Oleh : Lusi Andriyani, SIp.,M.Si
Primodialisme atau eksklusifistik adalah suatu sikap sangat cintanya terhadap sesuatu, baik terhadap suatu agama, etnis, maupun golongan dan kebudayaan. Ikatan yang berdasarkan kekerabatan darah dan keluarga, suku bangsa, daerah, bahasa, adat istiadat dan agama merupakan faktor primordial. Primordial tidak hanya menimbulkan pola perilaku yang sama tetapi juga melahirkan persepsi yang sama tentang masyarakat yang dicita-citakan.[1] Sikap primodial akan berdampak positif apabila diterapkan secara terbuka dan mau menghargai sikap dan pendapat yang berbeda. Tetapi sebaliknya akan menjadi negative kalau diterapkan secara tertutup dan ekslusif. Contohnya menganggap bahwa agama Kristen paling baik, Etnis Cina paling tinggi dan memandang yang lain lebih rendah dan jelek.
Primordialisme juga dapat dimaknai sebagai suatu faham yang menunjukkan sikap berpegang teguh kepada hal-hal yang melekat pada setiap individu dan dibawa sejak lahir, dalam hal ini seperti suku bangsa, ras, dan agama yang kemudian meluas dan berkembang. Primordialisme muncul disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :1) Adanya sesuatu yang dianggap istimewa oleh individu dalam suatu kelompok atau perkumpulan sosial. 2) Adanya suatu sikap untuk mempertahankan keutuhan kelompok atau kesatuan sosial terhadap ancaman dari luar. 3) Adanya nilai-nilai yang berkaitan dengan sistem keyakinan, misalnya nilai-nilai keagamaan, pandangan dan sebagainya.[2]
Primordialisme juga identik dengan sikap yang primitif, regresif dan merusak sehingga dapat menghambat pelaksanaan pembangunan serta modernisasi. Dalam politik, menguatnya primordialisme dapat mengakibatkan munculnya diskriminasi sebagai upaya untuk membedakan golongan-golongan yang berkaitan dengan kepentingan tertentu yang dilakukan dengan sengaja. Bentuk diskriminasi dilakukan dengan memperlakukan golongan-golongan secara berbeda yang didasarkan pada ras, suku bangsa, agama, mayoritas, minoritas. Fenomena subordinasi terhadap kelompok lain merupakan bentuk diskriminasi yang lahir karena adanya primordialisme.
Keterkaitan dengan fenomena subordinasi terhadap kelompok lain terutama yang berdasarkan agama sebagai faktor utama, juga tidak dapat dilepaskan dari peran para tokoh agama yang secara tidak langsung memberikan konstribusi dalam membentuk pribadi yang primordial dan eksklusif. Lihatlah hubungan antara ulama dan umatnya, terutama di Jawa. Banyak masyarakat dari ummat Islam lebih banyak mendengarkan ajaran dan petunjuk para kyai –nya daripada mempelajari dan melaksanakan hukum-hukum Islam yang tertera dalam Al-Qur’an. Sehingga para Kyai amat besar pengaruhnya pada masyarakat, bahkan memunculkan fenomena pengkultusan terhadap seseorang yang berkembang secara turun temurun, serta perkembangan mental masyarakat yang lama dijajah oleh Jepang, Belanda dan Orde Baru menyebabkan sikap-sikap primodial semakin berkembang kearah negatif.
Sikap primordialisme yang cenderung ekslusif semakin diperparah dengan perasaan-perasaan sentimen kedaerahan. Daerah yang mayoritas masyarakatnya memeluk Islam akan merasa lebih berkuasa atau “Superior”. Sebaliknya masyarakat yang beragama Kristen dan banyak diwilayah Indonesia Timur juga melakukan hal yang sama. Dan sikap superior tersebut tidak boleh diganggu sedikitpun oleh masyarakat minoritas. Apabila hal tersebut terjadi, maka akan mudah memunculkan konflik-konflik.
Dikotomi santri-abangan sejak dulu menjadi perdebatan. Tepatnya kala Clifford Geertz mempublikasikan penelitiannya tahun 1960-an, tentang agama masyarakat Jawa di Mojokuto, kota kecil di Jawa Timur (Abangan, Santri dan Priyayi, dalam Masyarakat Jawa)[3]. Oleh Geertz, kaum santri dimanifeskan oleh ketatnya pelaksanaan ritual agama, teratur, terutama shalat lima waktu, serta berafiliasi pada ormas Islam, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Sementara kaum abangan ditunjukkan oleh corak keberagamaannya yang menekankan animisme-sinkretis, memegang ketat tradisi leluhur terutama upacara yang bersifat mistis. Mereka mengaku Muslim, tetapi tidak taat menjalankan ritual agama yang diwajibkan dalam Islam.
Pandangn Geertz dipertegas oleh William Liddle dari hasil penelitian di daerah Simalungun dan Siantar dengan menggunakan pendekatan trikotomi Geertz. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan hubungan-hubungan antara partai lokal dan kelompok agama, budaya, dan etnis yang serupa dengan penemuan Geertz. Pada saat itu masyarakat sangat mendambakan partai-partai yang mewakili kepentingan mereka yang bersifat primordial. Dari penelitian tersebut William Liddle menyimpulkan bahwa usaha apapun yang dilakukan oleh Orde Baru untuk menyeragamkan aspirasi masyarakat melalui Golkar yang didukung oleh ABRI dan birokrasi akan mengalami kegagalan.[4] Penelitian tersebut mempertegas munculnya aliran-aliran lama yang bersifat primordialisme pada awal pemilu 1999, dimana PDI-P mewakili abangan dan pemilih non Islam, Golkar mewakili Islam Modernis, PKB mewakili partai Islam tradisionalis, PPP mewakili kaum tradisionalis dan modernis, sementara PAN, PBB, dan PK bersaing untuk meraih suara-suara modernis.[5]
Disisi lain kategori yang berdasarkan pada pandangan Geertz dengan trikotominya (Abangan, Santri dan Priyayi) dipandang sudah pudar dan tidak relevan, apalagi jika ditarik secara linier dengan afiliasi politik mereka. Orang-orang yang berafiliasi ke ormas atau parpol yang selama ini dicap sebagai habitat abangan tak kalah taatnya dengan santri. Mereka shalat, berpuasa, membayar zakat, naik haji, bahkan tidak jarang mendirikan lembaga sosial ke- Islam-an. Klaim ini perlu direvisi karena yang disebut santri dan abangan lebih bersifat individual, bukan kategori sosial apalagi politik. Dikotomi ini juga membawa problem hierarki kesalehan dan otoritas keagamaan. Apalagi jika terminologi ini dijadikan alat politik untuk memperoleh kekuasaan.
Klaim kedua adalah soal Jawa dan luar Jawa. Sentimen primodialisme primitif ini sebenarnya muncul karena sesat kuasa pemerintah masa lalu yang terlalu berorientasi Jawa. Bukan hanya dalam hal pembangunan, konstruks budaya, identitas dan langgam pemerintahan pun dihomogenisasi ala Jawa. Di Jawa-lah segenap pergerakan politik, ekonomi, pendidikan berpusar. Luar Jawa menjadi pinggiran, terkucilkan, tetap terbelakang. Geopolitik yang tidak adil ini mengakibatkan munculnya jurang antara Jawa dan luar Jawa. Luar Jawa hanya didulang kekayaan alamnya, sementara hasilnya dialirkan ke Jawa. Luar Jawa berontak dan membangkitkan sentimen anti-Jawa.
Walaupun persoalan ketidakadilan tidak ada hubungannya dengan Jawa dan luar Jawa, namun ketidakadilan adalah produk, watak, dan kecenderungan kuasa yang korup, sentralistik, dan otoriter. Ide negara dan bangsa Indonesia dengan sendirinya menganyam sentimen komunal dan primordialisme. Ia mencakup segenap nusa di antara dua samudra. Representasi bukan lagi didasarkan basis geografis, namun pada aspirasi. Apalagi dalam dunia yang kian mondial dan mengglobal. Mobilitas manusia kian tinggi dan pergerakan massa kian cepat. Saya yakin pilihan para founding fathers memilih Soekarno-Hatta sebagai presiden dan wakil presiden bukan karena Soekarno orang Jawa dan Hatta luar Jawa. Melainkan karena kemampuan memimpin dan kharismatik yang dimiliki oleh Soekarno-Hatta.
Klaim terakhir persoalan nasionalisme dan religius. Mengadopsi kategori Mark Jurgensmeyer[6], ada golongan nasionalisme sekuler (NS) dan nasionalisme religius (NR)[7]. Pergulatan kelompok NS dan NR menjadi warisan sejarah turun- temurun di negara ini. Bermula dari perdebatan soal dasar negara pada awal kemerdekaan. Pancasila dikonfrontasikan dengan Islam. Seolah ada pertentangan menjadi seorang Muslim dan seorang Indonesia. Identitas umat selalu dihadapkan dengan negara-bangsa. Loyalitas kepada negara-bangsa senantiasa dipertanyakan dengan loyalitas pada agama. Padahal, sejarah membuktikan, kontribusi umat dalam mengusir penjajah dan mendirikan bangsa ini amat besar. Islam jadi faktor penting dalam menyumbang rasa persatuan Indonesia.
Seharusnya identitas umat dan negara-bangsa Indonesia tidak perlu menjadi sesuatu yang seragam, apalagi saling memaksakan. Biarkan nasionalisme itu menjadi teks terbuka, menjadi “imagined community”, sesuatu yang ideal dan diidam-idamkan oleh masyaraka dan setiap kelompok di masyarakat mendapatkan makna, memberi tafsir sehingga dapat hidup bersama dengan damai. Karena itu membangkitkan ingatan publik akan dikotomi ini tidaklah produktif, lebih-lebih menjadikannya sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan. “……..kenyataan bahwa Indonesia adalah Negara majemuk. Usaha apapun untuk mengurungnya ke kerangka apapun yang ketat – entah ideologi tinggi seperti yang dilakukan Soeharto, atau nasionalisme seperti yang dilakukan Soekarno, atau Partai Komunis, atau Negara Islam atau lainnya—akan membawa ke bencana. Karena Indonesia terdiri dari begitu banyak macam orang…. [8]
Berbeda dengan opini yang dikemukakan oleh masyarakat Barat, bahwa Islam di Asia Tenggara merupakan Islam pinggiran (Periferal), John L Esposito dalam artikelnya ‘ Islam’s Shoutheast Asia Shift, a Success that Could lead renewal in the muslim world , melukiskan keterkejutannya mengenai Islam di Asia Tenggara dan menyatakan bahwa Islam yang berkembang di Indonesia sebenarnya menunjukkan watak moderat[9]. Esposito juga menyatakan bahwa Indonesia dan Malaysia akan muncul dan memainkan peran penting dalam dunia Islam[10].
Idealnya, nasionalisme dipandang sebagai pemersatu background kultural dan pluralitas agama agar menjadi mozaik yang indah. Pluralitas yang ada memang sudah menjadi realitas yang tidak dapat ditolak. Karena seperti ditelaah oleh ilmuwan politik, negara sendiri dibentuk dari konsensus bersama dari unsur-unsur primodialisme, termasuk agama. Geertz melukiskannya dengan “perasaan senasib” sebagai awal terbentuknya negara-bangsa. Inilah tafsir humanis baru atas nasionalisme, pluralisme dan demokrasi. Suatu tafsir yang perlu dikembangkan untuk menutup peluang dominasi dan hegemoni tafsir negara atas nasionalisme sebagaimana dipraktikan rezim Orde Baru[11].
2.1.2 Islam sebagai Agama Publik
Secara teologis, Islam adalah sistem nilai dan ajaran yang bersifat Illahiah. Namun dari sudut sosiologis, Islam merupakan fenomena peradaban, budaya dan realitas sosial dalam kehidupan manusia[12]. Dengan demikian Islam mengandung doktrin dan ajaran yang bersifat universal dan selalu mengikuti perubahan sosial. Islam sebagai agama dan sistem nilai yang bersifat transeden atau Illahiah telah banyak membantu bagi para penganutnya dalam memahami realitas dan membangun pandangan hidup. Dapat dikatakan bahwa antara pandangan dunia yang berasal dari para penganut Islam dengan fenomena sosial selalu terjadi dialektika dimana Islam dalam realitas sosial dapat berperan menjadi subyek yang mendominasi dan menentukan perkembangan sejarah namun disisi lain Islam juga berperan sebagai obyek yang mendapatkan tekanan dari kekuatan dan faktor lain[13]. Faktor inilah yang mewarnai aktualisasi Islam dalam bentuk pembaharuan.
Secara historis, Islam di Indonesia dipandang sebagai agama yang dibangun di atas landasan kedamaian dan toleransi. Suatu ciri khas ajaran agama Islam adalah keyakinan bahwa agama Islam itu suatu cara hidup yang lengkap dan menyeluruh[14]. Pada abad ke 20 negara-negara Islam termasuk Indonesia sedang mengalami tantangan yang cukup besar baik dalam bidang politik maupun sosial. Upaya untuk membebaskan diri dari kolonialisme, membentuk dan mengembangkan negara bangsa merupakan interaksi terus menerus antara ajaran Islam dan gerakan-gerakan perubahan. Walaupun Islam telah diakui sebagai sebuah kekuatan yang signifikan, namun kekuatan dan interaksi Islam dalam pembaharuan sosial dan politik seringkali tidak mendapatkan perhatian.
Namun gerakan Islam yang diusung oleh Amin Rais dan Gus Dur dengan Muhammadiyah dan NU-nya telah mampu tampil diruang publik tidak dengan wajah sektarian dan kepentingan-kepentingan primordialnya, namun muncul dengan bahasa-bahasa publik guna memperjuangkan kepentingan-kepentingan bersama seluruh warga negara. Dua organisasi ini telah berhasil menjadi agama publik yang mampu menghidupkan modal sosial keagamaan dengan tujuan-tujuan publik dalam sebuah tatanan kenegaraan sekuler.[15] Dan hanya sebagai agama publik (Islam Publik) akan dapat merealisasikan spirit Islam sebagai Rahmatan lil alamin dan bukan hanya sebagai alat bagi kepentingan politik sesaat bagi para pemimpinnya.[16]
Fenomena menguatnya Islam juga dikemukakan oleh Michael C Hudson yang menyatakan bahwa kebangkitan Islam memperjelas masalah ketidakcocokan yang mendasar antara keinginan yang tampak pada banyak orang Islam (yang berpendapat bahwa perkembangan politik tidak mungkin terjadi tanpa Islam) dan ajaran konvensional dalam ilmu sosial barat yang mengatakan bahwa Islam paling-paling hanya merupakan hambatan bagi perkembangan politik[17]. Pandangan barat seperti itu berakar dari berbagai pemahaman mengenai adanya bias kebudayaan yang negatif. Bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam, keterlibatan agama dalam merespon berbagai masalah kehidupan sosial semakin jelas dan signifikan dengan menjadikan agama sebagai sumber legitimasi terhadap berbagai masalah yang dihadapi pemeluknya. Dalam konteks ini, interaksi antara Islam dan berbagai masalah aktual bukan sebagai produk sejarah yang telah selesai, melainkan suatu proses yang berkelanjutan.[18]
Meskipun doktrin serta mazhab radikal selalu ada dalam setiap penyebaran nilai-nilai Islam, namun pengaruh mereka relatif terbatas karena perbedaan dalam wacana internal Islam. Sepanjang sejarah pemikiran Islam yang pasang surut relatif telah membentuk elemen radikal yang cukup moderat, yang secara pragmatis mengakui keberadaan sistem pluralistik yang menjadi dasar berdirinya negara Indonesia. Menurut Clifford Geertz dalam pemikiran Islam terdapat sikap adaptif, menyerap, pragmatis, bertahap, agak kompromistis, setengah menyetujui, dan cenderung menghindar. Islamisme yang muncul dari konfigurasi pemikiran-pemikiran tidak berpretensi untuk memurnikan, melainkan sebagai upaya mewujudkan keutuhan[19].
Keragaman internal dalam Islam menyulitkan terbentuknya representasi Islam yang satu serta memberi mekanisme bawaan bagi upaya moderasi Islam. Dengan kondisi seperti itu terbuka lebar kemungkinan untuk mentransendensikan perbedaan-perbedaan dalam segi agama dan budaya, memperlunak perbedaan-perbedaan itu dan menjadikannya berada pada batas toleransi tatanan yang beradab. Dalam kondisi seperti itu, penciptaan agama publik dimungkinkan, dengan mengupayakan kehadiran negara yang netral yang mampu melindungi setiap ekspresi dan komunitas keagamaan[20].
Gagasan bahwa Islam secara tradisional mendominasi ruang publik masyarakat Muslim, juga berarti bahwa Islam sekaligus menjadi subjek dan objek wacana. Islam seringkali dipilih sebagai medan pertempuran persaingan politik dari berbagai kepentingan yang memakai selimut simbol-simbol Islam. Tidak ada elemen, atau aktor, di ruang publik negara-negara Muslim yang bebas dari aplikasi dan persaingan pengguna simbol-simbol keagamaan[21]. Karena itu, Prof MC Ricklefs menyatakan perlunya melihat tiga masalah utama dalam memahami pergulatan antara agama dan politik: Pertama, hilangnya pemahaman atas sejarah.
Kedua, konsentrasi yang berlebihan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan isu-isu elitis, khususnya yang bersifat Jakarta sentris. Ketiga, simplifikasi terhadap identitas keagamaan, yang biasanya hanya membuat kutub bipolar: ekstremis di satu sisi dan moderat di sisi lain[22].
Pada tataran ini agama mempunyai peran yang sangat penting dalam kegidupan publik. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan jargon-jargon serta simbol-simbol dari partai politik yang membawa agama kewilayah publik. Dengan demikian agama telah menjadi ruh dari gerakan sosial dan politik. Fenomena spiritualitas, terorisme dan munculnya gerakan Islam fundamentalis seperti Jamaah Islamiyah merupakan bentuk ekspansi agama keruang publik pada tingkatan global. Dan modernitas yang dianggap sebagai upaya untuk mengakhiri kekuasaan agama justru menjadi titik balik kebangkitan agama modern.[23]
Untuk melihat peran agama dalam kehidupan publik perlu diketahui terlebih dahulu aspek-aspek yang berperan di ranah privat dan aspek-aspek yang berperan diranah publik, Pada ranah privat dalam ajaran agama Islam dikenal dengan konsep hablun min al-Allah (hubungan personal dengan Tuhan) aspek yang meliputinya adalah aspek keyakinan, ritual dan peribadatan sebagai aspek yang sangat subyektif. Dalam wilayah publik, aspek yang berperan didasarkan atas konsep hablun min al-nas (hubungan sosial antara manusia) yang termasuk didalamnya adalah aspek moralitas, interaksi sosial, dan struktur masyarakat. Dalam ranah publik agama dapat berfungsi untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, pendidikan, kesehatan.
Permasalahan yang muncul dengan berperannya agama di ranah publik adalah dapat memunculkan sektarianisme atau praktik politik identitas.[24] Untuk itu agama yang berperan dalam ruang publik harus mampu mentransformasikan diri untuk dapat memberikan penyelesaian secara riil terhadap permasalahan yang ada dalam masyarakat. Agama harus diobjektivasi untuk terlibat dalam kehidupan publik, yang memungkinkan agama tidak tampil sektraian dan diskriminatif. Sehingga dirung publik agama harus menggunakan bahasa publik.[25]
[1] Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta, PT. Gramedia, 1992, Hal. 44
[2] www.psik-paramadina.org, Prof.Dr.Ciptadi,MS, Islam dan kemajemukan di Indonesia, diakses tanggal 18 Maret 2008
[3] Dalam buku karya Cliffprd Geerzt yang berjudul: Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, diterjemahkan oleh Aswab Mahasin dari judul aslinya “ The Religion of Java” Diterbitkan oelh PT. Pustaka Jaya,Jakarta, Tahun 1981
[4] www.tempointeraktif.com, R. Wiliiam Liddle, Pemilihan Presiden dan Primordialisme, diakses pada Senin, 17 Maret 2008
[5] op.cit www.tempointeraktif.com
[6] JurgenMeyers, Mark, Menentang Negara Sekuler: Kebangkitan Nasionalisme Religius, Bandung Mizan, 1998, Hal.14
[7] Nasionalisme Sekuler adalah justifikasi ideologis yang didasarkan pada basis kekuasaan sehingga dapat mengambil alih posisi kepemimpinan para kepala suku dan pemimpin agama yang dipandang dapat menggoyahkan budaya sakral, sehingga pada tingkat sosial nasionalisme sekuler dapat menaklukan agama. Nasionalisme sekuler meliputi semua hal : doktrin, mitos, etika, ritual, pengalaman, dan organisasi sosial. Sedangkan Nasionalisme Religius adalah usaha untuk mengikat agama dan Negara bangsa yang muncul karena adanya kesadaran dari para aktivia agama yang memandang bahwa jika suatu bangsa dilandasi dengan Nasionalisme Sekuler, maka agama sering tersisih dari system politik.
[8] www.uni-linz.ac.at, Wawancara dengan Clifford Gertz, diakses tanggal 11 September 2007
[9] http://Islam lib.com/id/index.php, M.Hilaly Basya, Islam Moderat di Asia Tenggara, diakses tanggal September 2006
[10] ibid
[11] http;//islamlib.com, Burhanuddin, Muslim trans nasional, diakses tanggal 21 Nopember 2007
[12] Dr. Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, Paramadina,1996, hal i
[13] Ibid, Hal ii
[14] John L.Esposito, Identitas Islam Pada Perubahan Sosial Politik, Jakarta, Bulan Bintang, 1986, hal.3
[15] http://www.isaf.org. Iqbal Hasanuddin, Sekulerisme dan Revitalisasi Islam Publik, diakses Nopember 2007
[16] Ibid, http://www.isaf.org.
[17] John L.Esposito, Identitas Islam Pada Perubahan Sosial Politik, Jakarta, Bulan Bintang, 1986,hal.4
[18] Dr.H.Abuddin Nata, MA, Problematika Politik Islam di Indonesia, Jakarta, Grasindo,2002, hal.ix
[19]http://zulfikri.wordpress.com, Yudi latif, Mewujudkan Misi Politik Agama Publik Melampaui Pemikiran Islam Liberal, diakses tanggal 21 Nopember 2007
[20]loc.cit, Yudi latif, Mewujudkan Misi Politik Agama Publik Melampaui Pemikiran Islam Liberal, diakses tanggal 21 Nopember 2007
[21] Ibid
[22] http//kompas.com, Zuhairi Misrawi, Kehidupan Beragam; Multiekspresi keberagaman, diakses tanggal 21 Nopember 2007
[23] http://www.isaf.org.M.Dawam Rahardjo, Agama diranah public, diakses Nopember 2007
[24] ibid, http://www.isgaf.org. M.Dawam Rahardjo.
[25] Ibid, http://www.isgaf.org M.Dawam Rahardjo.
Sunday, January 4, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment