Oleh :
Lusi Andriyani.,SIP.,M.Si
Secara teologis, Islam adalah sistem nilai dan ajaran yang bersifat Illahiah. Namun dari sudut sosiologis, Islam merupakan fenomena peradaban, budaya dan realitas sosial dalam kehidupan manusia[1]. Dengan demikian Islam mengandung doktrin dan ajaran yang bersifat universal dan selalu mengikuti perubahan sosial. Islam sebagai agama dan sistem nilai yang bersifat transeden atau Illahiah telah banyak membantu bagi para penganutnya dalam memahami realitas dan membangun pandangan hidup. Dapat dikatakan bahwa antara pandangan dunia yang berasal dari para penganut Islam dengan fenomena sosial selalu terjadi dialektika dimana Islam dalam realitas sosial dapat berperan menjadi subyek yang mendominasi dan menentukan perkembangan sejarah namun disisi lain Islam juga berperan sebagai obyek yang mendapatkan tekanan dari kekuatan dan faktor lain[2]. Faktor inilah yang mewarnai aktualisasi Islam dalam bentuk pembaharuan.
Secara historis, Islam di Indonesia dipandang sebagai agama yang dibangun di atas landasan kedamaian dan toleransi. Suatu ciri khas ajaran agama Islam adalah keyakinan bahwa agama Islam itu suatu cara hidup yang lengkap dan menyeluruh[3]. Pada abad ke 20 negara-negara Islam termasuk Indonesia sedang mengalami tantangan yang cukup besar baik dalam bidang politik maupun sosial. Upaya untuk membebaskan diri dari kolonialisme, membentuk dan mengembangkan negara bangsa merupakan interaksi terus menerus antara ajaran Islam dan gerakan-gerakan perubahan. Walaupun Islam telah diakui sebagai sebuah kekuatan yang signifikan, namun kekuatan dan interaksi Islam dalam pembaharuan sosial dan politik seringkali tidak mendapatkan perhatian.
Namun gerakan Islam yang diusung oleh Amin Rais dan Gus Dur dengan Muhammadiyah dan NU-nya telah mampu tampil diruang publik tidak dengan wajah sektarian dan kepentingan-kepentingan primordialnya, namun muncul dengan bahasa-bahasa publik guna memperjuangkan kepentingan-kepentingan bersama seluruh warga negara. Dua organisasi ini telah berhasil menjadi agama publik yang mampu menghidupkan modal sosial keagamaan dengan tujuan-tujuan publik dalam sebuah tatanan kenegaraan sekuler.[4] Dan hanya sebagai agama publik (Islam Publik) akan dapat merealisasikan spirit Islam sebagai Rahmatan lil alamin dan bukan hanya sebagai alat bagi kepentingan politik sesaat bagi para pemimpinnya.[5]
Fenomena menguatnya Islam juga dikemukakan oleh Michael C Hudson yang menyatakan bahwa kebangkitan Islam memperjelas masalah ketidakcocokan yang mendasar antara keinginan yang tampak pada banyak orang Islam (yang berpendapat bahwa perkembangan politik tidak mungkin terjadi tanpa Islam) dan ajaran konvensional dalam ilmu sosial barat yang mengatakan bahwa Islam paling-paling hanya merupakan hambatan bagi perkembangan politik[6]. Pandangan barat seperti itu berakar dari berbagai pemahaman mengenai adanya bias kebudayaan yang negatif. Bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam, keterlibatan agama dalam merespon berbagai masalah kehidupan sosial semakin jelas dan signifikan dengan menjadikan agama sebagai sumber legitimasi terhadap berbagai masalah yang dihadapi pemeluknya. Dalam konteks ini, interaksi antara Islam dan berbagai masalah aktual bukan sebagai produk sejarah yang telah selesai, melainkan suatu proses yang berkelanjutan.[7]
Meskipun doktrin serta mazhab radikal selalu ada dalam setiap penyebaran nilai-nilai Islam, namun pengaruh mereka relatif terbatas karena perbedaan dalam wacana internal Islam. Sepanjang sejarah pemikiran Islam yang pasang surut relatif telah membentuk elemen radikal yang cukup moderat, yang secara pragmatis mengakui keberadaan sistem pluralistik yang menjadi dasar berdirinya negara Indonesia. Menurut Clifford Geertz dalam pemikiran Islam terdapat sikap adaptif, menyerap, pragmatis, bertahap, agak kompromistis, setengah menyetujui, dan cenderung menghindar. Islamisme yang muncul dari konfigurasi pemikiran-pemikiran tidak berpretensi untuk memurnikan, melainkan sebagai upaya mewujudkan keutuhan[8].
Keragaman internal dalam Islam menyulitkan terbentuknya representasi Islam yang satu serta memberi mekanisme bawaan bagi upaya moderasi Islam. Dengan kondisi seperti itu terbuka lebar kemungkinan untuk mentransendensikan perbedaan-perbedaan dalam segi agama dan budaya, memperlunak perbedaan-perbedaan itu dan menjadikannya berada pada batas toleransi tatanan yang beradab. Dalam kondisi seperti itu, penciptaan agama publik dimungkinkan, dengan mengupayakan kehadiran negara yang netral yang mampu melindungi setiap ekspresi dan komunitas keagamaan[9].
Gagasan bahwa Islam secara tradisional mendominasi ruang publik masyarakat Muslim, juga berarti bahwa Islam sekaligus menjadi subjek dan objek wacana. Islam seringkali dipilih sebagai medan pertempuran persaingan politik dari berbagai kepentingan yang memakai selimut simbol-simbol Islam. Tidak ada elemen, atau aktor, di ruang publik negara-negara Muslim yang bebas dari aplikasi dan persaingan pengguna simbol-simbol keagamaan[10]. Karena itu, Prof MC Ricklefs menyatakan perlunya melihat tiga masalah utama dalam memahami pergulatan antara agama dan politik: Pertama, hilangnya pemahaman atas sejarah.
Kedua, konsentrasi yang berlebihan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan isu-isu elitis, khususnya yang bersifat Jakarta sentris. Ketiga, simplifikasi terhadap identitas keagamaan, yang biasanya hanya membuat kutub bipolar: ekstremis di satu sisi dan moderat di sisi lain[11].
Pada tataran ini agama mempunyai peran yang sangat penting dalam kegidupan publik. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan jargon-jargon serta simbol-simbol dari partai politik yang membawa agama kewilayah publik. Dengan demikian agama telah menjadi ruh dari gerakan sosial dan politik. Fenomena spiritualitas, terorisme dan munculnya gerakan Islam fundamentalis seperti Jamaah Islamiyah merupakan bentuk ekspansi agama keruang publik pada tingkatan global. Dan modernitas yang dianggap sebagai upaya untuk mengakhiri kekuasaan agama justru menjadi titik balik kebangkitan agama modern.[12]
Untuk melihat peran agama dalam kehidupan publik perlu diketahui terlebih dahulu aspek-aspek yang berperan di ranah privat dan aspek-aspek yang berperan diranah publik, Pada ranah privat dalam ajaran agama Islam dikenal dengan konsep hablun min al-Allah (hubungan personal dengan Tuhan) aspek yang meliputinya adalah aspek keyakinan, ritual dan peribadatan sebagai aspek yang sangat subyektif. Dalam wilayah publik, aspek yang berperan didasarkan atas konsep hablun min al-nas (hubungan sosial antara manusia) yang termasuk didalamnya adalah aspek moralitas, interaksi sosial, dan struktur masyarakat. Dalam ranah publik agama dapat berfungsi untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, pendidikan, kesehatan.
Permasalahan yang muncul dengan berperannya agama di ranah publik adalah dapat memunculkan sektarianisme atau praktik politik identitas.[13] Untuk itu agama yang berperan dalam ruang publik harus mampu mentransformasikan diri untuk dapat memberikan penyelesaian secara riil terhadap permasalahan yang ada dalam masyarakat. Agama harus diobjektivasi untuk terlibat dalam kehidupan publik, yang memungkinkan agama tidak tampil sektraian dan diskriminatif. Sehingga dirung publik agama harus menggunakan bahasa publik.[14]
[1] Dr. Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, Paramadina,1996, hal i
[2] Ibid, Hal ii
[3] John L.Esposito, Identitas Islam Pada Perubahan Sosial Politik, Jakarta, Bulan Bintang, 1986, hal.3
[4] http://www.isaf.org. Iqbal Hasanuddin, Sekulerisme dan Revitalisasi Islam Publik, diakses Nopember 2007
[5] Ibid, http://www.isaf.org.
[6] John L.Esposito, Identitas Islam Pada Perubahan Sosial Politik, Jakarta, Bulan Bintang, 1986,hal.4
[7] Dr.H.Abuddin Nata, MA, Problematika Politik Islam di Indonesia, Jakarta, Grasindo,2002, hal.ix
[8]http://zulfikri.wordpress.com, Yudi latif, Mewujudkan Misi Politik Agama Publik Melampaui Pemikiran Islam Liberal, diakses tanggal 21 Nopember 2007
[9]loc.cit, Yudi latif, Mewujudkan Misi Politik Agama Publik Melampaui Pemikiran Islam Liberal, diakses tanggal 21 Nopember 2007
[10] Ibid
[11] http//kompas.com, Zuhairi Misrawi, Kehidupan Beragam; Multiekspresi keberagaman, diakses tanggal 21 Nopember 2007
[12] http://www.isaf.org.M.Dawam Rahardjo, Agama diranah public, diakses Nopember 2007
[13] ibid, http://www.isgaf.org. M.Dawam Rahardjo.
[14] Ibid, http://www.isgaf.org M.Dawam Rahardjo.
Tuesday, December 23, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment