (strategic management) berupaya untuk mengembangkan organisasi yang mampu beradaptasi dengan lingkungannya, menanggapi tuntutan lingkungannya. Manajemen strategis tidak berupaya untuk menguasai dan memprogram perilaku manusia, akan tetapi berusaha untuk mengembangkan prakarsa kreatif mereka untuk dapat memecahkan masalah yang yang mereka hadapi terejawantahan pada unsure accountability terutama responsinees dari clean and good governance. Nilai manajemen strategis ini dapat memberikan “empowering” anggota masyarakat dan anggota organisasi, agar mereka mampu mengaktulisasikan potensinya. Empowering (memberi power atau menempatkan power) anggota masyarakat dalam arti menumbuhkan kemampuan masyarakat untuk aktulisasi potensinya.

Berdasarkan gambaran di atas, kiranya tidak berlebihan jika disimpulkan bahwa desentralisasi, demokrasi, dan people development paradigm dapat mewujudkan manusia berkualitas, dan manusia berkualitas dapat mewujudkan keperintahan yang baik (good governance).

Good Governance
Kosep “governance” dalam ”clean and good governance”sebagaimana telah dikemukan pada bagian dua banyak masyarakat yang merancukan dengan konsep “government”. Konsep “governance” lebih inklusif daripada “government”. Konsep “government” menunjuk pada suatu organisasi pengelolaan berdasarkan kewenangan tertinggi (negara dan pemerintah).Konsep “governance” melibatkan tidak sekedar pemerintah dan negara, tapi juga peran berbagai aktor diluar pemerintah dan negara, sehingga pihak-pihak yang terlibat sangat luas [10]. Good dalam good governance menurut Lembaga Administrasi Negara mengandung dua pengertian. Pertama, nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat yang dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial. Kedua, aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efesien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Berdasarkan pengertian ini, LAN kemudian mengemukan bahwa good governance berorientasi pada :
1. Orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional
Orientasi ini mengacu pada demokratis dalam kehidupan bernegara dengan elemen-elemen konstituennya seperti: legitimacy (apakah pemerintah dipilih dan mendapat kepercayaan dari rakyatnya), accountability (akuntabilitas), scuring of human right, autonomy and devolution of power, dan assurance of civilian control.
2. Pemerintahan yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif, efesien dalam melakukan upaya pencapaian tujuan nasional.
Orientasi ini tergantung pada sejauh mana pemerintahan mempunyai kompetensi, dan sejauhmana struktur serta mekanisme politik dan admistratif berfungsi dan efisien.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan wujud good governance menurut LAN adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggungjawab, serta efesien dan efektif, dengan menjaga “kesinergisan” interaksi yang konstruktif di antara domain-domain negara, sector swasta dan masyarakat (society)[11]. Sistem kepemerintahan yang baik adalah partisipasi, yang menyatakan bahwa semua anggota institusi governance memiliki suara dalam mempengaruhi pembuatan keputusan. Hal ini meripakan fondasi legitimasi dalam system demokrasi. Produser dan metode pembuatan keputusan harus transparan (transparent) agar supaya memungkinkan terjadinya partisipasi efektif. Siapa saja yang dipilih untuk membuat keputusan dalam pemerintahan, organisasi bisnis dan organisasi masyarakat sipil (business and civil society organizations) harus bertanggungjawab kepada publik, serta kepada institusi “stakeholders”. Institusi governance harus efesien dan efektif dalam melaksanakan fungsi-fungsi, responsive terhadap kebutuhan rakyat,memfasilitasi (fasilitative) dan memberi peluang (enebling) ketimbang mengkontrol (controling), melaksanakan sesuai dengan peraturan perundangan.
Berdasarkan pada pengertian good governance diatas, dapat dikemukakan bebrapa karakteristik good governance antara lain :
1. Akuntabilitas:
Setiap pejabat publik harus bertanggungjawab dan mempertanggungjawabkan segala sikap, prilaku dan kebijakannya kepada publik dalam melaksanakan apa yang telah menjadi tugas pokok, fungsi dan kewenangan yang dimilikinya.
2. Tansparansi:
Didalam penyelenggaranan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik harus dilaksanakan transparansi baik mekanisme, prosedur maupun kebijakan yang sedang dan akan dilakukan.
3. Keterbukaan :
Adanya sebuah kewajiban bagi para pelaku penyelenggara pemerintahan, pembangunan dan pelayan publikuntuk menyampaikan secara terbuka.
4. Kerangka hukum. :
Para pelaku penyelenggara pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik harus berani bertanggungjawab dan mempertanggungjawabkan secara hukum tentang segala sikap, perilaku dan kebijakan yang telah dilakukan.
Menurut assosiasi pemerintahan lokal, ada sepuluh prinsip yang harus dimiliki untuk pelaksanaan Good Governance antara lain[12] :
1. Participation
2. Rule of law
3. Transparency
4. Equality
5. Responsivennes
6. Vision
7. Accountability
8. Supervision
9. Efficiency and effectiveness
10. Professionalism


Governance sebagai Mekanisme koordinasi social
(Social Coordination Mechanism) [13]

Definisi dari Governance akan semakin jelas apabila dipahami sebagai koordinasi social (Social Coordination). Koordinasi social mengacu pada pemecahan berbagai macam masalah melalui koordinasi terhadap interaksi dari berbagai aktor. Ada tiga tipe koordinasi social : Pasar (Market), Hirarki (Hierarkie), Demokrasi (Democracy). Menurut Beetham :[14]
Markets are arrangements which coordinate the actions of large numbers of people automatically, and on lateral basis …. Without infringing their freedom or requiring inequalities of the status. Hierarchies, by contrast, coordinate action vertically, via a structure of consciously exercised authority and compulsion, in which people’s status is by definition unequal.

Dengan demikian, pasar memandang koordinasi social melalui pertukaran pendapat, sedangkan hirarki lebih memandang koordinasi social melalui kewenangan politik. Demokrasi selalu membangun koordinasi dari setiap tindakan aktor melalui kewenangan politik. Namun hirarki mempunyai perbedaan dengan tindakan formal dari tindakan kewenangan politik. Dalam demokrasi selain bentuk hirarki, aktor mempunyai kedudukan yang sama dalam mengambil kebijakan dan tindakan dalam kehidupan kolektif dan mengkoordinasikan setiap tindakan mereka, dan tidak seperti pasar, yang membebaskan setiap aktor untuk melakukan tindakan yang mereka butuhkan.

Beberapa literature mengidentifikasi governance sebagai institusi atau proses yang menentukan kekuasaan siapa yang bermain atau diterapkan, bagaimana warga Negara memberikan suaranya, dan bagaimana sebuah keputusan dijadikan sebagai isu public. Semuanya dijadikan sebagai factor untuk mengidentifikasi koordinasi social. Governance adalah sebuah konsep nilai yang alamiah, dimana membantu untuk membandingkan sebuah variasi yang lebih luas dari mekanisme koordinasi social yang meliputi paradigma tradisional dari administrasi public. New Governance, dilain hal mengacu pada bentuk koordinasi social yang mempunyai observasi empiris dimana lebih mengacu pada pembentukan masyarakat menjadi lebih demokratis dan civil society yang lebih mampu dan berdaya atau kuat. New Governance dipahami sebagai bentuk normative yang menekankan pada bagaimana organisasi dan institusi menjadi governed.
New Governance merupakan bentuk dari koordinasi Social. New Governance membawa implikasi terhadap paradigma tradisional mengenai birokrasi administrasi dan tindakan praktis dari administrasi public. Masalah social menjadi lebih kompleks. Tindakan kerjasama atau koperatif diantara aktor menjadi hal yang wajib dilaksanakan untuk menyelesaikan masalah social, sebab tidak ada aktor tunggal yang dapat menyelesaikan masalah social begitu juga dengan bentuk pemerintahan yang terpusat. Dalam hal ini civil society menjadi lebih mampu untuk menyelesaikan permasalahan social. Dan untuk masa yang akan dating penyelesaian dari masyarakat sipil (civil society) terhadap pemasalahan social yang lebih kompleks akan menjadi sesuatu yang popular. Dan New Governance menjadi sesuatu yang lebih realistis dan menjadi alternative bagi administrasi public tradisional, dan menjadikan new governance menjadi lebih dominant sebagai type governance pada masa yang akan datang.









Governance, The New Governance and New Governance[15]
Governance in a Board sense (= social coordination)
Social coordination
by
political authority
Social coordination by
Voluntary exchange
· Bureucratic Administration
· Bureucratic Governance
· Hierarchical Governance


· NPM
· The New Governance
· Democracy administration
· Co-Governance
· Network Governance (Interactivel institutional)
· Shared Governance
· Co-Steering
· Self Governance
· Neo-liberal governance
· Competition Mechanism
· Network governance
· (instrumental)
· Steering

· Emphasizes:
- Hierarchical control
- Top down Management

Emphasizes :
- Inter organizational
- Expansion of democracy in political authority
Emphazises :
- Expansion of Voluntary
- Exchange reduction of political authority
Old Governance
New Governance
a) Darkly shaded cells including NPM denote new governance
b) Cells inside bold line denote the New Governance
c) Lighty shaded cells denote new policy tools of old governance, which also have the Characteristic similar to those of new governance






Daftar Pustaka



Engberg, Lars A. Some Problem Of Institusional Reform, 1995

Lee, Myungsuk, Conceptualizing the new governance: A new Institutionalof social coordination, Workshop polticak theory and political analysis, Indiana University, USA May 2002.

Mas’oed, Mochtar, Government and Governance.

Norris, Pippa, Giving Voice to the Voicelles, Good Governance, Human Development and Mass Communications, Harvard University Cambridge, 2001.


Foldvary, Fred, Government and Governance, Januari,1,1997

Wil Hout, Good Governance and The Political Economy of Selectivity, 2003

_____________, The Indonesian Experience, Introducing Good Local Governance, 2002

_____________, From Government to Governance: Reflections on The 1999 World Conference on Governance, 2003

_____________,Quo vadis DPR/D – Kejaksaan RI Pikiran Rakyat Cyber Media, Publikasi: 09/09/2004).

[1] Quo vadis DPR/D – Kejaksaan RI Pikiran Rakyat Cyber Media, Publikasi: 09/09/2004).

[2] Ibid
[3] Widodo, Joko,Good Governance: Telaah Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi.
[4] Ibid, Hal; 289
[5] Bryant Coralie & White Louise, Manajmenen Pembangunan untuk Negara Berkembang, 1987, LP3ES, Jakarta, hal.22
[6] Opcit, hal 290
[7] Tjokrowinoto Moeljarto, Perencanaan Pembangunan Daerah dan Nasional, Modul Kuliah, Program Studi Magister Administrasi, 1997, Untag 1945, Surabaya, Hal:218
[8] Ibid, hal: 218
[9] Ibid, Hal: 299-301
[10] opcit, hal: 295
[11] ibid, hal: 296
[12] ___________, Introducing good local governance, The Indonesian Experience
[13] Myungsuk Lee, Conceptualizing The New Governance: A New Institution of Social Coordination, Diseminarkan dalam Workshop Teori dan analisis politik, Indiana University,Bloomington, Indiana, USA, 3-5 Mei 2003.
[14] Ibid, Hal 11
[15] Op.Cit, Myungsuk Lee, Hal: 21

No comments: